Jumat, 24 Oktober 2014

Arena Politik Jokowi

Arena Politik Jokowi

Arya Budi  ;  Research Associate Poltracking Institute
KORAN TEMPO, 23 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Pelantikan Jokowi sebagai presiden terpilih 2014-2019 memberikan dua otoritas penting sebagai single-chief-executive dalam sistem presidensial di Indonesia. Pertama, otoritas untuk mengendalikan hampir semua alat negara, seperti penegak hukum, militer, intelijen, semua level birokrasi, dan alat negara lainnya. Kedua, otoritas Jokowi untuk mengakses sumber daya negara melalui perusahaan-perusahaan negara (baca: BUMN) dan kesepakatan-kesepakatan perdagangan dengan perusahaan nasional maupun transnasional atas akses sumber daya di Indonesia.

Tentu ada power exercises atas kebijakan-kebijakan publik yang berlaku di dalam negeri dan sikap-keputusan negara atas isu-isu luar negeri sebagai derifasi dua otoritas penting tersebut. Tapi dua otoritas inilah yang menjelaskan Jokowi berpotensi menjadi patron alternatif dalam dinamika politik lima tahun ke depan.

Pada saat yang sama, Jokowi akan berhadapan dengan tiga arena politik yang sama sekali baru dibandingkan dengan arena politik pendahulunya, SBY, yang cenderung adem-ayem. Pertama adalah politik parlemen yang dikendalikan oleh Koalisi Pendukung Prabowo (KPP) sebagai koalisi non-pemerintah, jika bukan disebut sebagai koalisi oposisi. Kedua, koalisi politik pendukung Jokowi, yang masih terbilang kurus sekalipun, jika akhirnya mendapatkan asupan 6,96 persen kursi DPR dari PPP. Ketiga, ekspektasi, tuntutan, dan kritik publik terhadap Jokowi, baik dari 53 persen pemilihnya, massa mengambang yang memilih Prabowo, maupun para pendukung Prabowo.

Terkait dengan arena politik pertama, studi atas negara-negara presidensial di Amerika Latin (Linz 1990, Mainwaring 1993) menunjukkan bahwa minority government-pemerintah dengan dukungan partai atau koalisi partai bukan mayoritas di parlemen-berpotensi menemui deadlock antara eksekutif di bawah kendali presiden dan legislatif yang dikuasai oleh partai non-pemerintah.

Dalam divided government, demikian kata Juan Linz untuk menjelaskan asimetrisme eksekutif dan legislatif, hampir selalu bertemu dengan kebuntuan relasi eksekutif dan legislatif. Pada titik inilah komunikasi politik presiden dengan elit dan patron partai-partai non-pemerintah menjadi krusial. Mirip dengan nalar sosial Jawa yang disebutkan Thomar Stamford Raffles (1781-1826) sebagai masyarakat yang menghindari amok (perseteruan), Jokowi bekerja dengan nalar politics in harmony dalam relasi dirinya dengan elite lintas partai, terutama partai-partai non-koalisinya.

Gagasan safari politik yang dilakukan Jokowi bertemu para patron KPP mengkonfirmasi nalar politik ini. Paling tidak untuk membangun dukungan-jika bukan menggeser atau memecah-kekuatan 63 persen kursi KPP (jika PPP masih bergabung dengan Golkar, Gerindra, Demokrat, PKS, dan PAN) atas program kebijakan strategis Jokowi yang sudah dijanjikan sepanjang kampanye presiden lalu.

Namun inter-party politics di dalam tubuh koalisi partai pendukung Jokowi adalah war in silence alias arena tarung yang senyap karena dua musabab penting. Pertama, Jokowi bukanlah patron dari partai pemenang PDIP sehingga otoritas politik dirinya dalam koalisi selalu dinegosiasikan oleh veto player yang sesungguhnya: Megawati. Riwayat politik Megawati sebagai ketua umum terlama di Indonesia, bahkan Asia, selama hampir dua dekade terakhir ini memberinya pengaruh politik yang melampaui struktur partai.

Pada saat yang sama, coalitional presidentialism hampir di semua desain konstitusi termasuk konstitusi Indonesia tidak menjamin loyalitas partai koalisi karena insentif politik antara kader partai di kabinet dan di parlemen tak selinear seperti pada sistem parlementer. Sebagai misal, bisa saja PKB, yang berkekuatan 8,39 persen kursi di parlemen, bermanuver jika Jokowi tak mengakomodasi kepentingan politiknya dalam posisi dan status politik menteri di kabinetnya. Dukungan partai hanya dijamin oleh konstitusi dalam pencalonan presiden (UUD 1945 Pasal 6A ayat 2). Setelah pencalonan selesai itu soal lain.

Di titik inilah penting bagi Jokowi melembagakan koalisi: struktur pengorganisasian, kontrak politik, dan mekanisme kerja. Hingga kini, bahkan nama koalisi partai pendukung Jokowi pun belum ada. Jika tidak, Jokowi hanya akan menjadi pelaksana keputusan politik para patron, terutama untuk isu-isu strategis. Dan, otonomi Jokowi sebagai presiden menjadi lemah yang bisa berbuntut pada performa kepemimpinan pemerintahan dan negara.

Terakhir, supply and demand alias tuntutan dan dukungan publik sepanjang lima tahun pemerintahan Jokowi bisa jadi terbelah jika KMP mengkonsolidasikan 47 persen pemilih Prabowo. Belajar dari Brasil dengan program Bolsa Familia atau Oportunidades di Meksiko dalam usaha menurunkan angka kemiskinan, program insentif bagi masyarakat miskin di Indonesia adalah hal paling penting bagi Jokowi untuk mendapatkan dukungan publik. Survei opini publik Poltracking (Agustus 2013, Oktober 2013, Desember 2013, Maret 2014) menunjukkan bahwa kesejahteraan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan adalah hal yang paling dibutuhkan publik.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar