Jumat, 24 Oktober 2014

Bahasa Menunjukkan Bangsa

Bahasa Menunjukkan Bangsa

Sudaryanto  ;  Pengajar Tamu di Guangxi University for Nationalities
dan Xiangsihu College, Nanning, Cina
REPUBLIKA, 18 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Oktober diperingati sebagai Bulan Bahasa dan Sastra (atau lebih populer dikenal Bulan Bahasa). Peringatan Bulan Bahasa tahun ini mengambil tema "Bahasa dan Mentalitas Bangsa".

Terkait itu, sebagai bangsa Indonesia, kita pun memiliki ungkapan bijak, "Bahasa menunjukkan bangsa". Pertanyaannya kini, apa relevansi antara tema Bulan Bahasa 2014 dan ungkapan bijak itu, serta bagaimana implementasinya dalam kehidupan kita sehari-hari?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, tak ada salahnya jika kita menengok khasanah kesusastraan lama, khususnya pantun Melayu. Ada sebuah pantun berbunyi, "Ada padi adalah beras/Bertanak nasi periuk tembaga/Ada budi adalah balas/Orang berbudi kita berbahasa." Dari pantun Melayu itu, ada hal penting yang perlu digarisbawahi: sikap berbahasa menjadi cerminan budi pekerti atau perilaku dari seseorang atau masyarakat tertentu.

Di Indonesia, tatkala diberikan hadiah atau bantuan oleh orang lain, harapan Anda mengucapkan, "Terimakasih". Begitu pula di Cina, saat diberikan hadiah atau bantuan oleh orang lain, harapannya Anda mengucapkan, "Xie xie" atau "Xie xie ni". Itu artinya, masyarakat Indonesia dan Cina sama-sama menunjukkan perilaku menghargai orang lain, dan tidak menunjukkan sikap sebaliknya, tidak peduli atau cuek terhadap orang lain.

Belakangan ini, sikap berbahasa kita sebagai penutur asli bahasa Indonesia dikeluhkan oleh banyak pihak. Meskipun kita telah memiliki Undang-Undang Kebahasaan (baca: UU Nomor 24/2009), perilaku berbahasa kita kian amburadul. Mulai dari Presiden, guru/dosen, hingga orang biasa sering mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing, terutama Inggris. Gejala ini disebut oleh Prof Deddy Mulyana (Unpad) sebagai "bahasa gado-gado".

Ada salah satu ucapan Presiden SBY saat membuka perdagangan saham perdana di Bursa Efek Indonesia yang dapat dijadikan contoh. Saat itu, ia berucap, "Sekarang seperti apa structure, magnitude, dan sasaran APBN 2011 ....".  Ucapan ini layak dimasukkan ke dalam jenis "bahasa gado-gado" atau istilah lainnya "Indo-english". Padahal, merujuk UU Kebahasaan (Pasal 28) berbunyi, Presiden dan Wakil Presiden wajib menggunakan bahasa Indonesia.

Contoh lainnya, saat berada di Bandara Soekarno-Hatta penulis pernah mendapatkan selebaran penawaran apartemen. Dalam selebaran itu tertulis kata-kata, seperti "cash bertahap 48 x" dan "sudah dapat apartment baru fully furnished dengan fasilitas lengkap siap huni". Jujur saja, sebagai guru bahasa Indonesia, saya merasa prihatin membaca selebaran itu. Apa pasal? Beberapa kata bahasa Inggris yang digunakan telah memiliki padanannya dalam bahasa Indonesia.

Gejala "bahasa gado-gado" seperti dua contoh di atas sepatutnya tidak terjadi jika pihak yang bersangkutan rajin membuka-buka kamus bahasa Indonesia. Saya kira, semua pihak, mulai dari Presiden SBY hingga orang biasa harus rajin membuka-buka kamus bahasa Indonesia. Terlebih, kamus bahasa Indonesia (baca: Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, 2008) sudah dapat diunduh dari internet sehingga mudah dibaca di mana pun.

Selain itu, ada fenomena orang Indonesia saat ini lebih memilih menggunakan bahasa Inggris karena merasa lebih keren. Sebagai contoh, di kalangan orang Indonesia di Cina, saya selalu mendapat pertanyaan, "Sudah booking tiket pesawat, Pak?" Padahal kata booking telah memiliki padanannya dalam bahasa Indonesia kata pesan. Penulis hanya bisa menduga dipilihnya kata booking daripada pesan mungkin terdengar lebih keren.

Kesemua kasus berbahasa di atas pada akhirnya akan bermuara pada sebuah simpulan: berbahasa Indonesia, apa lagi yang baik dan benar, tidak lagi menunjukkan kita, orang Indonesia, merasa bermartabat. Sadar atau tidak, diakui atau tidak, sikap berbahasa secara campur-campur atau "gado-gado" merupakan cerminan betapa kita kurang peduli dan komitmen dalam mencintai dan menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari.

Sejumlah langkah 

Di sini, saya teringat kata-kata Atma kusumah Astraatmadja (2007): "Kelemahan berbahasa Indonesia masyarakat kita diakibatkan tidak sempurnanya pengajaran bahasa Indonesia di sekolah." Barangkali, mengapa belakangan ini muncul gejala "bahasa gado-gado" disertai sikap meremehkan bahasa Indonesia di kalangan masyarakat kita, hemat saya, karena belum membaiknya proses dan hasil pengajaran bahasa Indonesia di sekolah/madrasah.

Selama ini, jujur diakui, proses pengajaran bahasa Indonesia belum berhasil secara optimal. Hal itu bisa dibuktikan dari karangan siswa yang jika diteliti lebih lanjut, masih banyak dijumpai kesalahan berbahasa. Misalnya, struktur tata bahasa kacau, jumlah kosakata sedikit, hingga topik pembicaraan yang tidak diketahui. Jika proses pengajaran bahasa Indonesia berhasil, tak ada lagi kesalahan berbahasa itu.

Untuk itu, sejumlah langkah layak di prioritaskan guna memperbaiki proses pengajaran bahasa Indonesia, terutama dalam konteks implementasi Kurikulum 2013 (K-13) saat ini. Pertama, guru bahasa Indonesia harus men jadi teladan berbahasa bagi sis wanya melalui berbagai kebiasaan positif, seperti membaca, menulis, dan berdiskusi. Harapannya, apa yang dilakukan oleh guru kelak dapat ditiru oleh siswanya.

Kedua, guru bahasa Indonesia dapat memanfaatkan waktu tambahan dua jam porsi pelajaran bahasa Indonesia menjadi empat jam per minggu dengan kegiatan-kegiatan positif, seperti lomba menulis resensi buku, karya sastra, dan pembuatan majalah dinding.

Dengan cara-cara itu, saya yakin akan me numbuhkan rasa cinta terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Selamat Bulan Bahasa dan Sastra!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar