Memilih
Menteri dengan Meritokrasi
Mochammad Sayyidatthohirin , Ketua
Komunitas Peduli Politik (KPP),
Peraih
Beasiswa Bidikmisi IAIN Walisongo Semarang
|
HALUAN,
20 Oktober 2014
Tanggal 20 Oktober 2014 merupakan momentum sakral bagi bangsa
Indonesia, teutama bagi Presiden Terpilih Joko Widodo (Jokowi) karena dia
bersama dengan wakilnya Jusuf Kalla (JK) akan dilantik. Itu pertanda secara
konstitusional Jokowi telah sah menjadi Presiden Indonesia ketujuh. Artinya
Jokowi memiliki tanggungjawab besar mengemban amanat rakyat untuk memimpin
Indonesia setidaknya hingga lima tahun ke depan.
Seiring dengan itu, Jokowi
memiliki tugas pertama yang cukup berat dan signifikan, ialah menentukan
susunan anggota kabinet. Dalam hal ini, setidaknya Jokowi pernah berjanji
kepada rakyat ketika berkampanye bahwa dia akan membentuk kabinet
profesional. Maksudnya adalah kabinet yang akan dibentuknya terbebas dari
unsur politik balas budi, bagi-bagi jatah kursi, nepotisme, atau pun transaksional.
Maka, jika Jokowi tidak ingin rakyat menyebutnya seorang munafik, dia harus
meralisasikan satu janjinya itu kepada publik. Itu sebagai bukti bahwa dia
memang benar mampu menjadi pemimpin amanah.
Untuk dapat merealisasikan
terbentuknya kabinet profesional, Jokowi harus cerdas, kreatif, dan
profesional. Setidaknya dia harus memiliki satu alat untuk bisa dijadikan
sebagai tolok ukur dalam memilih calon menteri. Diantaranya yaitu dengan
menerapkan sistem meritrokrasi supaya dia berhasil membentuk kabinet yang
bukan ‘gadungan’, melainkan benar-benar berkualitas. Dalam istilah Jawa
disebut mumpuni.
Menurut seorang ahli Sosiolog
Malaysia, Amir Hasan Dawi (2002) dalam bukunya yang berjudul Penteorian
Sosiologi dan Pendidikan, meritokrasi diartikan sebagai satu pandangan
atau memberi peluang kepada orang lain untuk maju berdasarkan meritnya, yakni
berdasarkan kelayakan dan kecakapannya atau kecemerlangannya. Sedangkan
dalam Kamus Dewan (Edisi ketiga), arti meritokrasi adalah satu sistem sosial
yang menjunjung tinggi kedudukan seseorang karena kebolehannya dan bukan
karena keturunan atau kekayaannya.
Para ahli politik seperti
Chusnul Mar’iyah, M. Nasih al-hafidz, dan Anas Urbaningrum sepakat dengan
definisi tersebut dan sangat mendukungnya agar diterapkan dalam pemerintahan
Indonesia. Sebab, konsep sistem meritrokrasi dipandang adil, tidak pandang
ras, suku, bangsa, dan atau etnis. Yang ada dalam sistem itu adalah
memberikan penghargaan terhadap siapa saja. Tak pandang keturunan siapa,
bangsa mana, dari suku mana, asalkan seseorang memiliki prestasi, kecakapan,
atau kemampuan yang ahli di bidangnya, maka dia akan berpeluang memperoleh
penghargaan. Dalam sistem politik, penghargaan itu diidentikkan dengan
kekuasaan, sebagaimana yang sering dikatakan oleh beliau Pakar Politisi M.
Nasih Al-Hafidz. Dan yang terpenting, system meritrokrasi akan berpeluang
besar mampu memajukan bangsa ini seperti yang telah dibuktikan oleh beberapa
negara maju misalnya Singapura dan Inggris.
Hal itu karena mereka menguasai
ilmu-ilmu pengetahuan di masing-masing bidangnya serta terjun secara
langsung dalam panggung pemerintahan, sehingga dapat mengetahui secara
langsung konstelasi perpolitikan di Indonesia pada saat ini. Di antara dasar
argumentasi mereka adalah pertama, sesuai pengamalan Pancasila sila kedua,
yaitu poinnya terdapat pada frase keadilan sosial. Sebab, dalam sistem meritrokrasi
atau juga sering dikenal sebagai merit sistem, siapapun akan memperoleh
penghargaan. Kuncinya yaitu dia harus berprestasi. Itu pertanda dia adalah
insan berkualitas. Maka, sangat adil bila penghargaan diberikan kepada orang
yang berkualitas.
Kedua, sistem itu sejalan
dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Nisa’: 58 yang secara substansial
menerangkan tentang perintah Allah kepada umat manusia supaya memberikan
amanat kepada orang yang benar-benar ahli.
Ketiga, sistem itu juga sesuai
dengan satu hadist Nabi Muhammad SAW. yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim
yang secara substansial sama dengan firman Allah dalam Surat Al-Nisa’: 58.
Lebih tepatnya yaitu Nabi menyuruh umatnya agar menyerahkan suatu perkara
kepada orang yang ahli dalam bidangnya. Sebab, jika tidak, maka mereka hanya
akan menunggu masa kehancurannya karena dikelola oleh oang dzalim.
Sebenarnya, dalam menerapkan
merit sistem, para founding father kita dahulu pernah memberlakukannya
dan terbukti menghasilkan banyak manfaat. Mereka diantaranya Kabinet Sjahrir.
Pada saat itu, semua pos kementerian diisi oleh orang-orang hebat
dari berbagai latar belakang. Selain Sutan Sjahrir yang menjadi perdana
menteri, dalam kabinet duduk pula Agus Salim, Natsir, Amir Sjarifuddin,
Mohammad Roem, dan Johanes Leimena. Selanjutnya Ir. Juanda juga menerapkannya
dan kepemerintahannya tergolong sukses.
Selain itu, dalam kaderisasi
Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga menerapkan sistem meritrokrasi. Dan
hasilnya sangat bagus, yaitu para pimpinan TNI merupakan dari orang dari
berbagai latar belakang namun semuanya berkualitas. Sebab, di TNI, seorang
kader tidak akan bisa naik pangkat apabila belum memiliki capaian prestasi (track record) yang jelas, tepat, dan
berkualitas.
Oleh karena itu, sistem itu
akan sangat tepat apabila diterapkan oleh Jokowi dalam memilih para calon
menteri demi terwujudnya kabinet profesional yang sesungguhnya. Setidaknya,
ada tiga langkah yang harus dilakukan Jokowi untuk menerapkannya dalam
memilih menteri.
Pertama, tiap calon menteri
harus memiliki sejumlah track record
yang jelas nan berkualitas sesuai bidangnya. Dalam hal ini, karena seorang
menteri nantinya akan memimpin satu bidang tertentu dalam kepemerintahan,
maka menjadi suatu keniscayaan baginya memiliki track record sesuai bidangnya. Karena permasalahan kepemerintahan
yang akan diurus nantinya akan cukup rumit dan kompleks, maka kalau perlu
track record-nya tidak hanya satu, tapi mungkin lebih dari tiga. Maka, orang
yang tidak memiliki satu prestasipun tidak boleh dipilihnya untuk menjadi
menteri jika dia tidak ingin disebut penghianat rakyat.
Kedua, Jokowi harus mengetahui
rekam jejak tiap calon menteri. Ini sangat penting dalam rangka sedikit
banyak mengetahui kepribadian para calon menteri. Sebab, pada hakikatnya
menteri juga merupakan pemimpin. Maka, menteri harus berasal dari sosok orang
yang bersih, suci, dan berakhlak mulia (akhlakul
karimah), setidaknya tidak pernah terlibat masalah hukum, atau bahkan
korupsi.
Ketiga, memberikan tes khusus
kepada tiap calon menteri. Misalnya tes materi seputar tentang kementrian di
masing-masing bidang tertentu. Ini berguna untuk mengetahui dan bisa menjadi
bukti kemampuan mereka yang sesungguhnya.
Semoga dengan menerapkan sistem
meritrokrasi dalam berbagai kondisi apapun, Jokowi tetap konsisten atas
janjinya untuk membentuk kabinet bebas transaksional, sehingga akan terwujud
kabinet yang profesional, hebat, berkualitas nan tangguh. Dengan begitu, maka
tidak mustahil ke depan Indonesia mampu menjadi bangsa yang unggul, tangguh,
bermartabat, adil, makmur yang diridloi Allah SWT. Wallahu
a’lam bi al-showab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar