Bahasa
Menunjukkan Bangsa
Sudaryanto ; Pengajar Tamu di Guangxi University for Nationalities
dan
Xiangsihu College, Nanning, Cina
|
REPUBLIKA,
18 Oktober 2014
Oktober
diperingati sebagai Bulan Bahasa dan Sastra (atau lebih populer dikenal Bulan
Bahasa). Peringatan Bulan Bahasa tahun ini mengambil tema "Bahasa dan
Mentalitas Bangsa".
Terkait
itu, sebagai bangsa Indonesia, kita pun memiliki ungkapan bijak, "Bahasa
menunjukkan bangsa". Pertanyaannya kini, apa relevansi antara tema Bulan
Bahasa 2014 dan ungkapan bijak itu, serta bagaimana implementasinya dalam
kehidupan kita sehari-hari?
Sebelum
menjawab pertanyaan di atas, tak ada salahnya jika kita menengok khasanah
kesusastraan lama, khususnya pantun Melayu. Ada sebuah pantun berbunyi, "Ada
padi adalah beras/Bertanak nasi periuk tembaga/Ada budi adalah balas/Orang
berbudi kita berbahasa." Dari pantun Melayu itu, ada hal penting yang
perlu digarisbawahi: sikap berbahasa menjadi cerminan budi pekerti atau
perilaku dari seseorang atau masyarakat tertentu.
Di Indonesia,
tatkala diberikan hadiah atau bantuan oleh orang lain, harapan Anda
mengucapkan, "Terimakasih". Begitu pula di Cina, saat diberikan
hadiah atau bantuan oleh orang lain, harapannya Anda mengucapkan, "Xie
xie" atau "Xie xie ni". Itu artinya, masyarakat Indonesia dan
Cina sama-sama menunjukkan perilaku menghargai orang lain, dan tidak
menunjukkan sikap sebaliknya, tidak peduli atau cuek terhadap orang lain.
Belakangan
ini, sikap berbahasa kita sebagai penutur asli bahasa Indonesia dikeluhkan
oleh banyak pihak. Meskipun kita telah memiliki Undang-Undang Kebahasaan
(baca: UU Nomor 24/2009), perilaku berbahasa kita kian amburadul. Mulai dari
Presiden, guru/dosen, hingga orang biasa sering mencampuradukkan bahasa
Indonesia dengan bahasa asing, terutama Inggris. Gejala ini disebut oleh Prof
Deddy Mulyana (Unpad) sebagai "bahasa gado-gado".
Ada
salah satu ucapan Presiden SBY saat membuka perdagangan saham perdana di
Bursa Efek Indonesia yang dapat dijadikan contoh. Saat itu, ia berucap, "Sekarang
seperti apa structure, magnitude,
dan sasaran APBN 2011 ....". Ucapan
ini layak dimasukkan ke dalam jenis "bahasa gado-gado" atau istilah
lainnya "Indo-english". Padahal, merujuk UU Kebahasaan (Pasal 28)
berbunyi, Presiden dan Wakil Presiden wajib menggunakan bahasa Indonesia.
Contoh lainnya,
saat berada di Bandara Soekarno-Hatta penulis pernah mendapatkan selebaran
penawaran apartemen. Dalam selebaran itu tertulis kata-kata, seperti
"cash bertahap 48 x" dan "sudah dapat apartment baru fully furnished dengan fasilitas
lengkap siap huni". Jujur saja, sebagai guru bahasa Indonesia, saya
merasa prihatin membaca selebaran itu. Apa pasal? Beberapa kata bahasa
Inggris yang digunakan telah memiliki padanannya dalam bahasa Indonesia.
Gejala
"bahasa gado-gado" seperti dua contoh di atas sepatutnya tidak terjadi
jika pihak yang bersangkutan rajin membuka-buka kamus bahasa Indonesia. Saya
kira, semua pihak, mulai dari Presiden SBY hingga orang biasa harus rajin
membuka-buka kamus bahasa Indonesia. Terlebih, kamus bahasa Indonesia (baca:
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, 2008) sudah dapat diunduh dari
internet sehingga mudah dibaca di mana pun.
Selain
itu, ada fenomena orang Indonesia saat ini lebih memilih menggunakan bahasa
Inggris karena merasa lebih keren. Sebagai contoh, di kalangan orang
Indonesia di Cina, saya selalu mendapat pertanyaan, "Sudah booking tiket pesawat, Pak?"
Padahal kata booking telah memiliki
padanannya dalam bahasa Indonesia kata pesan. Penulis hanya bisa menduga
dipilihnya kata booking daripada
pesan mungkin terdengar lebih keren.
Kesemua
kasus berbahasa di atas pada akhirnya akan bermuara pada sebuah simpulan:
berbahasa Indonesia, apa lagi yang baik dan benar, tidak lagi menunjukkan
kita, orang Indonesia, merasa bermartabat. Sadar atau tidak, diakui atau
tidak, sikap berbahasa secara campur-campur atau "gado-gado" merupakan
cerminan betapa kita kurang peduli dan komitmen dalam mencintai dan
menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari.
Sejumlah
langkah
Di sini, saya teringat kata-kata Atma kusumah Astraatmadja (2007):
"Kelemahan berbahasa Indonesia masyarakat kita diakibatkan tidak
sempurnanya pengajaran bahasa Indonesia di sekolah." Barangkali, mengapa
belakangan ini muncul gejala "bahasa gado-gado" disertai sikap
meremehkan bahasa Indonesia di kalangan masyarakat kita, hemat saya, karena
belum membaiknya proses dan hasil pengajaran bahasa Indonesia di
sekolah/madrasah.
Selama
ini, jujur diakui, proses pengajaran bahasa Indonesia belum berhasil secara
optimal. Hal itu bisa dibuktikan dari karangan siswa yang jika diteliti lebih
lanjut, masih banyak dijumpai kesalahan berbahasa. Misalnya, struktur tata
bahasa kacau, jumlah kosakata sedikit, hingga topik pembicaraan yang tidak
diketahui. Jika proses pengajaran bahasa Indonesia berhasil, tak ada lagi
kesalahan berbahasa itu.
Untuk
itu, sejumlah langkah layak di prioritaskan guna memperbaiki proses pengajaran
bahasa Indonesia, terutama dalam konteks implementasi Kurikulum 2013 (K-13)
saat ini. Pertama, guru bahasa Indonesia harus men jadi teladan berbahasa
bagi sis wanya melalui berbagai kebiasaan positif, seperti membaca, menulis,
dan berdiskusi. Harapannya, apa yang dilakukan oleh guru kelak dapat ditiru
oleh siswanya.
Kedua,
guru bahasa Indonesia dapat memanfaatkan waktu tambahan dua jam porsi
pelajaran bahasa Indonesia menjadi empat jam per minggu dengan
kegiatan-kegiatan positif, seperti lomba menulis resensi buku, karya sastra,
dan pembuatan majalah dinding.
Dengan
cara-cara itu, saya yakin akan me numbuhkan rasa cinta terhadap bahasa dan
sastra Indonesia. Selamat Bulan Bahasa
dan Sastra! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar