Harapan
Baru Ekonomi
Nugroho SBM ; Dosen
Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB)
Universitas Diponegoro (Undip)
|
SUARA
MERDEKA, 22 Oktober 2014
HARAPAN baru ekonomi Indonesia yang lebih baik terus bertumbuh setelah
Jokowi-JK dilantik sebagai presiden-wakil presiden, pada Senin (20/10).
Terlebih setelah sebelumnya Jokowi bertemu Prabowo Subianto, yang juga hadir
dalam pelantikan Jokowi.
Sampul Time edisi Senin, 27 Oktober 2014 pun menampilkan foto Jokowi
dengan teks New Hope (Harapan
Baru). Meskipun titik berat liputan majalah itu demokrasi politik, pasti ada
ulasan aspek ekonomi mengingat keterkaitan erat dua aspek itu.
Hari-hari menjelang pelantikan dan berlanjut sesudahnya, pasar keuangan
dan pasar modal menyambut positif kepemimpinan baru itu. Indeks harga saham
gabungan (IHSG) yang sebelumnya melemah hingga ke di bawah 5.000, kembali
menguat ke tingkat 5.000 ke atas.
Demikian pula rupiah yang melemah Rp 12.000 lebih per dolar AS, kembali
menguat menjadi kurang dari Rp 12.000. Optimisme pasar disebabkan adanya
rekonsiliasi antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat
(KIH).
Jokowi sebelum dilantik berprakarsa menemui tokoh KMP antara lain
pimpinan DPR dan MPR, pimpinan Golkar dan PPP, dan terakhir Prabowo. Selain
itu, rekam jejak kepemimpinan Jokowi selama jadi wali kota Solo dan gubernur
DKI Jakarta diharapkan diterapkan setelah jadi presiden.
Sementara
Namun jangan lupa kemembaikan indikator di pasar uang dan pasar modal
bersifat sementara. Banyak masalah fundamental ekonomi yang harus dibenahi
supaya ekspektasi publik bisa menjadi kenyataan. Pertama; sesuai janjinya
saat pidato pelantikan Jokowi ingin kembali menghidupkan sektor kelautan atau
kemaritiman sebagai potensi ekonomi yang dilupakan.
Kemudian, meningkatkan transportasi laut dengan membangun tol laut,
menggali potensi perikanan yang selama ini banyak dicuri nelayan asing, dan
mengeksplorasi potensi wisata laut.
Kedua; membenahi iklim investasi, khususnya investasi asing, yang lebih
besar dibanding investasi domestik. Selama ini, dana asing yang masuk ke
Indonesia lebih banyak berupa investasi tidak langsung (portofolio) dalam
bentuk saham, obligasi, dan surat berharga lain ketimbang investasi langsung
(penanaman modal asing atau PMA).
Besarnya investasi portofolio bukanlah hal positif karena dana itu
bersifat jangka pendek dan sangat mobile. Ada sedikit saja guncangan semisal
kegaduhan politik atau gangguan keamanan maka dana investasi portofolio
menguap. Hal itu berbeda dari dana PMA yang lebih permanen dan berjangka
panjang.
Hingga 13 Oktober 2014 dana asing yang ditempatkan di Surat Utang
Negara (SUN) Rp 444,4 triliun, sedangkan PMARp 228,5 triliun. Banyak kendala
mengapa investasi langsung tidak tumbuh dengan baik. Salah satu hal yang
paling dikeluhkan adalah buruknya infrastruktur.
Menurut Bank Dunia dan IMF, dana untuk pembangunan infrastruktur di
suatu negara idealnya 5% dari PDB. PDB Indonesia 2013 adalah Rp 9.084 triliun
sehingga idealnya dana untuk infrastruktur Rp 454,2 triliun.
Kenyataannya, anggaran infrastruktur dalam APBN 2015 hanya Rp 169
triliun, lebih kecil dibanding APBN 2014 sebesar Rp 206 triliun. Jika
dihitung dari PDB Indonesia maka dana itu hanya 1,86%.
Kecilnya dana pembangunan untuk infrastruktur di Indonesia disebabkan
besarnya pengeluaran yang bersifat wajib dan kesalahan alokasi untuk
pengeluaran tidak produktif semisal gaji pegawai, dan terlebih subsidi BBM.
Agar dana untuk infrastruktur bisa lebih besar lagi, Jokowi-JK harus berani
mengurangi subsidi BBM dan merealokasi anggaran.
Ketiga; selama ini BI terjebak kebijakan antisipatif dalam merespons
langkah The Fed yang dianggapnya akan mengurangi stimulusnya. Pengurangan
stimulus itu dikhawatirkan membuat sejumlah pemilik dana dalam dolar AS
menarik dolarnya dari Indonesia sehingga nilai tukar dolar AS terhadap rupiah
menguat atau dengan kata lain rupiah melemah terhadap dolar, dengan segala
dampak negatifnya.
Risiko
Investasi
Hal ini membuat BI mempertahankan BI rate di tingkat tinggi, yaitu 7,5%
yang mengakibatkan suku bunga kredit dan surat utang negara pun menjadi
sangat tinggi.
Akibat berikutnya, pemilik dana lebih suka menempatkan dananya pada SUN
yang bebas risiko dan berimbalan tinggi ketimbang berinvestasi langsung yang
berisiko tinggi. Orang tidak tertarik berinvestasi karena tingginya suku
bunga pinjaman dan risiko investasi itu sendiri.
Padahal BI belum perlu melakukan hal itu mengingat dalam waktu dekat
Bank Sentral AS tidak bakal berani menarik stimulus dan menaikkan suku bunga.
Memang angka penganguran di AS —salah satu indikator utama kemembaikan
ekonomi— saat ini menurun.
Namun penurunan itu masih menunjukkan tingkat pengangguran tinggi, yang
saat ini 5,9%. Untuk itu, Jokowi perlu melobi BI supaya segera menurunkan BI
rate. Keempat; Jokowi harus mendekatkan program-programnya supaya bisa
mengatasi problem di lapangan.
Ia perlu terus melanjutkan gaya blusukan supaya bisa menghasilkan
program konkret. Para menteri harus mengikuti kebiasaannya itu supaya semua
kebijakan kementerian menyentuh persoalan nyata di masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar