Hijrah
Achmad Fauzi ; Aktivis
Multikulturalisme
|
KORAN
TEMPO, 24 Oktober 2014
Pergantian
Tahun Baru Islam 1 Muharram 1436 Hijriah beriringan dengan peristiwa besar
peralihan orde dari SBY ke Joko Widodo.
Tafsir
temali waktu yang berdekatan antara epos kenabian dan momentum kenegaraan
tersebut menyiratkan adanya titik singgung spirit agama dalam menjiwai
kehidupan bernegara. Hal ini relevan dengan kajian sosiologi Donald Smith
(1970) yang mengaitkan peran agama dalam masyarakat dari perspektif sistem
politik.
Tahun
baru Hijriah adalah siklus pengingat peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad dari
Mekah ke Yatsrib (Madinah). Di kota ini berhasil diletakkan dasar-dasar
kehidupan masyarakat berkeadaban (civilized). Elemen suku, agama, dan
kepentingan disatukan dalam satu wadah kebangsaan. Nilai egalitarianisme,
keadilan, dan musyawarah menjadi pilar penopang tegaknya sendi keadaban.
Capaian tatanan politik beradab tersebut tak bisa dilepaskan dari ikhtiar
politik Nabi dalam melakukan "hijrah paradigma". Suatu proses
revolusi mental yang membangunkan kesadaran tentang arti keguyuban dan
kewargaan.
Jika
demikian, hijrah secara maknawi bukan sekadar perpindahan fisik dari tempat
yang kacau ke wilayah aman, tapi juga pembaruan kerangka berpikir dari jumud
dan beku ke tatanan paradigma inklusif dan beradab.
Bangsa
Indonesia perlu banyak menggali nilai filosofis hijrah, khususnya dalam
membangun keadaban politik. Nabi Muhammad sebagai pemimpin politik berhasil
menyatukan semesta kepentingan kaum Muhajirin (kelompok pendatang) dan Anshar
(kalangan pribumi) melalui cara demokratis dan setara. Tidak ada kesumat
abadi karena musyawarah lebih diutamakan dalam pengambilan keputusan. Semua
ikhtiar kebangsaan tersebut tecermin pada traktat yang tertuang dalam
butir-butir Piagam Madinah.
Kondisi
terbalik terjadi di republik ini. Musyawarah untuk mencapai mufakat selalu
menemui jalan buntu. Terlalu banyak kerumunan kepentingan di sekitar
kekuasaan yang berjubel mencari jatah. Demokrasi dibegal oleh kelompok
pemangsa kekuasaan berwatak buas.
Belum
lagi soal tensi politik di kalangan bawah yang belum turun. Sejak panggung
suksesi pemilihan presiden dihelat, tak dimungkiri elemen masyarakat
terpolarisasi dalam faksi-faksi yang berlawanan. Suhu politik yang panas kian
memantik api permusuhan. Celakanya, fitnah dan politik tuna-adab riuh
gentayangan merusak akal budi.
Sebagai
seorang pemimpin, Jokowi harus mampu merangkul kelompok yang berseberangan
pilihan politik dalam satu semangat. Istilah politik di meja makan yang
mempertemukan Jokowi dengan Prabowo Subianto, beberapa waktu yang lalu,
adalah langkah besar agar tensi ketegangan dua kutub di tataran akar rumput
tidak menggumpal menjadi destruksi sosial. Sikap kenegarawanan dua tokoh ini
harus direspons dengan menghentikan segala bentuk sinisme.
Jejaring
sosial hingga kini masih disesaki aroma sinisme terhadap Jokowi. Padahal
kebaikan tetaplah kebaikan, tak peduli pelakunya berseberangan politik.
Berbeda pilihan politik lazim terjadi di negara yang menjunjung nilai
demokrasi. Tapi menciptakan iklim politik tidak sehat untuk meneguhkan
afiliasi politik sebagai realitas tunggal tentu tindakan keliru. Sudah
saatnya bangsa Indonesia tidak lagi melihat siapa presidennya, tapi yang
lebih substantif adalah apa dan bagaimana janji politik itu ditunaikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar