Maritim
Dunia Presiden Jokowi
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
22 Oktober 2014
PIDATO pelantikan presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, mengejawantahkan
kebijakan luar negeri akan berubah dibandingkan era presiden sebelumnya.
Kalau kita menyimak isi pidato itu, Presiden Jokowi menyebutkan kata laut
sebanyak empat kali, kata gotong royong empat kali, kata negara maritim dua
kali, serta kata laut, samudra, selat, dan teluk dalam suatu kesatuan dua
kali.
Presiden Jokowi juga menegaskan, kebijakan luar negeri pemerintahannya
akan tetap bertumpu politik bebas-aktif dalam pergaulan internasional.
Menarik dicermati bagaimana sebenarnya pengejawantahan kebijakan luar negeri
presiden ke-7 ini untuk melakukan sinkronisasi dengan samudra dan laut yang
menjadi warisan yang tidak bisa diabaikan.
Kebijakan luar negeri secara bebas dan aktif di samudra dan laut di
sekitar kawasan yang diapit Samudra Pasifik dan Samudra India, dalam konsep
yang disebut Poros Maritim Dunia dan dirumuskan secara jelas oleh Direktur
Eksekutif CSIS Rizal Sukma (Kompas,
20/8).
Bahkan, dalam seminar yang diselenggarakan Centre for Chinese Studies
awal bulan ini, konsep ini dirumuskan Sukma menjadi lima elemen penting
sebagai cetak biru pemerintahan Presiden Jokowi. Kelima elemen ini adalah
budaya maritim, infrastruktur maritim, sumber daya maritim, diplomasi
maritim, dan pertahanan maritim.
Pemikiran ini didorong dari adanya kebutuhan domestik untuk
memanfaatkan dan membangun potensi kelautan Indonesia sebagai negara
kepulauan, tetapi di sisi lain tidak bisa disangkal reposisi Indonesia dalam
percaturan geopolitik regional di antara dua samudra mengharuskan
terbentuknya rumusan kebijakan luar negeri yang jelas dan luas.
Pada posisi ini, setidaknya ada beberapa faktor yang perlu menjadi
pertimbangan. Pertama, terminologi poros (axis)
terkesan bersandar pada bentukan aliansi yang sekarang terdorong sangat kuat
menghadapi kebangkitan Tiongkok. Terminologi poros mengingatkan era Perang
Dingin dan menjadi tidak memadai dalam upaya kita menopang kebijakan
bebas-aktif dalam interaksi geopolitik regional ataupun global.
Rizal Sukma condong memilih terminologi titik tumpu (fulcrum) sebagai pangkal tolak
menghadapi perubahan dinamis ketika sejumlah gagasan bermunculan dalam
pembentukan strategi arsitektur keamanan baru di kawasan Indo-Pasifik.
Sebagai titik tumpu, setidaknya konsep Tumpuan Maritim Dunia bisa
mencerminkan posisi strategis Indonesia sebagai titik pangkal persinggahan
kapal-kapal perdagangan yang ramai di kawasan ini, sekaligus memberikan
peluang mendorong gagasan-gagasan arsitektur kerja sama dan keamanan yang
saling mendukung kepentingan nasional semua pihak.
Kedua, konsep kemaritiman Indonesia akan teruji ketika Tiongkok
mendorong secara tegas dan cepat gagasannya tentang Jalan Sutra Maritim (haishang sichou zhi lu) yang didukung
pendanaan masif sebesar 50 miliar dollar AS membentuk Bank Investasi
Infrastruktur Asia (AIIB) yang ditolak AS dengan memengaruhi Australia dan
Korea Selatan.
Gagasan RRT dianggap menyaingi eksistensi Bank Dunia dan Bank
Pembangunan Asia (ADB) dalam mengalokasikan dana infrastruktur kawasan Asia
yang diperkirakan 8 triliun dollar AS sampai tahun 2020. Beijing
menganggapnya sebagai alternatif pembiayaan pembangunan ketimbang mekanisme
yang ada dan harus memenuhi standar lingkungan, pengadaan, ataupun katup
pengamanan lainnya.
Kehadiran AIIB yang akan diumumkan menjelang pertemuan APEC di Beijing
bulan depan menjadi menarik ketika gagasan pembangunan maritim dan kelautan
memerlukan dana masif menjadi alternatif pembiayaan baru di kawasan ini. Dan
Presiden Jokowi dalam menjalankan kebijakan luar negerinya tidak terjebak
dalam lingkup pengaruh yang disebut sebagai ”bentuk baru hubungan negara adikuasa”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar