Mengawal
Realisasi Janji Jokowi
Donal Fariz ; Anggota
Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch
|
KOMPAS,
23 Oktober 2014
KOMPOSISI kabinet Joko Widodo dan Jusuf Kalla seolah menjadi teka-teki
yang tidak ada habisnya. Di tengah kuatnya arus tarik-menarik kepentingan
elite, Jokowi juga dituntut memenuhi janji revolusi mental dalam mengangkat
para menterinya. Secara konstitusional, pengangkatan seorang menteri
merupakan hak prerogatif presiden. Dalam sistem presidensial, seorang menteri
merupakan pembantu presiden yang bertanggung jawab langsung kepada atasannya.
Namun realitas politik acapkali memaksa hak ini tak berada sepenuhnya
dalam genggaman seorang presiden. Pada kenyataannya elite parpol turut
memiliki peran utama, bahkan kadang setara, dalam artian politik dengan
otoritas yang dimiliki presiden.
Janji
Jokowi
Dilema penyusunan kabinet juga tengah menghantui Jokowi saat ini. Ia
tengah bergelut dengan tarik-menarik kepentingan dengan elite partai dan tim
sukses yang turut andil membantu pemenangannya pada pemilu presiden lalu.
Pada saat bersamaan, Jokowi juga tengah bertarung dengan dirinya sendiri,
sesuai dengan janji untuk menghadirkan pemerintahan baru yang reformis dan
keluar dari pakem politik terdahulu.
Dari sinilah sebenarnya gagasan revolusi mental diuji. Jokowi memiliki
tenggat maksimal hingga 14 hari setelah dilantik sesuai Pasal 16
Undang-Undang Kementerian Negara untuk menentukan para menteri kabinetnya.
Dari pelbagai pernyataan sejak masa kampanye hingga menjabat presiden
sekarang ini, setidaknya ada empat janji yang pernah dilontarkan Jokowi
menyangkut kabinet. Janji-janji itu adalah membentuk kabinet yang tak
transaksional, janji untuk transparan dan partisipatif dalam penentuan
menteri, janji untuk mengangkat menteri yang tidak rangkap jabatan sebagai
pengurus partai, janji melibatkan KPK dan PPATK untuk memberikan masukan
terkait calon menteri. Sejumlah elemen yang peduli isu korupsi dan tata kelola pemerintahan ibarat mendapat
angin surga. Angin yang membawa harapan menuju arah pemerintahan lebih baik.
Namun, sejujurnya kita melihat Jokowi perlahan mulai kedodoran dalam
merealisasikan janjinya itu. Arah angin tampaknya mulai perlahan berputar.
Komitmen untuk transparan dalam penentuan menteri dan melibatkan partisipasi
publik untuk memberikan masukan kurang dilakukan. Padahal, waktu yang ia
miliki sangat terbatas.
Partisipasi publik sesungguhnya harus dipandang Jokowi sebagai upaya
merawat dukungan dari beragam strata sosial yang menyokongnya dalam pemilu
lalu. Sulit dibantah, kontribusi masyarakat yang melebur dalam berbagai
bentuk menjadi instrumen utama yang memenangkan Jokowi dalam pemilu. Bahkan
mengalahkan peran partai pendukungnya sendiri. Penentuan menteri ini akan
sekaligus menjadi ujian ke mana arah keberpihakan Jokowi sesungguhnya.
Selain janji transparan dan partisipatif, Jokowi juga berjanji tak akan
mengangkat menteri yang merangkap jabatan sebagai pengurus partai. Untuk hal
ini, Jokowi sesungguhnya punya alasan kuat. Dalam Pasal 23 Ayat (3) UU
Kementerian Negara disebutkan larangan rangkap jabatan bagi menteri yang
menjadi pimpinan organisasi yang menerima dana dari APBN/APBD.
Parpol sebagai entitas organisasi yang juga turut menerima dana dari
APBN setiap tahun, masuk pada subyek pasal itu. Aturan ini sangat jelas,
hanya saja tak pernah diimplementasikan secara tegas oleh Presiden SBY
semenjak diundangkan (2008).
SBY memiliki tiga menteri yang menjadi ketua umum di kabinetnya dan 21 orang
menteri berseragam partai. Dampaknya
sangat terasa di ujung pemerintahan, kabinet menjadi tidak terkoordinasi
karena para menteri sibuk mengurus partainya menyongsong pemilu. Ini harus
jadi pelajaran berharga bagi Jokowi dalam menyusun kabinet.
Saring
calon bermasalah
Terakhir, janji Jokowi untuk melibatkan KPK dan PPATK dalam memberikan
masukan menyangkut para calon menteri. Peran dua lembaga ini sangat vital
untuk mendorong pembentukan kabinet yang bersih. Jokowi tentu akan mendapat
manfaat ganda dengan melibatkan KPK dan PPATK dalam pengisian kabinet.
Pertama, dari pendekatan pemberantasan korupsi, melibatkan dua organisasi ini
akan jadi filter masuknya orang-orang bermasalah dalam kabinet. Pemberantasan
korupsi akan berjalan lebih mudah karena kementerian dipimpin orang bersih
dan tidak menjadi pemburu rente.
Kedua, melibatkan KPK dan PPATK juga bisa menjadi strategi bagi Jokowi
untuk keluar dari tekanan dan intervensi parpol dalam penyusunan kabinet.
Acap kali elite partai justru menyodorkan orang-orang bermasalah menjadi
pejabat publik dan presiden kesulitan menolaknya. Dengan menggunakan strategi
pelibatan institusi penegak hukum bisa menjadi dalil kuat bagi Jokowi menolak
nama-nama bermasalah versi penegak hukum tanpa harus beradu argumen vis a vis dengan elite partai untuk
menolaknya. Jadi, ia tak lagi menjadi episentrum tunggal.
Janji Jokowi di atas seluruhnya
terekam kuat dalam ingatan jutaan pemilih hingga relawan yang mendukungnya.
Publik sejatinya hanya ingin Jokowi memulai momentum perubahan baru dengan
orang-orang bersih dan berintegritas di sekelilingnya. Jokowi harus
mengaktualisasikan gagasan revolusi mental sebagai jargon kampanyenya dalam
penentuan kabinet ini.
Revolusi mental itu dimulai dari mendengar suara masyarakat, bukan kemauan
elite-elite politik belaka. Revolusi mental itu menjadikan publik sebagai
pelaku demokrasi, bukan penonton. Revolusi mental harus dilakukan dengan cara
melunasi janji kampanye. Publik sekarang tengah menagih janji Jokowi untuk
membangun pemerintahan bersih, bukan transaksional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar