Arena
Politik Jokowi
Arya Budi ; Research
Associate Poltracking Institute
|
KORAN
TEMPO, 23 Oktober 2014
Pelantikan Jokowi sebagai presiden terpilih 2014-2019 memberikan dua otoritas
penting sebagai single-chief-executive dalam sistem presidensial di
Indonesia. Pertama, otoritas untuk mengendalikan hampir semua alat negara,
seperti penegak hukum, militer, intelijen, semua level birokrasi, dan alat
negara lainnya. Kedua, otoritas Jokowi untuk mengakses sumber daya negara
melalui perusahaan-perusahaan negara (baca: BUMN) dan kesepakatan-kesepakatan
perdagangan dengan perusahaan nasional maupun transnasional atas akses sumber
daya di Indonesia.
Tentu ada power exercises
atas kebijakan-kebijakan publik yang berlaku di dalam negeri dan
sikap-keputusan negara atas isu-isu luar negeri sebagai derifasi dua otoritas
penting tersebut. Tapi dua otoritas inilah yang menjelaskan Jokowi berpotensi
menjadi patron alternatif dalam dinamika politik lima tahun ke depan.
Pada saat yang sama, Jokowi akan berhadapan dengan tiga arena politik
yang sama sekali baru dibandingkan dengan arena politik pendahulunya, SBY,
yang cenderung adem-ayem. Pertama adalah politik parlemen yang dikendalikan
oleh Koalisi Pendukung Prabowo (KPP) sebagai koalisi non-pemerintah, jika
bukan disebut sebagai koalisi oposisi. Kedua, koalisi politik pendukung
Jokowi, yang masih terbilang kurus sekalipun, jika akhirnya mendapatkan
asupan 6,96 persen kursi DPR dari PPP. Ketiga, ekspektasi, tuntutan, dan
kritik publik terhadap Jokowi, baik dari 53 persen pemilihnya, massa
mengambang yang memilih Prabowo, maupun para pendukung Prabowo.
Terkait dengan arena politik pertama, studi atas negara-negara
presidensial di Amerika Latin (Linz
1990, Mainwaring 1993) menunjukkan bahwa minority government-pemerintah dengan dukungan partai atau
koalisi partai bukan mayoritas di parlemen-berpotensi menemui deadlock antara
eksekutif di bawah kendali presiden dan legislatif yang dikuasai oleh partai
non-pemerintah.
Dalam divided government,
demikian kata Juan Linz untuk menjelaskan asimetrisme eksekutif dan
legislatif, hampir selalu bertemu dengan kebuntuan relasi eksekutif dan
legislatif. Pada titik inilah komunikasi politik presiden dengan elit dan
patron partai-partai non-pemerintah menjadi krusial. Mirip dengan nalar
sosial Jawa yang disebutkan Thomar Stamford Raffles (1781-1826) sebagai
masyarakat yang menghindari amok (perseteruan), Jokowi bekerja dengan nalar politics in harmony dalam relasi
dirinya dengan elite lintas partai, terutama partai-partai non-koalisinya.
Gagasan safari politik yang dilakukan Jokowi bertemu para patron KPP
mengkonfirmasi nalar politik ini. Paling tidak untuk membangun dukungan-jika
bukan menggeser atau memecah-kekuatan 63 persen kursi KPP (jika PPP masih
bergabung dengan Golkar, Gerindra, Demokrat, PKS, dan PAN) atas program
kebijakan strategis Jokowi yang sudah dijanjikan sepanjang kampanye presiden
lalu.
Namun inter-party politics di
dalam tubuh koalisi partai pendukung Jokowi adalah war in silence alias arena tarung yang senyap karena dua musabab
penting. Pertama, Jokowi bukanlah patron dari partai pemenang PDIP sehingga
otoritas politik dirinya dalam koalisi selalu dinegosiasikan oleh veto player yang sesungguhnya:
Megawati. Riwayat politik Megawati sebagai ketua umum terlama di Indonesia,
bahkan Asia, selama hampir dua dekade terakhir ini memberinya pengaruh
politik yang melampaui struktur partai.
Pada saat yang sama, coalitional
presidentialism hampir di semua desain konstitusi termasuk konstitusi
Indonesia tidak menjamin loyalitas partai koalisi karena insentif politik
antara kader partai di kabinet dan di parlemen tak selinear seperti pada
sistem parlementer. Sebagai misal, bisa saja PKB, yang berkekuatan 8,39
persen kursi di parlemen, bermanuver jika Jokowi tak mengakomodasi
kepentingan politiknya dalam posisi dan status politik menteri di kabinetnya.
Dukungan partai hanya dijamin oleh konstitusi dalam pencalonan presiden (UUD
1945 Pasal 6A ayat 2). Setelah pencalonan selesai itu soal lain.
Di titik inilah penting bagi Jokowi melembagakan koalisi: struktur
pengorganisasian, kontrak politik, dan mekanisme kerja. Hingga kini, bahkan
nama koalisi partai pendukung Jokowi pun belum ada. Jika tidak, Jokowi hanya
akan menjadi pelaksana keputusan politik para patron, terutama untuk isu-isu
strategis. Dan, otonomi Jokowi sebagai presiden menjadi lemah yang bisa
berbuntut pada performa kepemimpinan pemerintahan dan negara.
Terakhir, supply and demand alias tuntutan dan dukungan publik
sepanjang lima tahun pemerintahan Jokowi bisa jadi terbelah jika KMP
mengkonsolidasikan 47 persen pemilih Prabowo. Belajar dari Brasil dengan
program Bolsa Familia atau Oportunidades di Meksiko dalam usaha menurunkan
angka kemiskinan, program insentif bagi masyarakat miskin di Indonesia adalah
hal paling penting bagi Jokowi untuk mendapatkan dukungan publik. Survei
opini publik Poltracking (Agustus 2013,
Oktober 2013, Desember 2013, Maret 2014) menunjukkan bahwa kesejahteraan
ekonomi, pendidikan, dan kesehatan adalah hal yang paling dibutuhkan publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar