Legitimasi Moral
Dewan Pendidikan Nasional
Doni Koesoema A ; Pemerhati Pendidikan
|
KOMPAS,
16 Oktober 2014
SALAH satu kritik pedas para akademisi dan praktisi pendidikan terhadap
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono adalah kelalaiannya dalam membentuk
lembaga mandiri yang menjadi pengawas kebijakan pendidikan nasional, yaitu
Dewan Pendidikan Nasional. Meski sah-sah saja apabila pada akhir masa
jabatannya, SBY membentuk DPN, legitimasi moral pembentukan DPN ini
dipertanyakan karena sarat kepentingan politis.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuka pendaftaran anggota DPN
pada 15-22 September 2014. Kritik Federasi Serikat Guru Indonesia atas
pembentukan DPN masuk akal dan dapat diterima. FSGI mengkritik, pembentukan
DPN tidak tepat waktu serta persyaratannya pun melecehkan kandidat anggota
DPN. Selain itu, dasar hukum pembentukan DPN ternyata menyimpang dari amanat
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 56 (Ayat 2) tentang
DPN sebagai lembaga mandiri dan tidak di bawah hierarki Kemendikbud.
DPN memiliki fungsi strategis dalam mengawal dan mengawasi kebijakan
nasional pendidikan yang dikeluarkan Kemendikbud. Selama hampir 10 tahun,
lembaga ini (sengaja) tidak dibentuk SBY. Kita tidak tahu pasti alasan SBY
menunda-nunda pembentukan DPN. Yang jelas, dengan tertundanya pembentukan
DPN, pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan nasional pendidikan
menjadi tidak terkontrol.
Sebaliknya, kebijakan pendidikan nasional yang menentukan nasib seluruh
bangsa ini hanya ditentukan oleh segelintir elite di Kemendikbud, yang
memiliki kekuasaan tak terbatas dalam memaksakan ide-ide pendidikannya, meski
telah terbukti gagal. Salah satu kebijakan yang terbukti gagal adalah ujian
nasional. Segera akan menyusul kegagalan—karena didesain secara
serampangan—adalah kebijakan pemaksaan implementasi Kurikulum 2013.
Delegitimasi
publik
Membentuk lembaga sestrategis DPN hanya beberapa hari sebelum turun
takhta—apalagi jika disertai keberatan dan protes dari masyarakat, salah
satunya dari FSGI—telah mendelegitimasi proses pembentukan DPN. Meskipun
pemerintah tetap bersikeras membentuk DPN, seperti adatnya selama 10 tahun
terakhir ini yang semakin gemar memaksakan kehendak, pembentukan DPN ini
telah cacat secara moral. Legitimasi moral pembentukan DPN dipertanyakan.
Mempertanyakan legitimasi moral sebuah keputusan politik merupakan hal
yang wajar dalam masyarakat demokrasi yang beradab. Kita tahu, demokrasi bisa
dibajak. Peraturan pun bisa dikangkangi oleh pembuat peraturan demi membela
dan menyelamatkan kepentingan diri dan kelompoknya. Legitimasi moral sebuah
kebijakan adalah dasar bagi proses pemartabatan kehidupan demokrasi.
Demokrasi tanpa landasan moral hanya akan menjadi proses politik yang
membajak dan melecehkan aspirasi rakyat.
Membentuk sebuah lembaga yang
memiliki peran penting bagi keberlangsungan pendidikan nasional pada
masa depan tidak dapat dilakukan tanpa persiapan dan sosialisasi yang baik.
Itu karena yang direkrut adalah individu-individu terbaik yang memiliki
pemikiran kritis dan visi ke depan bagi peningkatan kualitas pendidikan
nasional. Sayangnya, alokasi waktu pendaftaran yang terbatas, sosialisasi
yang terkesan tertutup, dan persyaratan yang tidak relevan justru yang
terjadi.
Proses pemilihan anggota DPN tidak diawali dengan proses sosialisasi
kepada publik melalui media sehingga masyarakat umum bisa mempersiapkan
proses seleksi dengan lebih baik. Lebih lagi, proses pengumuman pendaftaran
terkesan dilakukan dengan diam-diam. Padahal, sosialisasi tentang seleksi ini
diperlukan agar banyak anggota DPN berkualitas menduduki posisi ini yang
terjaring dari seluruh Indonesia.
Persyaratan yang ditentukan pun ternyata tidak relevan. Untuk memilih
anggota DPN yang akan menjadi pengawas kebijakan pendidikan, terkait dengan
visi dan komitmen kandidat atas pendidikan nasional tidak dipersyaratkan,
melainkan justru Surat Keterangan Catatan Kepolisian. Apakah mereka yang
mendesain syarat-syarat ini takut kalau yang masuk adalah para teroris
sehingga mereka perlu SKCK?
Malah yang lebih penting, seperti tulisan ringkas mengenai alasan
mengapa mereka layak menjadi anggota DPN yang menunjukkan visi dan misi
kandidat tidak ada. Apalagi, dalam praktiknya, SKCK mensyaratkan banyak hal,
seperti surat keterangan RT, RW, kelurahan, fotokopi kartu keluarga, KTP, dan
pasfoto. Siapa yang bisa mempersiapkan hal ini dalam waktu cepat? Kita tahu,
urusan birokrasi di negeri ini masih sangat lambat dan tidak efektif.
Agenda penetapan anggota DPN oleh Mendikbud pada 20 Oktober, satu hari
sebelum pelantikan presiden terpilih Joko Widodo, juga menimbulkan
pertanyaan. Mengapa setelah 10 tahun abai terhadap DPN, sekarang seolah-olah
harus segera membentuk DPN, seakan-akan dunia pendidikan kita akan runtuh
apabila DPN tidak terbentuk?
Kebijakan yang grusa-grusu seperti ini merupakan pola yang sama dengan
ketika pemerintah memaksakan pelaksanaan Kurikulum 2013, yang seolah-olah
langit akan runtuh apabila Kurikulum 2013 tidak segera dilaksanakan.
Pantaslah jika masyarakat melihat pembentukan DPN ini hanya sebagai sarana
untuk melegitimasi kebijakan pendidikan yang sudah ada, apalagi apabila
independensi lembaga ini terpasung sebab yang memilih mereka adalah
Mendikbud.
Santun
politik
Pemerintah semestinya melakukan evaluasi kebijakan yang salah kaprah
dan tidak memberikan banyak manfaat bagi pemangku kepentingan pendidikan,
seperti kebijakan ujian nasional dan Kurikulum 2013, tidak malah melakukan
yang tidak seharusnya dia lakukan dengan membentuk DPN.
Apabila pemerintahan SBY memiliki niat baik, berdasarkan pemikiran
rasional dan jernih nuraninya, semestinya pembentukan DPN diserahkan saja
kepada pemerintah baru. Yang memiliki kepentingan utama membentuk DPN adalah
pemerintah yang akan menjalankan kebijakan pendidikan. Ini adalah bentuk
santun politik dalam alam demokrasi.
Presiden SBY semestinya meninggalkan takhta kekuasaannya dengan berdiri
tegak sebagai pemimpin moral yang jernih akal budi dan memiliki kesantunan
politik santun sebagai negarawan. Meninggalkan kebijakan politik yang cacat
secara moral akan menghancurkan kredibilitas kenegarawanan yang sudah
dibangun oleh Presiden SBY selama sepuluh tahun kepemimpinannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar