Selasa, 03 Maret 2015

KPK dan Orang Kuat Daerah

KPK dan Orang Kuat Daerah

Rhido Jusmadi  ;  Dosen FH Universitas Trunojoyo Madura;
Peneliti the Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi - JPIP
JAWA POS, 02 Maret 2015

                                                                                                                       
                                                

KALAU janji pemberantasan korupsi dalam kampanye Jokowi ditepati, kini rakyat pasti fokus ’’kerja, kerja, kerja’’. Tapi, lidah Jokowi memang tak bertulang. Kini kita harus mengerahkan energi lagi demi mendukung KPK, simbol terkuat keseriusan pemberantasan korupsi. Publik harus terus ’’berjaga’’ karena kebijakan Jokowi diragukan bisa membuat KPK lebih kuat dan aman.

Bila masih seperti saat kampanye, mestinya Jokowi berterima kasih kepada KPK. Sebab, KPK telah sukses menghentikan Jokowi dan DPR mengapolrikan jenderal yang diragukan integritasnya. Bahkan, kalau Jokowi baru saja pidato di Istana Bogor (25/2) menginginkan pencegahan korupsi, cara KPK itu juga bagian dari mencegah berkembangnya koruptor. Mencegah korupsi jadi omong kosong tanpa berani bilang ’’tidak’’ pada aparat yang dinilai korup.

Bukan hanya para aktivis di pusat republik, rakyat di daerah pun pantas cemas bila KPK dimandulkan. KPK juga telah terbukti sanggup menggulung orang-orang kuat di daerah. Tentu saja, di setiap daerah, ada ’’cabang’’ kejaksaan dan kepolisian. Tapi, ternyata KPK dari Jakarta yang mesti turun meringkus para untouchables itu. Entah kenapa, para Kajari dan Kajati, juga Kapolres dan Kapolda, –yang silih berganti– tak menghentikan mereka?

Orang kuat terakhir yang dicokok KPK adalah Fuad Amin Imron, ketua DPRD Bangkalan yang juga mantan bupati dua periode. Sebelumnya, ada Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang digulung kerajaan nepotisnya dan baru saja tertimpa putusan kasasi 7 tahun penjara. KPK juga menangkap Annas Makmun, gubenur Riau, yang dikenal banyak masalah.

Jauh sebelum ketiganya, KPK juga menyeret Syaukani Hasan Rais, bupati terkaya yang memimpin Kutai Kartanegara. Divonis di kasasi 6 tahun penjara karena merugikan negara Rp 103 miliar, pada 2009 Syaukani mengajukan peninjauan kembali (PK). Tapi, usaha itu gagal untuk mengurangi hukuman. Pengacara PK-nya dua bersaudara Wimboyono Seno Adji dan Indrianto Seno Adji!

Zaman berubah. Indrianto kini malah diangkat Jokowi jadi pimpinan sementara KPK. Mengherankan. Jokowi, yang berjanji memperkuat KPK, malah menempatkan pengacara koruptor kasus KPK menjadi pimpinan KPK. Apalagi yang bisa dipegang bila begini?

Di Jawa Timur, pernah ada kasus yang tak tuntas ditangani kepolisian. Yakni, kasus korupsi Bupati Situbondo Ismunarso. Semula, kasus tersebut ditangani polres, tapi dinilai tak ada kemajuan. Masyarakat bergejolak, sampai-sampai memblokade jalur pantura, mendesak kasus itu dituntaskan. Setelah diambil alih KPK, Ismunarso divonis hingga kasasi 9 tahun penjara.

Tentu masih banyak sepak terjang KPK yang menyikat korupsi di daerah. Termasuk, misalnya, mencokok Bupati Buol, Sulawesi Tengah, Amran Batalipu yang ditangkap dalam kasus suap yang melibatkan konglomerat Hartati Murdaya Poo. Penangkapan tersebut sempat dilawan, tapi KPK tak gentar. Amran dan Hartati akhirnya divonis masuk penjara.

Sedikit bandingan, kasus besar yang ditangani kepolisian menyangkut daerah adalah kasus rekening Rp 1,5 triliun milik Bripka Labora Sitorus. Pantas kita kaget ketika di PN Sorong dia hanya divonis 2 tahun penjara, meski di kasasi jadi 15 tahun penjara. Eksekusinya pun alot. Bahkan, dia sempat pulang dari tahanan dengan secarik surat keterangan yang tidak jelas (mirip keluarnya Gayus Tambunan dari tahanan Brimob saat perkaranya ditangani kepolisian). Polemik penanganan eksekusi semacam ini tak pernah terjadi dalam perkara yang ditangani KPK. Sebab, tersangka pasti ditahan dan tak sempat ke mana-mana.

Kejanggalan lain dalam perkara Labora Sitorus, hanya dia seorang yang masuk bui. Padahal, ada laporan dia setor ke para pejabat. Seharusnya itu diuji, apakah pemberian tersebut termasuk gratifikasi atau suap. Beda dengan, misalnya, kasus Ratu Atut. Pengembangannya menyebar ke banyak orang, termasuk adik kandungnya, Tubagus Chaeri Wardana, dan adik tirinya, Lilis Karyawati Hasan, serta para kontraktor rekanan Atut. Kasus Atut sendiri adalah pengembangan dari suap ke Akil Muchtar.

Kita yakin, kalau KPK tetap kuat, kasus Fuad Amin tak berhenti pada dia seorang. Dari barang bukti tunai maupun aset yang sudah lebih dari Rp 200 miliar disita KPK, bisa diduga dia tak bekerja sendirian. Indikator lainnya, para saksi yang diperiksa sangat beragam, tak hanya birokrat di Pemkab Bangkalan. Dan, hartanya tersebar di mana-mana, hingga ke Bali.

Tentu kita berharap penyingkapan koruptor kakap di daerah terus berlangsung, tak harus oleh KPK. Kalau kepolisian dan kejaksaan mau, mereka pasti bisa. Aparat mereka lebih banyak dan lebih menyebar daripada KPK. Terlebih, ketika akhir tahun lalu KPK melontarkan ingin membuka cabang ke daerah, pemerintah juga tak sigap merespons. Banyak korupsi substantif yang masih merajalela di daerah, bukan sekadar ’’kriminalisasi administratif’’ ecek-ecek. Kasus-kasus yang ditangani KPK pasti ditandai ciri mencolok tentang keserakahan, substansi korupsi.

Kalau Pelaksana Tugas Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki bilang akan menyerahkan kasus korupsi yang terjadi di daerah ke kejaksaan (Jawa Pos, 24/1), itu bagus saja. Terlebih kasus yang sudah matang, alias siap tuntut (P-21). Jangan sampai, setelah diserahkan ke kejaksaan oleh KPK, kasusnya malah mendapat surat perintah penghentian penuntutan (SP3).

Penyerahan kasus korupsi ke kejaksaan itu bisa menjadi transfer akuntabilitas manajemen perkara korupsi ala KPK. Mulai pengumpulan bahan keterangan (pulbaket), penyelidikan, penyidikan (penetapan pasal sangkaan), hingga penuntutan. Tak ada main ’’86’’, tawar-menawar pasal, atau suap-menyuap. Akuntabilitas inilah yang menimbulkan kepercayaan pada KPK.

Semoga KPK terus menyinari kegelapan korupsi di daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar