Politik
Kesehatan untuk Indonesia Sehat
Zainal Alim ; Dosen
Kebidanan/Keperawatan Politeknik Kesehatan (Poltekes)
RS dr Soepraoen, Malang, Jawa Timur
|
KOMPAS,
22 Oktober 2014
SAAT
memberikan kuliah kepada mahasiswa kebidanan semester akhir tentang kesehatan
komunitas, saya ditanya tentang Undang-Undang Keperawatan yang baru disahkan
DPR pada 25 September lalu. Sebagai dosen, saya mengikuti proses legislasi
yang membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun itu sejak saya masih menjadi
mahasiswa kedokteran. Sebagai dokter, saya mensyukuri lahirnya UU Keperawatan
tersebut karena mitra kerja saya adalah perawat/bidan dan bahwa merekalah
yang sesungguhnya 24 jam tanpa henti bersentuhan dengan pasien.
Lahirnya
UU Keperawatan diharapkan dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum
bagi profesi perawat dalam melaksanakan tugasnya, perlindungan bagi pasien
dan masyarakat dari tindakan keperawatan dan peningkatan mutu profesi melalui
sistem pembinaan, pengawasan dan pendidikan keperawatan terutama terkait era
persaingan bebas global.
Saya
jadi teringat beberapa tahun silam di pedalaman Kalimantan, seorang perawat
ditangkap polisi karena praktik asuhan medis dalam keadaan darurat. Hal
serupa terjadi di Situbondo dan Kebumen.
Beberapa
tahun terakhir, DPR telah melahirkan UU bidang kesehatan sebagai bentuk
dukungan politik bagi dunia kesehatan kita. Sebut saja UU Kesehatan, UU
Praktik Kedokteran, UU Sistem Jaminan Kesehatan Nasional, dan UU Pendidikan
Kedokteran. Permenkes 1464/2010 mengatur praktik kebidanan di samping
Permenkes 17/2013 untuk Praktik Keperawatan.
Saya
menilai dukungan politik dan kebijakan kesehatan ini sejatinya untuk
menaikkan derajat kesehatan masyarakat dan percepatan pencapaian program
kesehatan pemerintah agar pasien terlayani dengan baik dan terpadu oleh
dokter, perawat, bidan, apoteker, dan tenaga kesehatan lainnya.
Secara
nasional pencapaian tujuan itu harus terlihat pada peningkatan indeks
kualitas hidup, turunnya angka kematian bayi dan ibu, terkendalinya laju
pertumbuhan penduduk, menurunnya angka kesakitan, tercapainya kesehatan jiwa
individu dan masyarakat, serta jaminan nasional terhadap pengobatan seluruh
penduduk Indonesia.
Hingga
saat ini parameter keberhasilan program kesehatan nasional belum
menggembirakan, seperti angka kematian ibu dan bayi masih sangat tinggi,
bahkan di atas Vietnam.
Kemandirian profesi
Mahasiswa
saya calon bidan menanyakan apakah perawat dibolehkan praktik seperti bidan
atau dokter?
Filosofi
keperawatan lahir dari prinsip be caring yang mempelajari respons manusia
terhadap sehat dan sakit dan berupaya memenuhi kebutuhan dasar pasien. Ini
berbeda dengan kedokteran yang berprinsipcure atau pengobatan.
Contoh
sederhana adalah pasien dengan keluhan batuk lama dan sesak. Dokter
menegakkan diagnosis sebagai KP/TBC dan dokter memberi tindakan.
Perawat
menegakkan diagnosis keperawatan berupa respons gangguan pernapasan pada
klien dan mengintervensi dengan asuhan/tindakan keperawatan, seperti
melaksanakan terapi medis dari dokter dengan memberi obat, memasang infus,
menyuntik (melalui pelimpahan wewenang dokter secara tertulis) di rumah
sakit, mengajari pasien mengatasi sesak dengan mengatur posisi, relaksasi,
membuang ludah, termasuk kunjungan rumah untuk observasi dan evaluasi
kepatuhan minum obat. Inilah contoh keperawatan mandiri (home care).
UU
Keperawatan mengatur bahwa praktik mandiri perawat adalah praktik keperawatan
mencakup asuhan keperawatan, promotif, preventif, pemulihan dan pemberdayaan,
serta memberikan obat bebas dan obat bebas terbatas berlogo biru dan hijau.
Perawat
dibolehkan secara mandiri menangani kasus ringan yang ditemukan sehari-hari
berdasarkan gejala yang terlihat, seperti sakit kepala, batuk pilek, diare,
kembung, demam, dan sakit gigi. Perawat juga dapat melaksanakan tindakan
medis dokter secara delegatif, seperti menyuntik, memasang infus, memberikan
imunisasi dasar, menjahit, dan merawat luka.
Untuk
kepentingan gawat darurat dan terpencil, perawat dapat melakukan di luar kewenangannya
demi keselamatan pasien dengan memperhatikan konsultasi hierarki klinis dan
proporsi kehadiran tenaga kesehatan lainnya.
Saya
mengingatkan calon bidan mahasiswa tadi bahwa mereka pun melakukan diagnosis
dan asuhan kebidanan dengan kewenangan khusus dari pemerintah, tetapi
terbatas pada pemeriksaan dan pertolongan persalinan normal, KB terbatas, dan
imunisasi dasar.
Seorang
bidan, misalnya, boleh melakukan pertolongan mandiri untuk persalinan normal
dan penjahitan luka vagina akibat persalinan hanya sebatas otot perineum.
Hierarki kompetensi
Sesungguhnya
boleh tidaknya diagnosis dan tindakan dilakukan, ditentukan oleh apa yang
telah diajarkan, dilatihkan, dan diujikan selama mereka dididik menjadi
dokter. Perawat/bidan dan apoteker tidak bisa muncul secara mendadak karena
produk hukum.
Hierarki
kompetensi dan konsultasi klinis harus dibiasakan agar masyarakat terlindungi
dan mendapatkan pelayanan terbaik, profesional, dan kompeten.
Tanpa
dukungan politik, kebijakan, dan anggaran, tenaga kesehatan sebanyak apa pun
tidak akan mampu mengangkat derajat kesehatan kita semua. Kesehatan hanya
akan menjadi obyek dari politisasi pragmatis dan kehilangan tujuan
kemanusiaannya.
Semoga
politik kesehatan kita dapat meningkatkan profesionalitas, etik, kejujuran
terhadap kompetensi, sinergi, dan kemitraan sejajar semua tenaga kesehatan
untuk Indonesia sehat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar