Rabu, 29 Oktober 2014

Stroke - Edukasi dan Kampanye untuk Pencegahan

Edukasi dan Kampanye untuk Pencegahan

Asra Al Fauzi  ;  Dokter Ahli Bedah Saraf,
Dosen FK Unair, Surabaya Neuroscience Institute (SNei)
JAWA POS, 29 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


STROKE merupakan penyakit yang banyak dihadapi dengan kepasrahan. Terkena penyakit itu seperti mendapat dogma mati atau cacat seumur hidup. Menyambut Hari Stroke Sedunia, 29 Oktober, kita diingatkan kembali untuk lebih memahami silent epidemic yang melanda seluruh dunia ini. Fakta miris disampaikan Badan Kesehatan Dunia. Saat ini satu di antara enam orang di dunia menderita stroke. Catatan lain menunjukkan, setiap 6 detik terdapat 1 orang terkena stroke. Suatu angka yang fantastis dan berujung pada pertanyaan, kita termasuk yang mana?

Setiap tahun kurang lebih 15 juta orang di dunia terkena stroke. Enam juta di antaranya meninggal dunia. Dan, lima juta sisanya akan mengalami cacat permanen. Di Amerika Serikat, stroke merupakan pembunuh ketiga setelah sakit jantung dan kanker. Karena itu, 43 persen dari total anggaran kesehatan dipakai untuk penanganan stroke. Dalam data tercatat saat ini 80 persen penderita stroke hidup di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Sangat kontradiktif dengan pendapat bahwa stroke adalah penyakit orang kaya atau penyakit yang diderita karena gaya hidup mewah. Namun, bisa juga diambil kesimpulan sederhana bahwa di negara maju dengan sistem edukasi dan pelayanan kesehatan yang baik dan modern, stroke dapat dicegah dan dikurangi angka kejadiannya. Pengobatan stroke secara tuntas dapat mencegah kecacatan permanen.

Selama ini, world campaign untuk gross epidemic seperti AIDS, malaria, atau tuberkulosis (TBC) sangat membahana. Bahkan sangat menyentuh kebijakan pemerintah dan gaungnya sangat besar di masyarakat. Tetapi, stroke saat ini belum dianggap penting sehingga seolah menjadi silent epidemic. Akibatnya, dana, kebijakan, atau promosi kesehatannya belum menyentuh masyarakat secara merata. Padahal, selain mematikan, penyakit ini akan berdampak pada sosial ekonomi bila mengakibatkan cacat permanen.

Di negara maju, angka kejadian stroke semakin turun. Di Amerika Serikat, lazim orang mengonsumsi aspirin (obat pengencer darah). Orang bersepeda ke kantor bukan semata-mata untuk menghindari macet. Alasan lainnya adalah exercise. Hal itu berbeda dengan negara berkembang, termasuk Indonesia. Perilaku menuju stroke prone person semakin membudaya. Orang usia muda semakin banyak terpapar risiko stroke. Kehidupan metropolis dengan fast food dan stres sudah menjadi label yang sulit dihindari. Yang diperlukan saat ini adalah edukasi dan promosi pencegahan stroke ke masyarakat. Tentu, ini bukan tugas dokter saja.

Edukasi Stroke

Ada beberapa faktor risiko stroke. Beberapa di antaranya jelas dapat dikendalikan. Yaitu, tekanan darah tinggi (hipertensi), kolesterol tinggi, merokok, diabetes, konsumsi alkohol, obesitas, stres, drug abuse, dan gaya hidup tidak sehat. Artinya, dengan pola hidup yang benar dan memeriksakan kesehatan secara rutin, stroke bisa kita cegah. Pemahaman ini perlu diedukasikan ke seluruh masyarakat. Pencegahan selalu lebih baik dibandingkan pengobatan. Ketersediaan sarana kesehatan juga ikut berperan. Survei di Amerika Serikat menunjukkan, 75–80 persen stroke disebabkan penyempitan pembuluh darah di leher. Dan, ini jelas treatable disease. Dengan penanganan medis maupun tindakan operatif menggunakan alat modern, penyebab stroke (penyempitan pembuluh darah) ini dapat diobati.

Stroke bisa menyerang siapa saja. Namun, stroke bisa dicegah dan disembuhkan. Perlu kebijakan secara institusional untuk program edukasi secara global dan merakyat. Stroke bukan saja milik orang kota. Semua orang bisa terkena sehingga pesan edukasi tidak hanya disampaikan di rumah sakit internasional atau di high class hospital. Pencegahan stroke sudah harus dimulai di tingkat puskesmas. Pengenalan risiko dan tanda-tanda dini stroke dapat dimulai dari pesan sederhana sebagaimana pentingnya imunisasi pada balita atau tanda-tanda penyakit demam berdarah.

Pengenalan tanda dini stroke seperti kesemutan mendadak di satu sisi tubuh, tiba-tiba bicara pelo, vertigo mendadak, atau tiba-tiba jatuh dan koma sudah harus ditanamkan kepada seluruh masyarakat. Dan, ketika mendapati seseorang memiliki tanda-tanda stroke, dia harus segera dibawa ke rumah sakit terdekat atau kota terdekat dengan fasilitas penanganan stroke primer.

Untuk menghindari potensi kecacatan dan kematian karena stroke, secara institusional rumah sakit juga harus lebih jujur dan bertanggung jawab. Stroke corner, stroke unit, stroke center atau apa pun namanya jangan hanya dijadikan simbol komoditas untuk dijual, padahal sarana dan sumber daya tidak memadai. Masyarakat akan banyak dirugikan. Mereka butuh penanganan yang optimal dan tuntas. ’’Time is brain’’ adalah dogma pada stroke. Semakin cepat ditangani, penderita akan sembuh sempurna. Perlu sumber daya, sarana diagnosis, dan sistem yang terpadu di sarana kesehatan, terutama karena golden time untuk stroke maksimal 4 jam setelah serangan.

Bersama World Stroke Day 2014, khusus aparatur kesehatan dan jajaran terkait mulai diingatkan kembali untuk tetap ikut serta dalam global campaign 1 in 6. Jujur, kita belum bergerak maju, tetapi paling tidak edukasi bisa kita lakukan di keluarga dan di lingkungan masyarakat kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar