Jumat, 24 Oktober 2014

Harapan Baru Ekonomi

Harapan Baru Ekonomi

Nugroho SBM  ;  Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB)
Universitas Diponegoro (Undip)
SUARA MERDEKA, 22 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


HARAPAN baru ekonomi Indonesia yang lebih baik terus bertumbuh setelah Jokowi-JK dilantik sebagai presiden-wakil presiden, pada Senin (20/10). Terlebih setelah sebelumnya Jokowi bertemu Prabowo Subianto, yang juga hadir dalam pelantikan Jokowi.

Sampul Time edisi Senin, 27 Oktober 2014 pun menampilkan foto Jokowi dengan teks New Hope (Harapan Baru). Meskipun titik berat liputan majalah itu demokrasi politik, pasti ada ulasan aspek ekonomi mengingat keterkaitan erat dua aspek itu.

Hari-hari menjelang pelantikan dan berlanjut sesudahnya, pasar keuangan dan pasar modal menyambut positif kepemimpinan baru itu. Indeks harga saham gabungan (IHSG) yang sebelumnya melemah hingga ke di bawah 5.000, kembali menguat ke tingkat 5.000 ke atas.

Demikian pula rupiah yang melemah Rp 12.000 lebih per dolar AS, kembali menguat menjadi kurang dari Rp 12.000. Optimisme pasar disebabkan adanya rekonsiliasi antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Jokowi sebelum dilantik berprakarsa menemui tokoh KMP antara lain pimpinan DPR dan MPR, pimpinan Golkar dan PPP, dan terakhir Prabowo. Selain itu, rekam jejak kepemimpinan Jokowi selama jadi wali kota Solo dan gubernur DKI Jakarta diharapkan diterapkan setelah jadi presiden.

Sementara

Namun jangan lupa kemembaikan indikator di pasar uang dan pasar modal bersifat sementara. Banyak masalah fundamental ekonomi yang harus dibenahi supaya ekspektasi publik bisa menjadi kenyataan. Pertama; sesuai janjinya saat pidato pelantikan Jokowi ingin kembali menghidupkan sektor kelautan atau kemaritiman sebagai potensi ekonomi yang dilupakan.

Kemudian, meningkatkan transportasi laut dengan membangun tol laut, menggali potensi perikanan yang selama ini banyak dicuri nelayan asing, dan mengeksplorasi potensi wisata laut.

Kedua; membenahi iklim investasi, khususnya investasi asing, yang lebih besar dibanding investasi domestik. Selama ini, dana asing yang masuk ke Indonesia lebih banyak berupa investasi tidak langsung (portofolio) dalam bentuk saham, obligasi, dan surat berharga lain ketimbang investasi langsung (penanaman modal asing atau PMA).

Besarnya investasi portofolio bukanlah hal positif karena dana itu bersifat jangka pendek dan sangat mobile. Ada sedikit saja guncangan semisal kegaduhan politik atau gangguan keamanan maka dana investasi portofolio menguap. Hal itu berbeda dari dana PMA yang lebih permanen dan berjangka panjang.

Hingga 13 Oktober 2014 dana asing yang ditempatkan di Surat Utang Negara (SUN) Rp 444,4 triliun, sedangkan PMARp 228,5 triliun. Banyak kendala mengapa investasi langsung tidak tumbuh dengan baik. Salah satu hal yang paling dikeluhkan adalah buruknya infrastruktur.

Menurut Bank Dunia dan IMF, dana untuk pembangunan infrastruktur di suatu negara idealnya 5% dari PDB. PDB Indonesia 2013 adalah Rp 9.084 triliun sehingga idealnya dana untuk infrastruktur Rp 454,2 triliun.

Kenyataannya, anggaran infrastruktur dalam APBN 2015 hanya Rp 169 triliun, lebih kecil dibanding APBN 2014 sebesar Rp 206 triliun. Jika dihitung dari PDB Indonesia maka dana itu hanya 1,86%.

Kecilnya dana pembangunan untuk infrastruktur di Indonesia disebabkan besarnya pengeluaran yang bersifat wajib dan kesalahan alokasi untuk pengeluaran tidak produktif semisal gaji pegawai, dan terlebih subsidi BBM. Agar dana untuk infrastruktur bisa lebih besar lagi, Jokowi-JK harus berani mengurangi subsidi BBM dan merealokasi anggaran.

Ketiga; selama ini BI terjebak kebijakan antisipatif dalam merespons langkah The Fed yang dianggapnya akan mengurangi stimulusnya. Pengurangan stimulus itu dikhawatirkan membuat sejumlah pemilik dana dalam dolar AS menarik dolarnya dari Indonesia sehingga nilai tukar dolar AS terhadap rupiah menguat atau dengan kata lain rupiah melemah terhadap dolar, dengan segala dampak negatifnya.

Risiko Investasi

Hal ini membuat BI mempertahankan BI rate di tingkat tinggi, yaitu 7,5% yang mengakibatkan suku bunga kredit dan surat utang negara pun menjadi sangat tinggi.

Akibat berikutnya, pemilik dana lebih suka menempatkan dananya pada SUN yang bebas risiko dan berimbalan tinggi ketimbang berinvestasi langsung yang berisiko tinggi. Orang tidak tertarik berinvestasi karena tingginya suku bunga pinjaman dan risiko investasi itu sendiri.

Padahal BI belum perlu melakukan hal itu mengingat dalam waktu dekat Bank Sentral AS tidak bakal berani menarik stimulus dan menaikkan suku bunga. Memang angka penganguran di AS —salah satu indikator utama kemembaikan ekonomi— saat ini menurun.

Namun penurunan itu masih menunjukkan tingkat pengangguran tinggi, yang saat ini 5,9%. Untuk itu, Jokowi perlu melobi BI supaya segera menurunkan BI rate. Keempat; Jokowi harus mendekatkan program-programnya supaya bisa mengatasi problem di lapangan.

Ia perlu terus melanjutkan gaya blusukan supaya bisa menghasilkan program konkret. Para menteri harus mengikuti kebiasaannya itu supaya semua kebijakan kementerian menyentuh persoalan nyata di masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar