Tol
Laut, antara Logistik dan Transportasi
Siswanto Rusdi ; Direktur
The National Maritime Institute (NAMARIN)
|
KORAN
SINDO, 22 Oktober 2014
Pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf
Kalla akhirnya mengucapkan sumpah sebagai presiden dan wakil presiden periode
2014- 2019 di hadapan sidang MPR RI. Bagi pemerhati dan pengamat kemaritiman
yang menarik dari prosesi pelantikan mereka berdua adalah pernyataannya bahwa
“Kita telah lama memunggungi laut,
samudera, selat, dan teluk. Sekarang saatnya kita mengembalikan semua
sehingga tercapai Jalesveva Jayamahe kembali membahana di laut kita
jaya."
Dengan mengutip Bung Karno, Jokowi (begitu ia biasa dipanggil) lebih
lanjut mengatakan, “Untuk membangun
Indonesia kuat, makmur, dan damai yakni cakrawati samudera, diperlukan jiwa
pelaut yang berani mengarungi gelombang dan hempasan ombak yang menggulung.”
Singkat cerita, kemaritiman menjadi salah satu alas strategi penting
bagi dia dalam mewujudkan visinya menjadikan Indonesia Hebat. Komitmen yang
kuat kepada kemaritiman mantan wali kota Surakarta itu sudah terlihat ketika
ia mengusung gagasan tol laut saat kampanye pilpres lalu. Sejak diluncurkan,
ide tentang tol laut tersebut memantik pro dan kontra. Sampai saat ini pun
masih saja menjadi buah bibir publik, khususnya mereka yang bergelut di
sektor kemaritiman.
Tetap hangatnya (baca: kontroversial) isu tersebut berangkat dari kondisi
bahwa ia sampai hari ini kita tidak memiliki blueprint resmi yang dikeluarkan oleh sang presiden terpilih
terkait gagasannya itu. Benar bahwa gagasan tol laut itu kini sudah memiliki
bentuk yang cukup jelas, tetapi ini lebih merupakan persepsi eksternal
terhadapnya. Apakah bentuk itu juga sebangun-seruang dengan yang ada dalam
pemikiran Presiden terpilih Joko Widodo, kita tidak tahu.
Karena itu, kita berharap besar kepada Jokowi agar sesegera mungkin
menjelaskan secara gamblang konsep tol laut yang ia gagas dalam masa kampanye
pemilihan presiden. Penjelasan itu nanti diharapkan akan menjadi tafsir
paling otoritatif terhadap tol laut dan bagian integral dari kebijakan
nasional selama lima tahun ke depan. Bisa jadi dari sisi legal-formal tol
laut itu dituangkan dalam bentuk perpres, keppres, dan sebagainya.
Dengan begini, kontroversi tol laut dapat diakhiri. Adapun penjelasan
yang ditunggu publik antara lain asal-usul istilah dan pendekatan teknis (technical approach). Adaungkapan what
is a name? Apalah artinya sebuah nama, ia tidaklah penting. Mawar tetaplah
mawar walaupun mungkin ia diberi nama lain.
Namun, selalu ada cerita di balik sebuah nama. Tol laut disebut-sebut
merupakan sinonim dari konsep pendulum. Sementara bagi komunitas kemaritiman
mondial yang dimaksud dengan pendulum adalah “ a set of sequential port calls from at least two maritime ranges,
commonly including a transoceanic service and structured as a continuous
loop.”
Pendulum pertama kali diperkenalkan oleh perusahaan pelayaran Amerika
Serikat SeaLand pada 1962 dengan menghubungkan pelabuhan-pelabuhan New York,
Los Angeles, dan Oakland melalui Terusan Panama. Ketika pulang, armada
pendulum ini menyinggahi San Juan, Puerto Rico. Kini Sea-Land tergabung dalam Maersk
Line. Apakah dengan mengusung tol laut ada upaya untuk memasukkan
pelayaran tersebut ke Indonesia? Ada kabar, kapal-kapal milik mereka yang
berukuran 3.000 TEU tengah menganggur di Eropa.
Logistik vs Transportasi
Yang juga perlu dijelaskan oleh Jokowi adalah pendekatan teknis dalam
menjalankan gagasan tol lautnya. Ada dua pendekatan dalam hal ini yaitu
pendekatan logistik dan pendekatan transportasi. Mana yang dia lebih
utamakan: pendekatan logistik atau transportasi.
Saat ini dalam dinamika wacana tol laut yang berkembang pendekatan yang
dominan adalah pendekatan logistik. Pendekatan logistik ditandai dengan lebih
mengedepannya peran para middle man (forwarder)
dibanding pengangkut atau operator kapal. Selain para forwarder, pendekatan ini juga memberi tepat yang relatif besar
kepada pengelola pelabuhan. Lihatlah bagaimana sepak terjang mereka sejak
gagasan tol laut dimunculkan dalam kampanye pemilihan presiden.
Para middle man dan pengelola
pelabuhan sontak mendukung gagasan tol laut, padahal mereka tidak tahu apa
yang diinginkan Jokowi. Mereka menguasai wacana di media massa dengan
keywords -nya “sistem logistik”, “pengembangan pelabuhan”, dan sebagainya.
Sang presiden terpilih sepertinya terjebak dalam pusaran para pelaku
pendekatan ini. Ia bertemu danbicara denganpara forwarder dan pengelola
pelabuhan dan berkunjung ke sana.
Padahal, jika mengacu pada
istilah tol laut, pendekatan yang sebaiknya diutamakan adalah pendekatan transportasi.
Layaknya tol di darat, di mana yang menggunakannya tentulah mobil dan truk,
tol laut yang menggunakannya adalah kapal. Sayang, sejak muncul ke permukaan
tol laut terkesan mengesampingkan perusahaan pelayaran.
Dari pihak presiden terpilih juga tidak terdengar kabar bahwa dia
bertemu pelaku usaha pelayaran dan mendiskusikan tol laut. Kondisi asimetris
tadi menyebabkan sampai saat ini tol laut tidak memiliki gambaran terkait
siapa yang akan mengoperasikan kapal dengan kapasitas 3.000 TEU; BUMN-kah
atau swastakah. Insentif dan disinsentif seperti apa yang akan diberikan
kepada operator kapal yang bersedia mengisi slot yang tersedia nanti.
Tol laut tidak hanya terkait
pengembangan pelabuhan atau pengumpulan dan pengiriman (to forward) barang. Gagasan ini juga menyangkut kapal sebagai alat
angkut yang tugasnya mengunjungi pelabuhan yang telah dikembangkan dan
mengangkut barang yang telah dikumpulkan di sana.
Dalam bukunya, The Influence of
Sea Power Upon History 1660-1783, Capt. A. T. Mahan, seorang ahli
strategi maritim terkenal mengatakan “...the
necessity of a navy, in the restricted sense of the word, springs, therefore,
from the existence of a peaceful shipping ...”. Jadi, jangan tinggalkan
pelayaran dalam wacana tol laut. Selamat
mengemban tugas untuk Anda berdua, Pak Jokowi dan Pak JK. Jalesveva Jayamahe.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar