Senin, 27 Oktober 2014

Involusi Gerakan Anti Korupsi

Involusi Gerakan Anti Korupsi

Dedi Haryadi  ;  Deputi Sekjen Transparansi Internasional Indonesia
KOMPAS, 27 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


ADA kemungkinan gerakan anti korupsi  mengalami involusi: jalan di tempat! Penandanya sudah cukup jelas. Dalam 15 tahun terakhir, sejak Indonesia Corruption Watch (ICW) berdiri, relatif tak ada lagi inovasi kelembagaan baru yang diprakarsai dan dilahirkan organisasi masyarakat sipil atau aktivis gerakan anti korupsi. Bukan tak ada kegiatan, melainkan kegiatan tersebut  lebih repetitif.

Program dan menu kegiatan advokasi anti korupsi kita hari ini relatif sama dengan 10 atau 15 tahun yang lalu: advokasi kebijakan atau peraturan, penelitian dan litigasi, kampanye dan sosialisasi, peningkatan kapasitas, petisi, pengembangan wacana, dan lain-lain. Mengapa dan bagaimana agar gerakan anti korupsi terhindar dari bahaya involutif?

Sumber involusi

Sumber kemungkinan involusi itu adalah kelalaian para aktivis anti korupsi sendiri. Mereka  belum menyadari pentingnya  upaya menangkap, menyistematisasi, mendistribusi, menggunakan , dan mereproduksi pengetahuan dan pengalaman mereka dalam mengembangkan gerakan anti korupsi. Para aktivis itu banyak menghabisi waktu untuk menyusun proposal, mengimplementasikan program, dan membuat laporan pertanggungjawaban kepada lembaga donor.

Kerja-kerja advokasi anti korupsi tidak ditempatkan dalam konteks dialektika teori/pengetahuan versus praksis.  Pegiat anti korupsi seharusnya memahami dan menempatkan kerja-kerja advokasi anti korupsinya dalam dialektika teori versus praksis ini. Sebab, teori atau pengetahuan yang baik dan benar akan membimbing aktivis menyusun dan menetapkan praksis yang baik dan benar.  Praksis yang baik dan benar, apalagi sampai menghasilkan praktik terbaik dan hikmah, akan memberikan sumbangan berarti pada pengayaan pengetahuan.

Ada beberapa kerugian yang muncul akibat praksis advokasi anti korupsi yang abai terhadap dialektika ini. Pertama,  kejumudan pemikiran  sehingga tidak ada terobosan baru yang muncul, baik dalam metode dan manajemen gerakan, alat analisis, mobilisasi sumber daya, pengembangan kapasitas, maupun lobi dan negosiasi yang terkait tata kelola gerakan anti korupsi.

Kedua, tidak terjadi akumulasi pengetahuan apalagi menyumbang pada pembentukan badan pengetahuan (body of knowledge) tentang gerakan anti korupsi. Karena sifat kegiatannya yang  repetitif, kita tidak melahirkan praktik terbaik  dan pembelajaran yang penting dan substantif dari gerakan anti korupsi yang dikembangkan. Praktik terbaik itu kerap terjadi dan dihasilkan dari  daerah lain (luar negeri) sehingga kita harus mengimpornya. Hasilnya, kita lebih sering merujuk orang lain daripada dirujuk orang lain. Maka, tidak aneh kalau kemudian para aktivis kita lebih sering menziarahi Porto Alegre di Brasil, misalnya, untuk mengenal lebih dekat teori dan praksis tentang penganggaran partisipatif (participatory budgeting).

Ketiga, involusi gerakan.  Konsekuensi dari dua hal tersebut, kita akan mendapat gerakan anti korupsi yang involutif. Ada gerakan dan aktivitas, tetapi hanya jalan di tempat.  Problem tersendatnya regenerasi aktivis anti korupsi, di satu sisi, rupanya diperburuk tersendatnya ide pembaruan gerakan anti korupsi.

Transformasi pengetahuan

Keadaan ini harus diubah. Kita harus menetapkan orientasi baru dalam mengembangkan gerakan anti korupsi.  Pertama, gerakan anti korupsi harus ditempatkan dalam konteks dan dialektika pengetahuan dan praksis yang tepat sehingga  kita tidak jumud dan malah bisa menyumbang pada pengayaan khazanah pengetahuan dan praksis gerakan anti korupsi.  Kita harus menjadi pusat keunggulan yang bisa melahirkan praktik terbaik dan pembelajaran sehingga dirujuk dan diziarahi orang lain.  Besok atau lusa orang berbondong-bondong datang   guna  memahami gerakan anti korupsi yang kita kembangkan sendiri. Di sinilah kita harus mengembangkan kemampuan mengelola pengetahuan tentang gerakan anti korupsi.

Dalam khazanah manajemen pengetahuan dikenal istilah tacit, implicit, dan explicit knowledge. Tacit knowledge (TK) biasanya laten (tersembunyi), tak tertulis, tak terukur, lebih personal, dan karena itu relatif sulit diverifikasi, divisualisasi, dan ditransfer.  Explicit knowledge (EK) itu manifestasi, jelas, terbuka, tertulis, terukur, bisa divisualisasi, diverifikasi, dan mudah ditransfer.  Di antara keduanya ada wilayah abu-abu, yang disebut implicit knowledge (IK). Penggambarannya secara kualitatif IK itu di atas tacit, tetapi belum  jadi explicit. Pada tacit, pengodifikasian tak mungkin dilakukan, tetapi pada implicit hal itu sangat mungkin.  Namun, ia juga belum jadi konsep atau asumsi yang meneguhkan satu prinsip dalam sebuah teori.

Kita harus bisa menangkap dan kalau bisa mentransformasikan TK ke dalam EK tentang gerakan anti korupsi. Pada diri aktivis anti korupsi, seperti Teten Masduki dan Bambang Widjoyanto,  ada tacit knowledge tentang gerakan anti korupsi yang melekat pada mereka.

TK yang melekat pada Teten, misalnya, bagaimana kepemimpinan dan intuisi Teten dalam  membidani dan mengelola ICW sehingga  besar dan kredibel, atau bagaimana ia  mengelola risiko keamanan dalam kerja-kerja advokasi anti korupsi. Sebab, kita tahu bahwa risiko keamanan dalam kerja-kerja ini sangat tinggi apalagi pada awal-awal transisi demokrasi.   Namun, persolannya, jangankan mentransfer  TK ke EK, pengetahuan yang eksplisit saja masih belum banyak yang tergarap. Misalnya, kita masih belum banyak tentang tahu seluk-beluk korban korupsi.

Kedua, lembaga yang fokus mengambangkan gerakan anti korupsi harus   membangun departemen atau divisi yang merancang bangun  program pengembangan  manajemen pengetahuan, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, mengelola pengetahuan dan pengalaman sendiri dalam mengembangkan gerakan anti korupsi. Secara eksternal, mengelola pengetahuan gerakan anti korupsi yang terjadi di luar dan dilakukan lembaga lain.

Kebutuhan ini urgensinya makin terasa bagi lembaga yang tingkat keluar-masuk aktivisnya tinggi. Tingginya aktivis keluar-masuk dalam satu lembaga advokasi anti korupsi menyulitkan  proses akumulasi pengetahuan dan pengalaman.  Beberapa lembaga yang sudah menyadari pentingnya hal ini  kiranya perlu merevitalisasi dan mengaksentuasi peran dan fungsi departemen manajemen pengetahuan.

Ketiga, reorientasi nilai dalam berkegiatan (aktivisme). Aktivisme kita mengikuti logika: dana  mengikuti kegiatan (money follow activities) atau kegiatan mengikuti dana? Kalau masih mengikuti logika kegiatan mengikuti dana, kita tidak akan bisa mengembangkan manajemen pengetahuan dengan baik. Karena, sejauh ini dukungan dari lembaga dana untuk pengembangan manajemen pengetahuan masih minim. Oleh karena itu, kita harus hijrah pada logika dana mengikuti kegiatan.   Sepanjang gagasan dan inisiatif kita cemerlang dan inovatif dalam mengembangkan manajemen pengetahuan, dalam situasi sepaceklik apa pun, dana hibah dan berbagai macam dukungan itu biasanya  bisa diperoleh. Tak sulit mengubah tiga keadaan itu, tinggal kemauan saja yang kuat. Ada kemauan, pasti ada jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar