Kemarau
Mungkin Masih Panjang
Paulus Agus Winarso ; Pengajar
Sekolah Tinggi Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika
|
KOMPAS,
27 Oktober 2014
Hujan mulai turun di beberapa kawasan tertentu, tetapi jangan
terlalu cepat berharap kondisi kurang hujan dan kekeringan akan berlalu. Kisaran
prakiraan awal musim hujan secara umum berlangsung Oktober 2014-Januari 2015.
Mengingat hingga kini belum tersedia informasi perkembangan awal musim hujan,
tulisan ini mencoba menyajikan hasil analisis dari sejumlah pusat iklim
dunia. Apakah kondisi kering di sebagian besar wilayah Indonesia saat ini
dapat diatasi?
Dari pengamatan sepanjang September hingga Oktober 2014, tampak
bahwa hujan lokal sampai merata pada suatu kawasan sering terjadi di Sumatera
bagian barat dan utara, sebagian Kalimantan utara, sebagian kawasan Maluku
bagian tengah dan utara, serta sebagian besar Papua Barat, kecuali bagian
selatan. Di luar kawasan tersebut, hampir tak pernah terjadi hujan.
Masih berasap
Maka, yang terjadi bisa berlawanan. Di wilayah Sumatera bagian
selatan dan tengah bagian timur, misalnya, diselimuti asap. Sebagian besar
Kalimantan, sebagian besar Jawa, kecuali Bogor dan Cilacap yang sesekali
turun hujan, sebagian kawasan Bali dan seluruh Nusa Tenggara, sebagian besar
kawasan Sulawesi, serta sebagian kawasan Maluku bagian selatan dan Papua
Barat bagian selatan semua kekeringan.
Tekanan udara di kawasan Indonesia paling selatan tercatat 1.012
milibar-1.016 milibar yang mengindikasikan bahwa tekanan udara relatif
tinggi. Sebagaimana dalam pelajaran dinamika dan fisika udara, suatu kawasan
yang dalam kondisi tekanan tinggi akan menjadi pusat udara keluar atau
terberai. Stasiun pengamatan Bandung mencatat kelembaban relatif awal Oktober
2014 sekitar 35 persen, artinya kondisi udara kering. Keringnya kondisi udara
telah berdampak pada kondisi kurang hujan yang berlangsung mulai Agustus 2014
hingga tulisan ini disusun pertengahan Oktober 2014.
Apabila dicermati, hasil pengamatan di lapangan menunjukkan
bahwa musim kurang hujan atau kemarau baru berlangsung dua bulan dari rerata
panjang musim, khususnya kawasan Pulau Jawa yang biasanya berdurasi 3 bulan-8
bulan, terutama kawasan Indonesia paling selatan (mulai Pulau Jawa hingga
Maluku bagian selatan).
Dengan demikian, sebenarnya musim kemarau tahun 2014 di wilayah
Indonesia masuk dalam kriteria menyimpang dari musim kemarau normal. Untuk
kawasan Jabodetabek yang secara umum mulai akhir April hingga Oktober 2014,
sepertinya musim kemarau terlambat tiga bulan apabila untuk tahun musim
kemarau berawal pada akhir Juli. Dengan demikian, ada indikasi, awal musim
hujan juga bergeser tiga bulan mendatang. Demikian juga di daerah lain.
Kemunduran akan datangnya awal musim hujan sedang berlangsung,
apalagi dari hasil pengamatan suhu muka laut secara global menginformasikan,
suhu muka laut kawasan selatan wilayah Indonesia (Pulau Jawa hingga Nusa
Tenggara) 22 derajat hingga 24 derajat celsius, yang jika dibandingkan dengan
kondisi normal September dengan simpangan 0–1 derajat celsius. Kondisi suhu
laut yang cenderung lebih rendah dari normal ini juga teramati dari
kelembaban udara relatif di Bandung yang tercatat di bawah 40 persen.
Kondisi ini juga didukung oleh pergeseran semu lintasan matahari
yang pada Oktober akan melintasi kawasan selatan. Tak pelak lagi suhu siang
yang cukup tinggi di atas 34 derajat celsius masih akan terjadi.
Kelihatannya, kondisi udara hangat/panas dengan suhu siang hari sekitar 34
derajat hingga 38 derajat celsius masih akan dirasakan dalam 1–3 bulan
mendatang mengingat posisi garis edar semu mulai akhir September hingga akhir
Maret tahun mendatang berada di wilayah bagian selatan.
Dengan kondisi demikian perlu kesiapan menghadapi berbagai
kondisi dampak, seperti kondisi hangat/panas siang hari dan kondisi udara
kering. Selain itu, kondisi dampak lanjutan berupa kebakaran lahan dan hutan
yang berlanjut dengan pencemaran asap dan kelangkaan air bersih di kawasan
rawan bencana masih harus diwaspadai. Apalagi teknik panen air dari udara
atau hujan buatan sepertinya akan sulit dengan rendahnya uap air yang
terkandung di udara.
Daratan Asia
Kondisi ini didukung adanya kondisi awal musim hujan di daratan
Asia, khususnya daratan India dan Tiongkok, yang saat ini berada pada puncak
musim hujan. Sebaliknya wilayah Indonesia berarti masih mengalami kemarau
karena cuacanya memang berkebalikan dengan India dan China. Kelambatan
periode iklim atau musim untuk kawasan luas regional hingga global seperti
kawasan Asia Selatan ini umumnya akibat terlambatnya proses pemanasan dari
matahari untuk mengubah tekanan udara menjadi rendah.
Kelambatan rendahnya tekanan udara di kawasan luas ini terkait
dengan pemanasan matahari dalam siklus lebih kurang 11 tahun, yaitu kondisi
jumlah bintik atau ledakan di permukaan matahari terendah selama dua abad
terakhir.
Jumlah bintik yang menggambarkan ledakan di permukaan matahari
terkait dengan energi gelombang elektromagnetik bagi kehidupan. Dampaknya
rentetan peristiwa kelambatan awal musim kemarau di wilayah Indonesia yang
seiring dengan kelambatan awal musim hujan di daratan Asia.
Dari pengamatan cuaca yang kemudian dianalisis pada peta
cuaca/iklim, akan diperoleh gambaran bahwa belahan utara sekitar wilayah
Indonesia umumnya dalam kondisi tekanan rendah (kawasan India dan kawasan
Tiongkok) dan kawasan tekanan tinggi berada di kawasan selatan Indonesia dan
Benua Australia utara. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa kelambatan awal musim
hujan akan berlangsung dalam satu hingga beberapa bulan mendatang.
Awan cumulus
Sebagaimana dari pengalaman operasional analisis cuaca harian
mengisyaratkan bahwa musim hujan akan muncul apabila ditandai dengan kegiatan
awan menjulang tinggi atau awan jenis kumulus dan tekanan udara dalam
1.006–1.000 milibar. Kini tekanan udara kawasan Australia utara dalam kisaran
1.012 hingga 1.016 milibar.
Tentunya kondisi tekanan tinggi masih cukup tangguh dan butuh
waktu untuk menjadi turun pada kisaran rendah. Pengalaman kemunduran awal
musim hujan kawasan daratan Asia dua bulan hingga tiga bulan mungkin juga
dapat menjadi acuan kita tentang awal musim hujan kita, yang artinya juga
mundur 1–3 bulan.
Untuk kawasan yang kini rawan kebakaran dan pencemaran asap
seperti kawasan Sumatera bagian tengah dan selatan serta Kalimantan Tengah
dan Kalimantan Selatan tentu saja kewaspadaan perlu diperpanjang karena hujan
masih belum akan turun 1-3 bulan ke depan.
Selama indikasi penurunan tekanan udara di kawasan selatan
Indonesia atau kawasan Australia utara pada 1.006-1.010 milibar sepertinya
kondisi awal musim hujan masih belum dapat terjadi, musim kemarau masih akan
bertahan di Indonesia. Maka, beberapa bulan mendatang pelbagai pihak perlu
bersiap menghadapi dampaknya. Adalah tugas dan kewajiban kita semua untuk
lebih arif dan waspada, sekaligus menjaga lingkungan agar kehidupan tetap
lestari, terutama di Bumi Pertiwi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar