Jumat, 24 Oktober 2014

Pendidikan Sebagai Revolusi Mental

Pendidikan Sebagai Revolusi Mental

Haidar Bagir  ;  Pemerhati Pendidikan
REPUBLIKA, 16 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Tujuan setiap upaya pendidikan adalah memanusiakan manusia. Dengan kata lain, pendidikan adalah kegiatan untuk mengaktualkan potensi manusia sehingga benar-benar menjadi manusia sejati, yakni mengaktualkan berbagai potensinya untuk dapat benar-benar menjadi manusia yang sejahtera dan bahagia. Manusia-manusia yang memiliki kehidupan penuh makna bagi orang lain dan dirinya sendiri.

Mengutip ungkapan EF Schumacher dalam buku klasiknya Small is Beautiful, pendidikan kita hendaknya bukan hanya menekankan pada know how, melainkan justru harus mengembangkan aspek know-why-nya, yakni makna (meaning) dari kemampuan dan keterampilan yang kita miliki itu dalam mencapai kebahagiaan hidup.

Perlu ditegaskan di sini, manusia bukanlah artificial intelligence, betapa pun canggihnya. Selain kekuatan fisik dan kemampuan berpikir, manusia adalah makhluk yang--terutama--memiliki jiwa dan hati. Dan, sebagaimana kemampuan fisik dan berpikir harus dikembangkan dan diaktualkan, lebih-lebih kemampuan kejiwaan dan rohaniah manusia.

Karena itu, pendidikan pasti bukanlah sekadar pengembangan kompetensi vokasional, apalagi jika istilah ini dipahami secara sempit sebagai sekadar ketrampilan praktis maupun kompetensi akademik dalam bentuk kemampuan berpikir logis-analitis dan kemampuan melakukan penelitian--sepenting apa pun keduanya dalam menentukan kesejahteraan material hidup seseorang.

Jika demikian halnya, setiap upaya dan proses pendidikan haruslah mampu melihat dan menggarap seluruh aspek potensi kemanusiaan. Ia harus mampu untuk mengembangkan suatu perspektif holistik—menyeluruh, tapi juga integratif. Dalam pemahman seperti ini, kemampuan personal-eksistensial yang sedikit banyak bersifat spiritual dan kemampuan sosial adalah dasar sekaligus puncaknya, yakni bukan saja ia krusial dalam menentukan kebahagiaan hidup seseorang, melainkan juga dalam penguasaan kemampuan teknis yang menentukan kesuksesan.

Mengenai ini, penting diingat bahwa Abraham Maslow belakangan merasa perlu menjungkirbalikkan segitiga kebutuhan manusia yang dikembangkannya setelah disadarinya pemenuhan kebutuhan spiritual-personal dan sosial-emosional ternyata justru menjadi dasar yang baik bagi pemenuhan kebutuhan fisik, bukan sebaliknya.

Kegagalan pendidikan kita dalam mengembangkan kecerdasan sosial-emosional, sebelum yang lain-lain, menyebabkan anak-anak kita tak memiliki kemampuan mengembangkan emosi positif dan empati yang sangat menentukan kesejahteraan psikologis dan sosial mereka; mudah patah dan menyerah, mudah "galau", tak punya solidaritas sosial. Padahal, pertemanan merupakan sumber, bukan hanya kesusksesan, melainkan juga kebahagiaan.

Kegagalan mengembangkan kecerdasan rohaniah membuat anak kita tidak bahagia akibat keterasingannya sumber keberadaannya, yakni meminjam William James, Kawan-Agung (the Great Socius)-nya.

Yang tak kurang penting, seperti diungkapkan Daniel Goleman, harus kita sadari, kesuksesan materilistik sekalipun ditentukan oleh kecerdasan emosional dan spiritual, oleh kekuatan cita-cita (visi), leadership, karakter, kekuatan imajinasi, dan unsur-unsur sejenisnya.

Seperti diungkapkan Danah Zohar dan Ian Campbell, kecerdasan rohaniah memberi kemampuan untuk dapat bekerja secara kreatif nonlinear yang lebih sesuai dengan lingkungan kegiatan yang luar biasa cepat berubah seperti sekarang ini. Dalam bisnis, yang satu disebut sebagai social capital, yang lain spiritual capital.

Berdasar itu semua, kiranya pendidikan kita harus memberikan penekanan pada pengembangan daya rohaniah yang melibatkan kegiatan spiritual berorientasi pembinaan hubungan vertikal dengan sang Kawan Agung, kegiatan tafakur dan tadabur, yakni selain kegiatan observasional-saintifik, refleksi intelektual-filosofis dan estetik serta penanaman dan pengembangan budi pekerti luhur.

Sejalan dengan itu, ia juga perlu mengembangkan akhlak sosial, khususnya sikap empati, penuh cinta-kasih, pemaaf, dan bebas rasa benci, pengembangan dan pelatihan etos hidup dan kerja yang baik, termasuk di dalamnya etos kerja keras, kedisiplinan, ketelatenan, keuletan, kesiapan mendapatkan delayed gratification, sikap tak pantang menyerah, bahkan sebatas tertentu asketisme (sikap hidup sederhana). Termasuk di dalamnya pengembangan kepekaan dan kepedulian sosial, baik dalam teori maupun praktik di lapangan.

Selanjutnya, kemampuan imajinatif yang terkait erat dengan kemampuan kreatif mesti benar-benar digalakkan, termasuk pemberian ruang sebesar-besarnya bagi upaya belajar berkhayal (berimajinasi), mengeksplor seluas mungkin segala sesuatu dan mencoba sebanyak-banyaknya, serta berpikir sebebas-bebasnya, termasuk untuk berbuat kesalahan (trial and error) sebanyak-banyaknya.

Dalam konteks ini, pendidikan kesenian sangatlah sentral dalam mendorong pengembangan daya imajinatif dan kreatif. Pendidikan kesenian juga mengembangkan kemampuan mengapresiasi karya-karya keindahan, menawarkan kepuasan estetik yang mendukung  kebahagiaan, memperkuat iman sekaligus sarana melembutkan hati dan memperbaiki budi-pekerti. Inilah kiranya revolusi mental sesungguhnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar