Kamis, 23 Oktober 2014

Maritim Dunia Presiden Jokowi

Maritim Dunia Presiden Jokowi

Rene L Pattiradjawane  ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 22 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


PIDATO pelantikan presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, mengejawantahkan kebijakan luar negeri akan berubah dibandingkan era presiden sebelumnya. Kalau kita menyimak isi pidato itu, Presiden Jokowi menyebutkan kata laut sebanyak empat kali, kata gotong royong empat kali, kata negara maritim dua kali, serta kata laut, samudra, selat, dan teluk dalam suatu kesatuan dua kali.

Presiden Jokowi juga menegaskan, kebijakan luar negeri pemerintahannya akan tetap bertumpu politik bebas-aktif dalam pergaulan internasional. Menarik dicermati bagaimana sebenarnya pengejawantahan kebijakan luar negeri presiden ke-7 ini untuk melakukan sinkronisasi dengan samudra dan laut yang menjadi warisan yang tidak bisa diabaikan.

Kebijakan luar negeri secara bebas dan aktif di samudra dan laut di sekitar kawasan yang diapit Samudra Pasifik dan Samudra India, dalam konsep yang disebut Poros Maritim Dunia dan dirumuskan secara jelas oleh Direktur Eksekutif CSIS Rizal Sukma (Kompas, 20/8).

Bahkan, dalam seminar yang diselenggarakan Centre for Chinese Studies awal bulan ini, konsep ini dirumuskan Sukma menjadi lima elemen penting sebagai cetak biru pemerintahan Presiden Jokowi. Kelima elemen ini adalah budaya maritim, infrastruktur maritim, sumber daya maritim, diplomasi maritim, dan pertahanan maritim.

Pemikiran ini didorong dari adanya kebutuhan domestik untuk memanfaatkan dan membangun potensi kelautan Indonesia sebagai negara kepulauan, tetapi di sisi lain tidak bisa disangkal reposisi Indonesia dalam percaturan geopolitik regional di antara dua samudra mengharuskan terbentuknya rumusan kebijakan luar negeri yang jelas dan luas.

Pada posisi ini, setidaknya ada beberapa faktor yang perlu menjadi pertimbangan. Pertama, terminologi poros (axis) terkesan bersandar pada bentukan aliansi yang sekarang terdorong sangat kuat menghadapi kebangkitan Tiongkok. Terminologi poros mengingatkan era Perang Dingin dan menjadi tidak memadai dalam upaya kita menopang kebijakan bebas-aktif dalam interaksi geopolitik regional ataupun global.

Rizal Sukma condong memilih terminologi titik tumpu (fulcrum) sebagai pangkal tolak menghadapi perubahan dinamis ketika sejumlah gagasan bermunculan dalam pembentukan strategi arsitektur keamanan baru di kawasan Indo-Pasifik. Sebagai titik tumpu, setidaknya konsep Tumpuan Maritim Dunia bisa mencerminkan posisi strategis Indonesia sebagai titik pangkal persinggahan kapal-kapal perdagangan yang ramai di kawasan ini, sekaligus memberikan peluang mendorong gagasan-gagasan arsitektur kerja sama dan keamanan yang saling mendukung kepentingan nasional semua pihak.

Kedua, konsep kemaritiman Indonesia akan teruji ketika Tiongkok mendorong secara tegas dan cepat gagasannya tentang Jalan Sutra Maritim (haishang sichou zhi lu) yang didukung pendanaan masif sebesar 50 miliar dollar AS membentuk Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) yang ditolak AS dengan memengaruhi Australia dan Korea Selatan.

Gagasan RRT dianggap menyaingi eksistensi Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam mengalokasikan dana infrastruktur kawasan Asia yang diperkirakan 8 triliun dollar AS sampai tahun 2020. Beijing menganggapnya sebagai alternatif pembiayaan pembangunan ketimbang mekanisme yang ada dan harus memenuhi standar lingkungan, pengadaan, ataupun katup pengamanan lainnya.

Kehadiran AIIB yang akan diumumkan menjelang pertemuan APEC di Beijing bulan depan menjadi menarik ketika gagasan pembangunan maritim dan kelautan memerlukan dana masif menjadi alternatif pembiayaan baru di kawasan ini. Dan Presiden Jokowi dalam menjalankan kebijakan luar negerinya tidak terjebak dalam lingkup pengaruh yang disebut sebagai ”bentuk baru hubungan negara adikuasa”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar