Sabtu, 25 Oktober 2014

Hijrah

Hijrah

Achmad Fauzi  ;  Aktivis Multikulturalisme
KORAN TEMPO, 24 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Pergantian Tahun Baru Islam 1 Muharram 1436 Hijriah beriringan dengan peristiwa besar peralihan orde dari SBY ke Joko Widodo.

Tafsir temali waktu yang berdekatan antara epos kenabian dan momentum kenegaraan tersebut menyiratkan adanya titik singgung spirit agama dalam menjiwai kehidupan bernegara. Hal ini relevan dengan kajian sosiologi Donald Smith (1970) yang mengaitkan peran agama dalam masyarakat dari perspektif sistem politik.

Tahun baru Hijriah adalah siklus pengingat peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Yatsrib (Madinah). Di kota ini berhasil diletakkan dasar-dasar kehidupan masyarakat berkeadaban (civilized). Elemen suku, agama, dan kepentingan disatukan dalam satu wadah kebangsaan. Nilai egalitarianisme, keadilan, dan musyawarah menjadi pilar penopang tegaknya sendi keadaban. Capaian tatanan politik beradab tersebut tak bisa dilepaskan dari ikhtiar politik Nabi dalam melakukan "hijrah paradigma". Suatu proses revolusi mental yang membangunkan kesadaran tentang arti keguyuban dan kewargaan.

Jika demikian, hijrah secara maknawi bukan sekadar perpindahan fisik dari tempat yang kacau ke wilayah aman, tapi juga pembaruan kerangka berpikir dari jumud dan beku ke tatanan paradigma inklusif dan beradab.

Bangsa Indonesia perlu banyak menggali nilai filosofis hijrah, khususnya dalam membangun keadaban politik. Nabi Muhammad sebagai pemimpin politik berhasil menyatukan semesta kepentingan kaum Muhajirin (kelompok pendatang) dan Anshar (kalangan pribumi) melalui cara demokratis dan setara. Tidak ada kesumat abadi karena musyawarah lebih diutamakan dalam pengambilan keputusan. Semua ikhtiar kebangsaan tersebut tecermin pada traktat yang tertuang dalam butir-butir Piagam Madinah.

Kondisi terbalik terjadi di republik ini. Musyawarah untuk mencapai mufakat selalu menemui jalan buntu. Terlalu banyak kerumunan kepentingan di sekitar kekuasaan yang berjubel mencari jatah. Demokrasi dibegal oleh kelompok pemangsa kekuasaan berwatak buas.

Belum lagi soal tensi politik di kalangan bawah yang belum turun. Sejak panggung suksesi pemilihan presiden dihelat, tak dimungkiri elemen masyarakat terpolarisasi dalam faksi-faksi yang berlawanan. Suhu politik yang panas kian memantik api permusuhan. Celakanya, fitnah dan politik tuna-adab riuh gentayangan merusak akal budi.

Sebagai seorang pemimpin, Jokowi harus mampu merangkul kelompok yang berseberangan pilihan politik dalam satu semangat. Istilah politik di meja makan yang mempertemukan Jokowi dengan Prabowo Subianto, beberapa waktu yang lalu, adalah langkah besar agar tensi ketegangan dua kutub di tataran akar rumput tidak menggumpal menjadi destruksi sosial. Sikap kenegarawanan dua tokoh ini harus direspons dengan menghentikan segala bentuk sinisme.

Jejaring sosial hingga kini masih disesaki aroma sinisme terhadap Jokowi. Padahal kebaikan tetaplah kebaikan, tak peduli pelakunya berseberangan politik. Berbeda pilihan politik lazim terjadi di negara yang menjunjung nilai demokrasi. Tapi menciptakan iklim politik tidak sehat untuk meneguhkan afiliasi politik sebagai realitas tunggal tentu tindakan keliru. Sudah saatnya bangsa Indonesia tidak lagi melihat siapa presidennya, tapi yang lebih substantif adalah apa dan bagaimana janji politik itu ditunaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar