Pendidikan
Sebagai Revolusi Mental
Haidar Bagir ; Pemerhati Pendidikan
|
REPUBLIKA,
16 Oktober 2014
Tujuan setiap upaya pendidikan adalah memanusiakan manusia. Dengan kata
lain, pendidikan adalah kegiatan untuk mengaktualkan potensi manusia sehingga
benar-benar menjadi manusia sejati, yakni mengaktualkan berbagai potensinya
untuk dapat benar-benar menjadi manusia yang sejahtera dan bahagia.
Manusia-manusia yang memiliki kehidupan penuh makna bagi orang lain dan
dirinya sendiri.
Mengutip ungkapan EF Schumacher dalam buku klasiknya Small is Beautiful, pendidikan kita
hendaknya bukan hanya menekankan pada know
how, melainkan justru harus mengembangkan aspek know-why-nya, yakni makna (meaning)
dari kemampuan dan keterampilan yang kita miliki itu dalam mencapai
kebahagiaan hidup.
Perlu ditegaskan di sini, manusia bukanlah artificial intelligence, betapa pun canggihnya. Selain kekuatan
fisik dan kemampuan berpikir, manusia adalah makhluk yang--terutama--memiliki
jiwa dan hati. Dan, sebagaimana kemampuan fisik dan berpikir harus
dikembangkan dan diaktualkan, lebih-lebih kemampuan kejiwaan dan rohaniah
manusia.
Karena itu, pendidikan pasti bukanlah sekadar pengembangan kompetensi
vokasional, apalagi jika istilah ini dipahami secara sempit sebagai sekadar
ketrampilan praktis maupun kompetensi akademik dalam bentuk kemampuan
berpikir logis-analitis dan kemampuan melakukan penelitian--sepenting apa pun
keduanya dalam menentukan kesejahteraan material hidup seseorang.
Jika demikian halnya, setiap upaya dan proses pendidikan haruslah mampu
melihat dan menggarap seluruh aspek potensi kemanusiaan. Ia harus mampu untuk
mengembangkan suatu perspektif holistik—menyeluruh, tapi juga integratif.
Dalam pemahman seperti ini, kemampuan personal-eksistensial yang sedikit
banyak bersifat spiritual dan kemampuan sosial adalah dasar sekaligus
puncaknya, yakni bukan saja ia krusial dalam menentukan kebahagiaan hidup
seseorang, melainkan juga dalam penguasaan kemampuan teknis yang menentukan
kesuksesan.
Mengenai ini, penting diingat bahwa Abraham Maslow belakangan merasa
perlu menjungkirbalikkan segitiga kebutuhan manusia yang dikembangkannya
setelah disadarinya pemenuhan kebutuhan spiritual-personal dan sosial-emosional
ternyata justru menjadi dasar yang baik bagi pemenuhan kebutuhan fisik, bukan
sebaliknya.
Kegagalan pendidikan kita dalam mengembangkan kecerdasan
sosial-emosional, sebelum yang lain-lain, menyebabkan anak-anak kita tak
memiliki kemampuan mengembangkan emosi positif dan empati yang sangat
menentukan kesejahteraan psikologis dan sosial mereka; mudah patah dan
menyerah, mudah "galau", tak punya solidaritas sosial. Padahal,
pertemanan merupakan sumber, bukan hanya kesusksesan, melainkan juga kebahagiaan.
Kegagalan mengembangkan kecerdasan rohaniah membuat anak kita tidak
bahagia akibat keterasingannya sumber keberadaannya, yakni meminjam William
James, Kawan-Agung (the Great Socius)-nya.
Yang tak kurang penting, seperti diungkapkan Daniel Goleman, harus kita
sadari, kesuksesan materilistik sekalipun ditentukan oleh kecerdasan
emosional dan spiritual, oleh kekuatan cita-cita (visi), leadership, karakter, kekuatan imajinasi, dan unsur-unsur
sejenisnya.
Seperti diungkapkan Danah Zohar dan Ian Campbell, kecerdasan rohaniah
memberi kemampuan untuk dapat bekerja secara kreatif nonlinear yang lebih
sesuai dengan lingkungan kegiatan yang luar biasa cepat berubah seperti
sekarang ini. Dalam bisnis, yang satu disebut sebagai social capital, yang
lain spiritual capital.
Berdasar itu semua, kiranya pendidikan kita harus memberikan penekanan
pada pengembangan daya rohaniah yang melibatkan kegiatan spiritual
berorientasi pembinaan hubungan vertikal dengan sang Kawan Agung, kegiatan
tafakur dan tadabur, yakni selain kegiatan observasional-saintifik, refleksi
intelektual-filosofis dan estetik serta penanaman dan pengembangan budi
pekerti luhur.
Sejalan dengan itu, ia juga perlu mengembangkan akhlak sosial,
khususnya sikap empati, penuh cinta-kasih, pemaaf, dan bebas rasa benci,
pengembangan dan pelatihan etos hidup dan kerja yang baik, termasuk di
dalamnya etos kerja keras, kedisiplinan, ketelatenan, keuletan, kesiapan
mendapatkan delayed gratification,
sikap tak pantang menyerah, bahkan sebatas tertentu asketisme (sikap hidup
sederhana). Termasuk di dalamnya pengembangan kepekaan dan kepedulian sosial,
baik dalam teori maupun praktik di lapangan.
Selanjutnya, kemampuan imajinatif yang terkait erat dengan kemampuan
kreatif mesti benar-benar digalakkan, termasuk pemberian ruang
sebesar-besarnya bagi upaya belajar berkhayal (berimajinasi), mengeksplor
seluas mungkin segala sesuatu dan mencoba sebanyak-banyaknya, serta berpikir
sebebas-bebasnya, termasuk untuk berbuat kesalahan (trial and error)
sebanyak-banyaknya.
Dalam konteks ini, pendidikan kesenian sangatlah sentral dalam
mendorong pengembangan daya imajinatif dan kreatif. Pendidikan kesenian juga
mengembangkan kemampuan mengapresiasi karya-karya keindahan, menawarkan
kepuasan estetik yang mendukung kebahagiaan,
memperkuat iman sekaligus sarana melembutkan hati dan memperbaiki
budi-pekerti. Inilah kiranya revolusi mental sesungguhnya! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar