Diskusi Kompas-Kemenko Kesra tentang “Perumahan
Rakyat”
Tingkatkan
Program Terobosan
Neli Triana dan Pingkan Elita
Dundu ;
Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
17 Oktober 2014
SEJAK April 2014, Dodong (57) menempati satu dari 123 unit rumah di
Kampung Deret, Petogogan, Jakarta Selatan. Rumahnya menghadap ke taman.
Kampung itu kini jauh lebih bersih, terang, dan hijau. Sesuatu yang
sebelumnya tak terlintas bakal terjadi di bekas kawasan kumuh itu. Kampung
deret Petogogan dinilai sebagai salah satu kerberhasilan Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta menata kawasan kumuh selain pencapaian serupa dan lebih masif di
Waduk Pluit, Jakarta Utara.
Direktur Utama PT Jakarta Propertindo Budi Karya Sumadi, yang menjadi
motor penggerak penataan di Waduk Pluit, mengatakan, program itu terlaksana
bukan tanpa hambatan.
”Pendekatannya beda. Kalau sebelumnya sektoral dan manajemennya
terfragmentasi, sekarang kami coba dengan pendekatan per tema dengan
pengelolaan melibatkan pemerintah, swasta, dan badan usaha milik
negara/daerah. Manusia atau masyarakat menjadi fokus program peningkatan
kualitas hidup, jadi bukan sekadar memasang target pembangunan fisik rumah,”
katanya.
Pembiayaan untuk pembebasan lahan yang diokupasi secara liar di Waduk
Pluit, misalnya, amat besar. DKI akhirnya memanfaatkan tanggung jawab sosial
perusahaan (CSR) sebagai salah satu sumber dana untuk menyukseskan proyek
Waduk Pluit.
Menata apalagi sampai harus memindahkan warga yang selama puluhan tahun
terbiasa hidup di lingkungan tertentu, jelas bukan perkara mudah. Di
Petogogan saja perlu satu tahun berdialog dengan warga agar program bisa
dijalankan. Ketika akhirnya kampung deret selesai dan dihuni, persoalan lain
muncul. ”Masih banyak ibu-ibu yang setelah masak dan bersih-bersih rumah,
duduk-duduk saja karena tidak ada pekerjaan. Padahal, kalau bisa diberdayakan
secara ekonomi, mereka bisa sangat produktif dan keuangan setiap keluarga
juga akan membaik. Ini yang sedang kami pikirkan agar ada solusi bagi
mereka,” kata Budi.
Paket
menu pembangunan
Optimisme turut didengungkan Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar. Zaki
memimpin wilayah seluas 956,6 kilometer persegi yang didiami 3,1 jiwa
penduduk. Di tengah booming pembangunan perumahan untuk kaum berpunya di
kabupaten yang dijuluki kawasan seribu industri itu, Zaki harus menghadapi
kenyataan bahwa terdapat 407 kawasan yang tergolong padat, kumuh, dan miskin
(pakumis) di wilayahnya.
Kondisi masyarakat di kabupetan ini, di antaranya sebanyak 13.950
keluarga tinggal di permukiman kumuh, 5.283 keluarga tinggal di kawasan
bentaran sungai, situ, dan sempadan pantai. Mereka menempati 81.440 bangunan
yang tidak permanen.
”Masih ada warga saya yang dolbon, doli, juga dolbak. Itu istilah warga
yang, maaf, masih suka buang air kecil ataupun besar sembarangan (di kebon,
di kali, dan di tambak), tidak di kamar kecil/WC,” kata Zaki.
Zaki kemudian meluncurkan Gerakan Bersama Rakyat Atasi Kawasan Padat,
Kumuh, dan Miskin (Gebrak Pakumis). Program ini sebagian dibiayai APBD,
tetapi menyadari kondisi buruk itu dan terbatasnya uang yang dimiliki
pemerintah daerah, Zaki berinisiatif menggandeng pihak ketiga. Di antaranya,
pengembang besar serta para pengusaha dan pemilik pabrik yang selama ini
beroperasi di Kabupaten Tangerang.
Zaki membuat Buku Biru CSR yang kerap disebutnya sebagai buku menu.
Dalam buku tersebut sudah tercantum, misalnya pembangunan WC atau MCK yang
besaran nilainya Rp 8 juta per unit, rumah dengan harga Rp 15 juta per unit.
Ada juga pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) PAL komunal
seharga Rp 150 juta per 10 unit rumah-Rp 500 juta per 25 unit rumah.
Selain itu, ada paket sanitasi sekolah termasuk membangun sekolah dasar
dengan berbagai tipe. Besaran nilai untuk membangun SD ini antara Rp 160
juta-Rp 180 juta. Sementara paket membangun suatu kawasan senilai Rp 2
miliar.
”Silakan, para mitra ini bisa memilih paket menu apa yang diminati. Di
lokasi mana yang mereka setuju melakukan pembangunan. Kalau mau membangun
rumah untuk warga miskin ini tidak perlu menggunakan sistem atau formula 1 :
2 : 3,” ujar Zaki.
Selanjutnya, setelah memilih menu dan lokasi, mitra harus berkoordinasi
dengan Bappeda atau tim Tanggung jawab Sosial Lingkungan Perusahaan (TSLP).
Zaki mengatakan, yang ada di buku biru adalah sasaran pembangunan yang
belum bisa ditangani dana APBD. Sengaja disajikan secara transparan dan bisa
dilihat semua pihak agar ketumpangtindihan program tidak terjadi.
Di lapangan, realisasi program bisa dipantau langsung di setiap obyek
yang disasar. Akan ada stiker bertuliskan pihak penyandang dana di bagian
depan obyek pembangunan.
Lembaga mitra yang telah bergabung, antara lain IUWASH-USAID, KUD Mina
Samudera, HFH, LSM Best, dan Satuan Kerja Pembangunan Permukiman Kementerian
PU. Pihak swasta yang telah bergabung, antara lain, Suwarna Padi, Citra Raya,
Millenium Industri, serta TNI Manunggal Masuk Desa (tahap sinkronisasi
program).
Program bantuan bedah rumah bagi warga miskin ini sudah ada sejak tahun
2011. Saat itu, 50 unit rumah warga di Kampung Rawa Saban, Desa Suryabahari,
Kecamatan Pakuhaji dibangun dengan dana APBD tahun itu sebesar Rp 500 juta.
Program di tempat ini jadi percontohkan Gebrak Pakumis.
Setahun kemudian, dengan dana Rp 8 miliar dari APBD Pemkab dapat membedah
1.052 unit rumah. Selanjutnya, dana Rp 8 miliar dari APBD Tahun 2013 untuk
membedah sebanyak 800 unit rumah. Tahun ini, dengan dana APBD Tahun 2014
sebesar Rp 14 miliar, 1.041 unit rumah tidak permanen diubah menjadi
permanen.
Namun, patut diingat, kawasan kumuh ada dan tumbuh seiring pertumbuhan
penduduk. Di Jakarta, misalnya, tidak hanya Waduk Pluit dan Petogogan yang
butuh ditata dan dipikirkan upaya menaikkan kualitas hidup warganya.
Budi Karya dan Zaki berpesan agar terobosan yang telah ada dikembangkan
dan diperbaiki sisi-sisi yang masih kurang. Jangan sampai setiap ganti
pemimpin, entah presiden ataupun gubernur, kebijakan penyediaan perumahan
bagi masyarakat berpenghasilan rendah kembali berubah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar