Tugas
Berat Kabinet Baru
A Prasetyantoko ; Dosen di Unika Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS,
27 Oktober 2014
ANTUSIASME rakyat menyambut pelantikan Presiden Joko Widodo
disebut sebagai peristiwa sejarah yang tidak pernah terjadi sejak Presiden
Soekarno. Namun, kegembiraan itu tak bisa berlarut mengingat kompleksitas
persoalan bangsa telah menanti begitu lama. Presiden baru pun segera menemui
banyak dilema pada hari pertama masa kerjanya.
Memilih 34 menteri menjadi tantangan pertama. Ketika akhirnya
komposisi kabinet diumumkan, kita wajib menghormati hak prerogatif Presiden.
Namun, sebagai warga negara, kita juga berhak mengawal kinerja pemerintah,
khususnya para menteri.
Presiden Joko Widodo datang ke istana dengan cita-cita besar
mengembalikan kejayaan Indonesia di kancah dunia. Tentu dengan berpijak pada
modal kekuatan dalam negeri dengan mengusung program Kedaulatan dalam
Politik, Kemandirian dalam Ekonomi, dan Berkepribadian dalam Kebudayaan.
Wujud kejayaan bangsa diartikulasikan dalam semboyan kuno ”Jalesveva
Jayamahe” atau ”Di Laut Kita Jaya” yang dikumandangkan saat pelantikan.
Dalam rangka mewujudkan cita-cita besar tersebut, ada banyak
tantangan riil yang harus segera diselesaikan pada tingkat kementerian.
Pertama, kondisi fiskal pemerintah berpotensi mengalami masalah cash flow menjelang akhir tahun ini.
Menteri keuangan baru harus segera mengatur strategi mengamankan posisi
keuangan negara. Untunglah jika menteri yang dipilih sudah berpengalaman di
Kementerian Keuangan pada pemerintahan sebelumnya.
Kedua, menyiapkan perangkat kebijakan mengubah arah fiskal
dengan mengurangi subsidi bahan bakar minyak serta mengalihkannya ke pos lain
yang lebih produktif. Ini merupakan hajatan besar yang melibatkan banyak
kementerian karena berimplikasi makroekonomi, politik, dan sosial.
Ketiga, mengubah Undang-Undang RAPBN 2015 yang sudah disahkan.
Tanpa perubahan, tak mungkin pemerintahan baru merealisasikan janji politik.
Keempat, merancang kebijakan di semua lini yang esensinya mendorong sisi
penawaran dalam ekonomi. Selama sepuluh tahun terakhir, sisi pasokan tak
pernah diperhatikan.
Pemerintah baru harus berpikir sebaliknya, membongkar struktur
perekonomian melalui aneka kebijakan strategis di sejumlah bidang, khususnya
sektor riil. Jika dalam proses itu menimbulkan gangguan stabilitas, perlu
perangkat mitigasinya. Bukan sebaliknya, untuk menghindari instabilitas,
pemerintah tidak berani melakukan perubahan struktural.
Menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) hanya langkah paling
awal dalam perubahan struktural. Jika tujuannya stabilitas, kebijakan ini
perlu dihindari. Cara paling mudah, memangkas pengeluaran di kementerian dan
lembaga. Dengan kecenderungan turunnya harga minyak di pasar dunia, cara ini
diyakini bisa menutup kebutuhan subsidi BBM. Namun, tujuannya tidak sekadar
menutup kekurangan subsidi, tetapi mengubah arah fiskal menjadi lebih
produktif. Maka dari itu, mengalihkan anggaran subsidi menjadi keharusan.
Selain meningkatkan pendapatan pajak, juga membenahi industri minyak dan gas
bumi agar lebih efisien.
Jadi, argumen penolakan kenaikan harga BBM dengan alasan sektor
migas belum efisien menjadi tak sahih. Meskipun kenaikan harga BBM juga akan
kehilangan legitimasi jika tak dibarengi pembersihan sektor migas dari para
pemburu rente (mafia).
Setelah berhasil menaikkan harga BBM, penghematan anggaran yang
diperoleh harus segera dibelanjakan pada pos lain. Jika tidak, menambah beban
masyarakat tanpa memberikan manfaat peningkatan produktivitas serta daya beli
masyarakat. Selama ini, tambahan belanja modal tak menjadi prioritas karena
dari pos yang sudah dialokasikan tak pernah terserap maksimal.
Ke mana penghematan subsidi sebaiknya dialokasikan? Ada dua arah
kebijakan yang bisa dituju. Pertama, mengikuti poros maritim yang sudah
dicanangkan, pengalihan subsidi diarahkan untuk mempercepat pembangunan
infrastruktur kelautan, seperti pelabuhan dan industri galangan kapal. Kedua,
bisa diarahkan untuk mendorong pembangunan infrastruktur pedesaan guna
mendukung sektor pertanian, seperti bendungan, irigasi, dan akses ke sentra
produksi.
Secara umum, kebijakan pemerintah baru berorientasi pokok
memperkuat perekonomian domestik sebagai satu kesatuan mata rantai nilai
pasokan yang utuh. Langkah ini urgen karena akhir 2015 perekonomian domestik
kita akan terhubung dengan mata rantai nilai regional dalam kerangka
Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Selain itu, orientasi kebijakan harus diarahkan untuk
mengimplementasikan kemandirian dalam perekonomian. Selama ini, kita masih
tergantung dari sumber daya asing dalam menggerakkan perekonomian domestik.
Tahun ini, pertumbuhan ekonomi diperkirakan 5,2 persen, dengan defisit
transaksi berjalan sekitar 3,1 persen. Artinya, untuk mendorong pertumbuhan
sebesar 5,2 persen saja, kita masih harus ”berutang” dengan pihak asing dalam
berbagai hal senilai 3,1 persen terhadap produk domestik bruto kita. Artinya,
daya saing perekonomian kita sangat rendah.
Kemandirian ekonomi harus dibangun dengan cara menurunkan defisit
transaksi berjalan dengan cara menaikkan produktivitas dan daya saing
perekonomian. Pertama, neraca barang harus surplus, artinya impor harus
ditekan, sementara ekspor didorong. Impor bahan baku yang mencapai 75 persen
dari total impor mengharuskan pemerintah baru membangun industri penghasil
bahan baku di pasar domestik.
Kedua, neraca jasa selama ini selalu defisit. Arah poros maritim
harus diikuti dengan membangun logistik kelautan. Selama ini, jasa pengapalan
dan asuransi ekspor selalu dikuasai asing. Guna menekan neraca jasa, kita
harus membangun sektor jasa transportasi kelautan yang memadai.
Akhirnya, meskipun kabinet sudah terbentuk, tetap harus
diciptakan mekanisme penilaian agar presiden punya hak mengganti menteri di
tengah jalan jika terbukti tidak mampu melaksanakan pekerjaan, baik karena
alasan kompetensi maupun integritas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar