Selasa, 03 Maret 2015

Makroprudensial dan Stabilitas Sistem Keuangan

Makroprudensial dan Stabilitas Sistem Keuangan

Firmanzah  ;  Rektor Paramadina dan Guru Besar FEUI
KORAN SINDO, 02 Maret 2015

                                                                                                                       
                                                

Otoritas moneter dan fiskal di banyak negara tengah diuji untuk merumuskan kebijakan yang tepat menghadapi membanjirnya dana jangka pendek dan risiko ketika dana tersebut keluar dalam tempo yang singkat dari negaranya.

Tuntutan untuk semakin menerapkan kebijakan makroprudensial sebagai langkah mitigasi dampak mobilitas penempatan dana jangka pendek semakin penting bagi banyak negara. Di pasar modal kita, aksi net-buy investor asing perlu kita waspadai mengingat dana ini bersifat jangka pendek. Dana itu sewaktu-waktu bisa keluar mendadak (sudden reversal) dan berisiko membahayakan stabilitas pasar keuangan Indonesia.

Terlebih investor asing sedang menunggu kepastian kapan The Fed akan mengumumkan kenaikan suku bunga yang sempat tertunda sekian kali. Meskipun tertunda, hal tersebut telah memicu kecemasan pelaku pasar sehingga rupiah kita pada perdagangan Jumat( 27/2) ditutup menyentuh level terendah selama lima tahun di mana di pasar spot menyentuh angka Rp12.932 per dolar Amerika Serikat (AS).

Divergensi antara pergerakan nilai tukar rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG) sebenarnya telah terjadi pada pertengahan2011lalu. Anomaliinimerupakan respons dari perilaku pasar yang berbeda ketika sebelum krisis 2008 dimana nilai tukar dan indeks sahamsuatunegara berhubungan secara positif dan linear. Situasi pasar pascakrisis 2008 relatif berbeda ketika negara-negara maju secara hamper bersamaan mengalami perlambatan dan kontraksi.

Situasi ini kemudian mendorong berbagai kebijakan fiskal dan moneter yang tidak lazim digunakan oleh banyak negara maju untuk mengatasi kontraksi ekonomi di negaranya. Salah satunya dengan menggunakan instrumen quantitative easing dan pemberlakuan suku bunga ultrarendah. Keputusan The Fed untuk tetap memberlakukan suku bunga murah hingga April 2015 telah mendorong para investor global untuk memaksimalkan penempatan dananya di negara-negara yang masih menjanjikan spread.

Ini tentunya bersifat sangat sementara dan jangka pendek sebelum The Fed mengakhiri rezim bunga murah. Di lain sisi, Bank Sentral Eropa (ECB) telah mengumumkan program stimulus moneter besar-besaran melalui kebijakan Expanded Asset Purchase Program (EAPP) mulai Maret 2015 hingga September 2016. Nilai stimulus moneter yang direncanakan mencapai sekitar 1 triliun euro (atau sekitar 60 miliar euro per bulan) selama periode tersebut.

Hampir bersamaan dengan itu, Bank Sentral Jepang juga mengumumkan peningkatan stimulus moneternya dari 60 triliun-70 triliun yen per tahun menjadi 80 triliun yen per tahun. Pada saat yang sama Eropa dan Jepang juga mempertahankan suku bunga murah di level 0,05% (Eropa) dan 0,10% di Jepang. Kebijakan stimulus dari Bank Sentral Eropa dan Jepang telah menyebabkan melimpahnya likuiditas di pasar global dan berimbas pada pasar-pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.

Melimpahnya likuiditas global akibat peningkatan stimulus moneter dan suku bunga ultramurah ini kemudian mendorong tingginya permintaan terhadap obligasi baik yang diterbitkan pemerintah maupun swasta. Selain itu investor akan terus berburu saham di pasar- pasar yang masih menjanjikan dalam kurun waktu yang pendek ini sebelum The Fed menaikkan suku bunga.

Hal ini termasuk yang sedang terjadi di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir di mana IHSG terus meningkat dan neraca pembayaran mengalami surplus. Sebaliknya nilai tukar rupiah tertekan akibat menguatnya nilai tukar dolar AS untuk hampir sebagian besar mata uang di negara berkembang. Di saat bersamaan kebutuhan dolar AS di dalam negeri cukup besar baik untuk investasi, pembelian bahan baku maupun pembayaran utang.

Lonjakan IHSG dan surplus neraca pembayaran merupakan imbas dari besarnya likuiditas global yang mendorong permintaan yang tinggi pada instrumen investasi baik jangka pendek maupun panjang. Jika diamati, surplus neraca pembayaran banyak dikontribusi portofolio investasi di surat-surat berharga baik yang diterbitkan pemerintah maupun swasta. Kementerian Keuangan mencatat hingga 24 Februari 2015, pembelian asing pada SBN terus meningkat mencapai Rp 507 triliun atau 40,18% dari total SBN yang diperdagangkan.

Sementara di pasar saham, investor asing juga terus melakukan aksi beli yang sangat agresif sehingga mendorong kenaikan IHSG yang begitu tinggi. BEI mencatat nilai transaksi beli saham sepanjang Februari mencapai Rp10,6 triliun yang 60% di antaranya didominasi aksi beli investor asing.

Secara agregat hingga pertengahan Februari, Bank Indonesia mencatat adanya aliran dana masuk ke pasar saham dan pasar obligasi mencapai Rp53 triliun atau hampir dua kali lipat dari periode yang sama tahun lalu yang hanya mencapai Rp30 triliun. Persoalan yang kemudian muncul dari realitas di atas adalah bagaimana antisipasi ketika terjadi sudden reversal. Hal ini tentu tidak dapat dihindari sebagai siklus arus masuk-keluar yang terjadi di pasar, terlebih ketika ekonomi Amerika Serikat menunjukkan kinerja yang semakin baik (menjelang kenaikan suku bunga The Fed).

Investor akan kembali melakukan relokasi investasinya dari negaranegara berkembang, termasuk Indonesia, kembali ke Amerika. Dalam konteks ini, pemerintah dan Bank Indonesia perlu menyiapkan respons kebijakan yang tepat untuk menghindari efek sudden reversal yang tentunya akan menghambat target pertumbuhan sebesar 5,7% tahun ini.

Selain perlambatan ekonomi, efek yang paling penting untuk dicermati adalah dampaknya ke sektor riil ketika terjadi inflasi yang tidak dapat dikendalikan dengan baik. Kebijakan makroprudensial yang telah diambil Bank Indonesia seperti loan to value (LTV) untuk kredit rumah dan kebijakan DP untuk kredit kendaraan, giro wajib minimum (GWM) berdasarkan LDR, dan transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SDBK) sulit diharapkan dapat mengatasi sudden reversal yang dapat meningkatkan eskalasi risiko.

Diskusi bersama dengan Prof Iwan Jaya Azis beberapa waktu lalu di Bimasena (Jakarta) juga disarankan pentingnya otoritas moneter di Indonesia menerapkan kebijakan selain suku bunga. Salah satu kebijakan makroprudensial yang perlu dipertimbangkan Bank Indonesia adalah penggunaan levy on non-core liabilities (foreign exchange related measures) atau pungutan atas dana asing. Hal ini ditujukan untuk meminimalkan efek pembalikan arus modal keluar ketika terjadi perubahan kebijakan di negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat.

Kebijakan levy ini telah digunakan oleh banyak negara untuk memitigasi risiko sistemik dari pembalikan arus modal keluar seperti Jerman, Prancis atau Korea. Ambil contoh Bank Korea yang telah mengimplementasikan kebijakan levy on non-core liabilities ini sejak 2010 hingga saat ini. Mereka dapat mengendalikan dan menjaga stabilitas di pasar saham, obligasi, dan pasar uang sehingga ancaman keluarnya arus modal jangka pendek dapat diminimalkan untuk menghindari risiko sistemik yang lebih besar.

Pertimbangan penggunaan kebijakan levy on non-core liabilities ini juga sangat membantu untuk mendorong stabilitas tidak hanya di sektor keuangan, tetapi juga sebagai bantalan bagi sektor riil, khususnya di tengah kerentanan kedua sektor ini. Instrumen levy sangat membantu tidak hanya dalam konteks reaktif, tetapi juga proaktif sehingga membanjirnya dana asing yang masuk ke Indonesia dapat dimanfaatkan dengan lebih optimal oleh pemerintah.

Hal ini juga akan bermanfaat untuk menghindari tekanan eksternal yang diperkirakan dihadapi dalam waktu dekat ketika The Fed mengumumkan kenaikan suku bunga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar