Kamis, 23 Oktober 2014

Politik Kesehatan untuk Indonesia Sehat

Politik Kesehatan untuk Indonesia Sehat

Zainal Alim  ;  Dosen Kebidanan/Keperawatan Politeknik Kesehatan (Poltekes)
RS dr Soepraoen, Malang, Jawa Timur
KOMPAS, 22 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


SAAT memberikan kuliah kepada mahasiswa kebidanan semester akhir tentang kesehatan komunitas, saya ditanya tentang Undang-Undang Keperawatan yang baru disahkan DPR pada 25 September lalu. Sebagai dosen, saya mengikuti proses legislasi yang membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun itu sejak saya masih menjadi mahasiswa kedokteran. Sebagai dokter, saya mensyukuri lahirnya UU Keperawatan tersebut karena mitra kerja saya adalah perawat/bidan dan bahwa merekalah yang sesungguhnya 24 jam tanpa henti bersentuhan dengan pasien.

Lahirnya UU Keperawatan diharapkan dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi profesi perawat dalam melaksanakan tugasnya, perlindungan bagi pasien dan masyarakat dari tindakan keperawatan dan peningkatan mutu profesi melalui sistem pembinaan, pengawasan dan pendidikan keperawatan terutama terkait era persaingan bebas global.
Saya jadi teringat beberapa tahun silam di pedalaman Kalimantan, seorang perawat ditangkap polisi karena praktik asuhan medis dalam keadaan darurat. Hal serupa terjadi di Situbondo dan Kebumen.

Beberapa tahun terakhir, DPR telah melahirkan UU bidang kesehatan sebagai bentuk dukungan politik bagi dunia kesehatan kita. Sebut saja UU Kesehatan, UU Praktik Kedokteran, UU Sistem Jaminan Kesehatan Nasional, dan UU Pendidikan Kedokteran. Permenkes 1464/2010 mengatur praktik kebidanan di samping Permenkes 17/2013 untuk Praktik Keperawatan.

Saya menilai dukungan politik dan kebijakan kesehatan ini sejatinya untuk menaikkan derajat kesehatan masyarakat dan percepatan pencapaian program kesehatan pemerintah agar pasien terlayani dengan baik dan terpadu oleh dokter, perawat, bidan, apoteker, dan tenaga kesehatan lainnya.

Secara nasional pencapaian tujuan itu harus terlihat pada peningkatan indeks kualitas hidup, turunnya angka kematian bayi dan ibu, terkendalinya laju pertumbuhan penduduk, menurunnya angka kesakitan, tercapainya kesehatan jiwa individu dan masyarakat, serta jaminan nasional terhadap pengobatan seluruh penduduk Indonesia.

Hingga saat ini parameter keberhasilan program kesehatan nasional belum menggembirakan, seperti angka kematian ibu dan bayi masih sangat tinggi, bahkan di atas Vietnam.

Kemandirian profesi

Mahasiswa saya calon bidan menanyakan apakah perawat dibolehkan praktik seperti bidan atau dokter?

Filosofi keperawatan lahir dari prinsip be caring yang mempelajari respons manusia terhadap sehat dan sakit dan berupaya memenuhi kebutuhan dasar pasien. Ini berbeda dengan kedokteran yang berprinsipcure atau pengobatan.
Contoh sederhana adalah pasien dengan keluhan batuk lama dan sesak. Dokter menegakkan diagnosis sebagai KP/TBC dan dokter memberi tindakan.

Perawat menegakkan diagnosis keperawatan berupa respons gangguan pernapasan pada klien dan mengintervensi dengan asuhan/tindakan keperawatan, seperti melaksanakan terapi medis dari dokter dengan memberi obat, memasang infus, menyuntik (melalui pelimpahan wewenang dokter secara tertulis) di rumah sakit, mengajari pasien mengatasi sesak dengan mengatur posisi, relaksasi, membuang ludah, termasuk kunjungan rumah untuk observasi dan evaluasi kepatuhan minum obat. Inilah contoh keperawatan mandiri (home care).

UU Keperawatan mengatur bahwa praktik mandiri perawat adalah praktik keperawatan mencakup asuhan keperawatan, promotif, preventif, pemulihan dan pemberdayaan, serta memberikan obat bebas dan obat bebas terbatas berlogo biru dan hijau.

Perawat dibolehkan secara mandiri menangani kasus ringan yang ditemukan sehari-hari berdasarkan gejala yang terlihat, seperti sakit kepala, batuk pilek, diare, kembung, demam, dan sakit gigi. Perawat juga dapat melaksanakan tindakan medis dokter secara delegatif, seperti menyuntik, memasang infus, memberikan imunisasi dasar, menjahit, dan merawat luka.

Untuk kepentingan gawat darurat dan terpencil, perawat dapat melakukan di luar kewenangannya demi keselamatan pasien dengan memperhatikan konsultasi hierarki klinis dan proporsi kehadiran tenaga kesehatan lainnya.

Saya mengingatkan calon bidan mahasiswa tadi bahwa mereka pun melakukan diagnosis dan asuhan kebidanan dengan kewenangan khusus dari pemerintah, tetapi terbatas pada pemeriksaan dan pertolongan persalinan normal, KB terbatas, dan imunisasi dasar.

Seorang bidan, misalnya, boleh melakukan pertolongan mandiri untuk persalinan normal dan penjahitan luka vagina akibat persalinan hanya sebatas otot perineum.

Hierarki kompetensi

Sesungguhnya boleh tidaknya diagnosis dan tindakan dilakukan, ditentukan oleh apa yang telah diajarkan, dilatihkan, dan diujikan selama mereka dididik menjadi dokter. Perawat/bidan dan apoteker tidak bisa muncul secara mendadak karena produk hukum.

Hierarki kompetensi dan konsultasi klinis harus dibiasakan agar masyarakat terlindungi dan mendapatkan pelayanan terbaik, profesional, dan kompeten.
Tanpa dukungan politik, kebijakan, dan anggaran, tenaga kesehatan sebanyak apa pun tidak akan mampu mengangkat derajat kesehatan kita semua. Kesehatan hanya akan menjadi obyek dari politisasi pragmatis dan kehilangan tujuan kemanusiaannya.

Semoga politik kesehatan kita dapat meningkatkan profesionalitas, etik, kejujuran terhadap kompetensi, sinergi, dan kemitraan sejajar semua tenaga kesehatan untuk Indonesia sehat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar