Antara
Ahok dan Para Begal APBD
Poo Tjian Sie ; Nama Indonesia Sidharta
Adhimulya;
Aktivis kemanusiaan lintas etnis dan agama
|
JAWA
POS, 02 Maret 2015
BOLEH jadi tidak ada satu pun pejabat di negeri ini yang menghadapi
rintangan hebat dan bertubi-tubi seperti Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Karir Ahok yang melesat diawali ketika masih jadi anggota DPR dari Golkar
(2009–2014). Sosok yang lahir 29 Juni 1966 di Manggar, Belitung Timur,
itu dirayu Gerindra untuk dicalonkan jadi wakil gubernur (Wagub) mendampingi
Jokowi pada Pemilihan Umum Gubernur (Pilgub) DKI 2012.
Dalam masa kampanye pilgub,
sebagai etnis Tionghoa sekaligus penganut Kristen Protestan, Ahok dihadang
kampanye hitam bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Syukurlah,
dalam Pilgub 2012, sebagian besar masyarakat Jakarta yang heterogen memilih
Jokowi-Ahok yang menang dengan persentase 53,82 persen suara.
Meski hanya menjadi orang nomor
dua, Ahok bukanlah bayang-bayang Jokowi. Ahoklah yang memprakarsai
transparansi semua agenda rapat dan kegiatan untuk bisa dilihat publik di YouTube.
Salah satu videonyasaat sedang ”menghajar” karyawan Dinas Pekerjaan Umum (PU)
DKI di Ruang Rapat Bappeda DKI, yang diunggah pada 8 November 2012. Pada
29 November pagi, jumlah viewers-nya
melejit hingga 1,3 juta orang. Pamor Ahok pun melonjak drastis.
Mengingat Jokowi akhirnya maju
dalam Pilpres 2014 dan menang serta dilantik jadi presiden, Ahok pun sejak 1
Juni 2014 menjadi pelaksana tugas gubernur DKI. Ketika itu, berbagai agenda
untuk menghadang Ahok dilancarkan para penentangnya. Bahkan, terjadi
politisasi produk hukum demi mengganjal langkah Ahok. Para penentangnya,
khususnya di DPRD DKI, berargumen Ahok tidak bisa menggantikan Jokowi karena
tidak adanya aturan hukum yang menentukan bila kepala daerah berhalangan
tetap di dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah
Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan RI (UU No
29/2007). Nyaris setiap hari media diisi polemik antara kubu yang
mendukung dan mencoba mengganjal Ahok. Bahkan, ada ormas yang mati-matian
menolak pelantikan Ahok.
Toh akhirnya, Ahok tetap
dilantik jadi gubernur DKI pada Rabu (19/11/2014) oleh Presiden Joko Widodo
di Istana Negara, Jakarta. Pelantikan Ahok menjadi berita besar di berbagai
media dunia.MajalahTime menulis judul ”Indonesia Reaches Racial Milestone
with Chinese Governor of Jakarta” yang berarti Indonesia
meraih batu loncatan dalam ras dengan memilih Gubernur Jakarta dari etnis
Tionghoa.
Dalam negara dengan prinsip
demokrasi, pertimbangan untuk menjadi pemimpin memang tidak boleh lagi
mengacu pada faktor primordial seperti ras dan agama. Ahok sudah membuktikan,
meski nonmuslim dan dari suku minoritas, dirinya dikehendaki sebagian besar
pemilih. Ahok mungkin mirip Lutfur Rahman, wali kota muslim di Tower
Hamlets, sebuah kota kecil di kawasan London, Inggris. Ahok juga seperti
Faruk Choudhury, wali kota Bristol yang muslim, dan terpilih pada 2013.
India, yang mayoritas Hindu, malah pernah memiliki presiden ke-11 yang beragama
Islam, yakni Avul Pakir Jainulabdeen Abdul Kalam, 25 Juli 2002–25 Juli 2007.
Namun, jabatan gubernur DKI
ibarat berdiri di atas duri. Baru genap 100 hari memimpin Jakarta per 26
Februari 2015, Ahok kembali berhadapan dengan para anggota DPRD DKI yang
mengajukan hak angket dengan tujuan akhir hendak memakzulkan atau
melengserkan Ahok. Masalah berakar pada temuan Ahok bahwa ada dana siluman Rp
12,1 triliun dalam draf APBD 2015. Selain sudah melapor ke KPK, Ahok
menggandeng Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengaudit
temuan dana siluman tersebut. Salah satu yang membuat Ahok geleng-geleng
kepala adalah proyek pengadaan buku Trilogi Ahok sebesar Rp 30 miliar dalam RAPBD
2015 serta beberapa pemenang tender fiktif. Misalnya, salah satu perusahaan pemenang
tender pengadaan uninterruptible
power supply (UPS) untuk sekolah-sekolah di DKI Jakarta
adalah PT Frislianmar Masyur Mandiri, yang ternyata adalah toko percetakan
sederhana dan memberikan layanan fotokopi.
Tidak heran, ancaman
melengserkan Ahok oleh DPRD direspons para pendukung Ahok di seluruh dunia
lewat media sosial. Bahkan, dalam ribut-ribut kali ini, para pendukung Ahok
menggelari para anggota DPRD DKI yang notabene wakil rakyat dengan sebutan
para begal APBD, seperti terlihat dalam aksi ”Gue Ahok, Lawan Aksi Begal APBD” saat car free day di
Bundaran HI, Jakarta, Minggu (1/3/2015).
Meski prihatin, dalam
ribut-ribut Ahok vs DPRD kali ini, terlihat ada perkembangan baru yang
membanggakan dalam demokrasi kita. Yakni, sebagai negara demokrasi terbesar
ketiga setelah India dan Amerika Serikat, faktor primordial tidak mengemuka
lagi kali ini. Malah Ahok didukung semua orang yang punya semangat
antikorupsi. Setelah kecewa atas putusan hakim Sarpin yang melemahkan KPK,
perlawanan Ahok atas para begal APBD bisa kita jadikan momentum perang
melawan korupsi. Korupsi adalah musuh bersama. Begal motor saja dibakar, masak begal APBD dibiarkan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar