Senin, 27 Oktober 2014

Memilih Menteri dengan Meritokrasi

Memilih Menteri dengan Meritokrasi

Mochammad Sayyidatthohirin ,  Ketua Komunitas Peduli Politik (KPP),
Peraih Beasiswa Bidikmisi IAIN Walisongo Semarang
HALUAN, 20 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Tanggal 20 Oktober 2014 merupakan mo­mentum sakral bagi bangsa Indonesia, teutama bagi Presiden Terpilih Joko Widodo (Jokowi) karena dia bersama dengan wakilnya Jusuf Kalla (JK) akan dilantik. Itu pertanda secara konstitusional Jokowi telah sah menjadi Presiden Indonesia ketujuh. Artinya Jokowi memi­liki tanggungjawab besar mengemban amanat rakyat untuk memimpin Indonesia setidaknya hingga lima tahun ke depan.

Seiring dengan itu, Jokowi memiliki tugas pertama yang cukup berat dan signifikan, ialah menentukan susunan anggota kabinet. Dalam hal ini, setidaknya Jokowi pernah berjanji kepada rakyat ketika berkampanye bahwa dia akan membentuk kabinet profesional. Maksudnya adalah kabinet yang akan dibentuknya terbe­bas dari unsur politik balas budi, bagi-bagi jatah kursi, nepotisme, atau pun tran­saksional. Maka, jika Jokowi tidak ingin rakyat menyebutnya seorang munafik, dia harus meralisasikan satu janjinya itu kepada publik. Itu sebagai bukti bahwa dia memang benar mampu menjadi pemimpin amanah.

Untuk dapat merealisasikan terbentuknya kabinet pro­fesional, Jokowi harus cerdas, kreatif, dan profesional. Seti­daknya dia harus memiliki satu alat untuk bisa dijadikan sebagai tolok ukur dalam memilih calon menteri. Dian­taranya yaitu dengan menerap­kan sistem meritrokrasi supaya dia berhasil membentuk kabinet yang bukan ‘gadungan’, melain­kan benar-benar berkualitas. Dalam istilah Jawa disebut mumpuni.

Menurut seorang ahli Sosio­log Malaysia, Amir Hasan Dawi  (2002) dalam bukunya yang berjudul Penteorian Sosiologi dan Pendidikan, meritokrasi  diartikan sebagai satu pandangan atau memberi peluang kepada orang lain untuk maju berdasarkan meritnya, yakni berdasarkan kelayakan dan kecakapannya atau kecemerlangannya. Se­dang­­kan dalam Kamus Dewan (Edisi ketiga), arti meritokrasi adalah satu sistem sosial yang menjunjung tinggi kedudukan seseorang karena kebolehannya dan bukan karena keturunan atau kekayaannya.

Para ahli politik seperti Chusnul Mar’iyah, M. Nasih al-hafidz, dan Anas Urbaningrum sepakat dengan definisi tersebut dan sangat men­dukungnya agar diterapkan dalam pemerintahan Indonesia. Sebab, konsep sistem merit­rokrasi dipandang adil, tidak pandang ras, suku, bangsa, dan atau etnis. Yang ada dalam sistem itu adalah memberikan penghargaan terhadap siapa saja. Tak pandang keturunan siapa, bangsa mana, dari suku mana, asalkan seseorang memiliki prestasi, kecakapan, atau kemampuan yang ahli di bidangnya, maka dia akan berpeluang memperoleh peng­hargaan. Dalam sistem politik, penghargaan itu diidentikkan dengan kekuasaan, sebagai­mana yang sering dikatakan oleh beliau Pakar Politisi M. Nasih Al-Hafidz. Dan yang terpenting, system meritrokrasi akan berpeluang besar mampu memajukan bangsa ini seperti yang telah dibuktikan oleh beberapa negara maju misalnya Singapura dan Inggris.

Hal itu karena mereka menguasai ilmu-ilmu penge­tahuan di masing-masing bidangnya serta terjun secara langsung dalam panggung pemerintahan, sehingga dapat mengetahui secara langsung konstelasi perpolitikan di Indonesia pada saat ini. Di antara dasar argumentasi mereka adalah pertama, sesuai pengamalan Pancasila sila kedua, yaitu poinnya terdapat pada frase keadilan sosial. Sebab, dalam sistem merit­rokrasi atau juga sering dikenal sebagai merit sistem, siapapun akan memperoleh penghargaan. Kuncinya yaitu dia harus berprestasi. Itu pertanda dia adalah insan berkualitas. Maka, sangat adil bila penghargaan diberikan kepada orang yang berkualitas.

Kedua, sistem itu sejalan dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Nisa’: 58 yang secara substansial menerangkan tentang perintah Allah kepada umat manusia supaya membe­rikan amanat kepada orang yang benar-benar ahli.

Ketiga, sistem itu juga sesuai dengan satu hadist Nabi Muhammad SAW. yang diriwa­yatkan oleh Bukhori Muslim yang secara substansial sama dengan firman Allah dalam Surat Al-Nisa’: 58. Lebih tepatnya yaitu Nabi menyuruh umatnya agar menyerahkan suatu perkara kepada orang yang ahli dalam bidangnya. Sebab, jika tidak, maka mereka hanya akan menunggu masa kehancurannya karena dikelola oleh oang dzalim.

Sebenarnya, dalam mene­rapkan merit sistem, para founding father kita dahulu pernah  memberlakukannya dan terbukti menghasilkan banyak manfaat. Mereka diantaranya Kabinet Sjahrir. Pada saat itu, semua pos kementerian diisi oleh orang-orang hebat dari berbagai latar belakang. Selain Sutan Sjahrir yang menjadi perdana menteri, dalam kabinet duduk pula Agus Salim, Natsir, Amir Sjarifuddin, Mohammad Roem, dan Johanes Leimena. Selan­jutnya Ir. Juanda juga mene­rapkannya dan kepe­merinta­hannya tergolong sukses.

Selain itu, dalam kaderisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga menerapkan sistem meritrokrasi. Dan hasilnya sangat bagus, yaitu para pimpinan TNI merupakan dari orang dari berbagai latar belakang namun semuanya berkualitas. Sebab, di TNI, seorang kader tidak akan bisa naik pangkat apabila belum memiliki capaian prestasi (track record) yang jelas, tepat, dan berkualitas.

Oleh karena itu, sistem itu akan sangat tepat apabila diterapkan oleh Jokowi dalam memilih para calon menteri demi terwujudnya kabinet profesional yang sesungguhnya. Setidaknya, ada tiga langkah yang harus dilakukan Jokowi untuk menerapkannya dalam memilih menteri.

Pertama, tiap calon menteri harus memiliki sejumlah track record yang jelas nan ber­kualitas sesuai bidangnya. Dalam hal ini, karena seorang menteri nantinya akan me­mimpin satu bidang tertentu dalam kepemerintahan, maka menjadi suatu keniscayaan baginya memiliki track record sesuai bidangnya. Karena permasalahan kepemerintahan yang akan diurus nantinya akan cukup rumit dan komp­leks, maka kalau perlu track record-nya tidak hanya satu, tapi mungkin lebih dari tiga. Maka, orang yang tidak memiliki satu prestasipun tidak boleh dipilihnya untuk menjadi menteri jika dia tidak ingin disebut penghianat rakyat.

Kedua, Jokowi harus me­ngetahui rekam jejak tiap calon menteri. Ini sangat penting dalam rangka sedikit banyak mengetahui kepribadian para calon menteri. Sebab, pada hakikatnya menteri juga merupakan pemimpin. Maka, menteri harus berasal dari sosok orang yang bersih, suci, dan berakhlak mulia (akhlakul karimah), setidaknya tidak pernah terlibat masalah hu­kum, atau bahkan korupsi.

Ketiga, memberikan tes khusus kepada tiap calon menteri. Misalnya tes materi seputar tentang kementrian di masing-masing bidang tertentu. Ini berguna untuk mengetahui dan bisa menjadi bukti ke­mampuan mereka yang se­sungguhnya.

Semoga dengan menerapkan sistem meritrokrasi dalam berbagai kondisi apapun, Jokowi tetap konsisten atas janjinya untuk membentuk kabinet bebas transaksional, sehingga akan terwujud kabinet yang profesional, hebat, berkualitas nan tangguh. Dengan begitu, maka tidak mustahil ke depan Indonesia mampu menjadi bangsa yang unggul, tangguh, bermartabat, adil, makmur yang diridloi Allah SWT. Wallahu a’lam bi al-showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar