Pemerintahan
yang Tangkas
Sapto Waluyo ; Pembantu Ketua IV STT Nurul Fikri
|
REPUBLIKA,
21 Oktober 2014
Indonesia
memasuki era kepemimpinan baru di bawah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden
Jusuf Kalla. Di samping pelantikan yang khidmat di gedung DPR/MPR, ribuan
rakyat terlibat dalam pesta di sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin dan lapangan
Monas.
Semoga
ini pertanda baik bahwa pemerintahan baru mendapat dukungan penuh rakyat untuk
membawa perubahan. Setelah pesta usai, kita perlu segera menyadari pekerjaan
rumah yang banyak di hadapan mata. Ketimpangan yang masih lebar antara
pusat-daerah, antara Jawa dan luar Jawa, antara kota dan desa. Pertumbuhan
ekonomi yang stagnan dan cenderung menurun disertai inflasi terus meningkat,
sedangkan jalur distribusi barang masih terkendala trans portasi yang buruk.
Empat
pemerintahan pasca-Reformasi 1998 belum membawa perubahan signifikan dalam
kesejahteraan rakyat, meskipun kebebasan telak meruak. Presiden BJ Habibie
(1998-1999), Abdurrahman Wahid (1999-2001), Megawati Soekarnoputeri
(2001-2004), dan SB Yudhoyono (2004-2014) memiliki karakteristik kepemimpinan
berbeda untuk menjawab persoalan bangsa yang relatif serupa. Hasilnya? Bisa
menimbulkan perdebatan panjang.
Permasalahan
bangsa saat ini bergulir cepat. Tanpa disadari, persoalan itu sering
berkaitan dan berkelit-kelindan sehingga sulit dilacak akar masalah sebenarnya.
Hanya orang-orang yang tekun dan bebas kepentingan pribadi dapat
mengetahuinya, walau belum tentu mampu memecahkannya. Sedangkan mereka yang
bersuara keras justru memperparah keadaan.
Data kependudukan,
misalkan, merupakan persoalan kunci. Diperlukan lembaga statistik kredibel
dan profesinal untuk menjalankan sensus berkala dengan tingkat kepercayaan
tinggi. Itu pun belum cukup, harus didukung aparat pemerintah hingga tingkat
camat dan lurah/kepala desa, serta organisasi sosial hingga RT/RW untuk
memastikan identitas warga sebenarnya. Dari sanalah program perlindungan
sosial bagi warga miskin dapat disalurkan tepat sasaran, tanpa menimbulkan
kecemburuan.
Sayang
sekali, program strategis e-KTP (komputerisasi data kependudukan) tidak
berjalan mulus. Padahal, hasil sensus tentang karakteristik warga dapat
diintegrasikan sehingga pemerintah pusat dan daerah mengetahui persis jumlah
warga beserta kondisi nyatanya.
Gagalnya
program e-KTP menunjukkan sekali lagi bahwa tantangan bangsa ini bukan karena
minimnya anggaran dan sumber daya, melainkan karena lemahnya komitmen untuk
menyelesaikan masalah dan melayani publik.
Kesemrawutan
data kependudukan berdampak krusial saat terkait kepentingan politik, seperti
daftar pemilih yang berhak memberikan suara dalam pilkada atau pemilihan umum.
Tidak validnya daftar pemilih menimbulkan masalah legitimasi politik, di
samping proses penyelenggaraan pemilu/pilkada yang banyak celah kelemahannya.
Kelemahan
data nasional ini, jika tidak segera diperbaiki, akan memengaruhi daya saing
Indonesia dalam kompetisi global. Misalnya, data tentang sumber daya manusia
berpendidikan tinggi dan berketerampilan khusus sangat diperlukan untuk membuka
lapangan kerja dan sektor industri strategis.
Bila
kita tak memiliki SDM yang terpetakan dengan cermat, serbuan tenaga kerja
asing akan merampok kesempatan kerja yang terbatas. Angka pengangguran meningkat,
persoalan sosial pun merebak.
Sosok
Jokowi yang suka blusukan dan JK yang bersikap spontan merupakan modal berharga
untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah bangsa. Namun, yang
dibutuhkan Indonesia di era komunikasi dan ekonomi digital saat ini lebih
dari sekadar gaya kepemimpinan. Kita membutuhkan kultur birokrasi baru yang
bisa disebut sebagai "Agile
Government", pemerintahan yang tangkas (Joseph Flahiff, 2014).
Konsep agility (ketangkasan, kesigapan) biasa
digunakan dalam teknologi informasi dan komunikasi untuk menggambarkan
respons cepat terhadap perubahan yang terjadi. Pemerintahan tangkas dapat
dimaknai sebagai aparat yang mampu beradaptasi dengan perubahan secepat atau
bahkan lebih cepat daripada perubahan itu sendiri.
Ada
empat dimensi ketangkasan yang perlu diperhatikan instansi publik atau
korporasi swasta: dari sisi sistem (business
systems dan technical practices)
dan dari sisi pelaku (budaya dan kepemimpinan).
Dimensi
budaya (birokrasi atau korporasi) adalah sekumpulan prinsip dan perilaku
organisasional yang menciptakan lingkungan kerja. Faktor ini terbangun sejak
lama pada saat sebuah lem baga muncul. Perkembangan zaman menuntut suatu
lembaga untuk menyesuaikan prinsip dan perilaku agar tetap mencapai tujuan
yang telah dicanangkan. Ada sejumlah tantangan dari dimensi budaya, yakni
kepuasan-ketidakpuasan dalam bekerja, kemampuan kerjasama, kesadaran
menentukan arahan mandiri (self-direction),
dan kapasitas untuk bekerja lintas organisasi.
Dimensi
kepemimpinan punya dua tujuan, yaitu menyediakan arah kebijakan yang jelas
dan menghilangkan hambatan serta memperlancar jalan mencapai tujuan kolektif.
Namun, tantangan yang dihadapi juga berat: kepercayaan terhadap proses yang
berulangkali dijalani dan kehadiran/kewenangan/ pengetahuan sang pemimpin
dalam merespons kondisi yang dinamis.
Dimensi
sistem bersifat lebih objektif dan membuahkan dampak lebih strategis
ketimbang faktor budaya atau gaya kepemimpinan. Sistem kerja (birokrasi/ korporasi)
meliputi proses, peralatan, kepercayaan, dan kebijakan yang mendukung
pencapaian tujuan. Tantangannya adalah laporan kinerja yang bersifat formal
(ABS), alokasi pegawai yang terdistribusi habis, masa kerja yang terbatas,
dan pelaporan tentang keadaan.
Dimensi
teknis meliputi perlengkapan dan teknik yang digunakan untuk memenuhi
kepentingan publik. Tantangannya, kesanggupan menyerap peralatan baru, merawat
peninggalan lama, dan menumbuhkan kepercayaan atas praktik baru.
Apakah
pemerintahan baru Jokowi-JK mampu menjawab tantangan itu? Rakyat akan melihatnya
pada langkah pertama yang diambil dengan membentuk susunan kabinet yang siap
bekerja sejak hari pertama. Rakyat juga akan bersabar memberi kesempatan lima
tahun kepada Jokowi-JK untuk memenuhi semua janji politiknya. Warisan
birokrasi lama bukan lagi alasan karena pemimpin baru punya otoritas untuk
mengubahnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar