Pembangunan
Nasional
Daoed Joesoef ; Alumnus
Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
|
KOMPAS,
24 Oktober 2014
BENAR,
kita harus berkomitmen untuk membangun Indonesia, tetapi tidak seperti yang
dikonsepkan oleh Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia. Kita perlu melaksanakan ”pembangunan nasional” dan ini tidak
identik dengan ”pembangunan ekonomi”.
Pembangunan
nasional adalah pembangunan di Indonesia dan untuk Indonesia, bukan di negeri
antah-berantah. Setelah kita reduksi pembangunan nasional menjadi pembangunan
ekonomi, dianggap logis apabila pemandu konsep yang dianggap relevan adalah
ekonomika dengan ukuran keberhasilannya yang khas, yaitu (kenaikan) produk
nasional bruto. Hasilnya? Berbarengan dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata
6-7 persen per tahun terdapat tidak kurang dari 11,25 persen warga negara
mengeluh karena masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Penalaran
ekonomika tadi berdasarkan ide homo
economicus. yang berarti roda ekonomi digerakkan oleh egoisme dan
hitung-hitungan bersendikan preferensi pribadi melulu. Sementara jumlah suku,
komunitas adat, dan daerah yang menggerutu terus bertambah. Bahkan ada yang
melampiaskan ketidakpuasan mereka tentang jalannya pembangunan ekonomi dengan
tekad memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ”bendera
kebangsaan” sendiri. Itu berarti, di samping kegagalan pembangunan, ada
tanda-tanda kegagalan berbangsa dan kegagalan berdemokrasi.
Faktor kegagalan
Kita
cenderung gegampang mencari faktor tunggal yang menjelaskan kegagalan.
Padahal, bagi kasus-kasus sepenting pembangunan itu, kita dituntut
mengelakkan banyak sebab terpisah-pisah yang memungkinkan kegagalan. Berarti,
faktor kegagalan dalam pembangunan bukan universal seperti yang diuraikan
oleh pikiran teoretis, melainkan unik bagi setiap bangsa yang gagal
melaksanakannya.
Bagi
Indonesia, faktor tersebut adalah, pertama, melupakan Pancasila setelah kita
reduksi pembangunan nasional menjadi pembangunan ekonomi. Dengan mengabaikan
”Ketuhanan Yang Maha Esa”, ekonomi dan ekonomika berkembang menjadi usaha
mencari keuntungan sendiri.
Adapun
ketuhanan, menurut versi agama apa pun, berlawanan dengan pandangan egois
itu. Bahkan Adam Smith sendiri, Bapak Ekonomika Modern yang juga filosof,
mengartikan ekonomi sebagai kerja kolektif yang seharusnya menyumbang
kemakmuran orang lain, jadi sejalan dengan amanat sila kedua dan kelima
Pancasila.
Faktor
unik kegagalan kedua, terkait erat dengan kegagalan yang pertama, adalah
penetapan ekonomika sebagai ilmu pengetahuan yang terutama dipercaya untuk
memandu logika pembangunan.
Ekonomika
bertujuan utama menaikkan plus-value of
things (to have more), bukan plus-value of man (to be more) dari amanat Pancasila.
Secara eksplisit, ekonomika konsen dengan soal how the market behaves, bukan now
man behaves.
Faktor
ketiga, kita melupakan peristiwa khas yang menempa natur yang unik dari
Indonesia, yaitu revolusi yang tidak sama dengan revolusi Amerika. Revolusi
ini digerakkan oleh orang-orang yang telah meninggalkan Benua Eropa demi
perbaikan hidup yang mereka yakin tidak mungkin diperoleh di kampung
kelahiran aslinya, yang mereka sebut benua lama. Maka, kalau mereka kecewa
tentang pembangunan kehidupan di Amerika, benua baru, mereka tidak berhasrat
meninggalkannya, tetapi tinggal di situ dan bekerja lebih keras lagi untuk
mewujudkan their American dreams.
Indonesia
lain. Sebelum ia lahir selaku negara-bangsa, melalui proklamasi kemerdekaan,
tidak ada satu pun dari kelompok etnis/daerah yang membentuk Indonesia, yang
ramai-ramai berdiaspora pergi meninggalkan Nusantara. Sambil bekerja dan
hidup seperti biasa, mereka tinggal membanding-bandingkan apakah memang
menjadi lebih bahagia/sejahtera setelah menyatu dengan NKRI ketimbang
sebelumnya, tempo doeloe. Jika tidak, karena kecewa, mereka kembali ke
kehidupan suku di kampung kelahirannya masing-masing dan berusaha keluar dari
NKRI. Risiko ekstrem seperti ini tidak dikenal oleh Negara-Bangsa Amerika.
Faktor
keempat adalah ”impian pembangunan” dari warga, baik sebagai individu maupun
kelompok (suku/kedaerahan). Rakyat Indonesia ini rata-rata hidup dalam
suasana revolution of rising
expectations. Yang meningkatkan ekspektasi ini bukanlah rakyat itu sendiri,
melainkan orang-orang (politikus) yang berprestasi menjadi pemimpin mereka.
Rakyat mula-mula dijanjikan kebebasan sipil dalam kecerdasan yang terus
meningkat, lalu menjadi lebih sejahtera, kemudian berotonomi, akhirnya lebih
demokratis dalam memilih pemimpin. Setelah satu janji tak terpenuhi, para
pemimpin melontarkan harapan baru sebagai ”hiburan”.
Faktor
unik kegagalan kelima adalah pembangunan ala ekonomi melupakan begitu saja
natur bumi Indonesia, yaitu arsipelago, bukan ”negara kepulauan”, pulau-pulau
yang dipisah-pisahkan oleh air (lautan), melainkan air luas di mana
bertebaran pulau-pulau besar dan kecil. Indonesia adalah negara maritim,
bukan negara kontinental. Sistem pembangunan dan pola pelaksanaannya harus
relevan dengan fakta alami itu dan bukan hard facts itu yang harus dipelintir
hingga sesuai dengan penalaran ekonomika yang katanya universal padahal
kontinental.
Eksistensi negara-bangsa
Demikianlah,
kita harus melaksanakan pembangunan nasional karena yang dipertaruhkan adalah
eksistensi negara-bangsa, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi. Ekonomi memang
perlu dibangun, tetapi merupakan bagian dari pembangunan nasional, bukan
sebaliknya. Ucapan pembangunan guna ”mengisi” kemerdekaan sering mengelirukan
imaji, seolah-olah kemerdekaan ini sudah berupa wadah yang kukuh tetapi
kosong. Padahal kekukuhan kemerdekaan ini justru sangat bergantung pada
kinerja pembangunan nasional. Ia rawan bukan karena kosong melainkan karena
masih rapuh, bentuknya saja masih jauh daripada ideal.
Penalaran
ekonomi harus tunduk pada logika kebangsaan. Dua raksasa Asia yang kini
disanjung kemajuannya—India dan Tiongkok—adalah yang dulu justru menolak
mentah-mentah diktum pembangunan ekonomi yang didesakkan oleh Bank Dunia dan
IMF. Para teknokrat Indonesia manut saja bagai kerbau dicocok hidung.
Pembangunan nasional dilakukan dengan pendekatan budaya karena ia berurusan
dengan manusia. Sejauh budaya adalah ”sistem nilai yang dihayati”, maka
manusia adalah makhluk yang membuat ”ada” nilai ini dan sekaligus memberi ”makna”
pada nilai yang bersangkutan.
Berhubung
berurusan dengan manusia, pembangunan dibuat membumi, dinyatakan dalam term
”ruang sosial”. Ini adalah suatu ruang hidup yang konkret dan dinyatakan
dalam konteks pembangunan. Tergantung dari skala proyek pembangunan penduduk
setempat, ruang ini dapat berupa banjar, subak, desa, kecamatan, kota, pulau,
dan wilayah adat.
Setiap
proyek pembangunan, dari mana pun asal atau prakarsanya, diputuskan oleh
rakyat setempat melalui musyawarah demi mufakat. Mereka diakui merupakan
pemangku kepentingan (stakeholders)
dari pembangunan di ruang sosialnya dan diperlakukan sebagai manusia
bermartabat (diwongke). Dalam
bermusyawarah, mereka tidak boleh diwakili, kecuali dengan alasan-alasan
tertentu yang wajar (sakit berat, sudah uzur, dan lain-lain). Maka tempat
bermusyawarah—balai desa, balai adat, dan sebagainya—merupakan agora pada
zaman Yunani Purba, di mana demokrasi masih bisa langsung, setiap warga
mewakili dirinya sendiri.
Tidak
boleh ada lagi proyek yang memang hadir secara fisik di suatu lingkungan
hidup tertentu, tetapi tidak akrab dengan masalah khas dari komunitas yang
bersangkutan. Rakyat (penduduk) setempat hanya dijadikan ”penonton pasif”,
bukan ”partisipan aktif” dalam proses pembangunan. Melalui proses pembangunan
nasional seperti ini, ada peluang yang memungkinkan timbul dan berkembang
secara simultan dan sinkron, saling mengisi: ya demokrasi politik, demokrasi
ekonomi, demokrasi sosial, dan demokrasi kultural. Dengan kata lain, di situ
ada demokrasi langsung dan kontinu di tengah-tengah demokrasi modern yang
tidak lagi langsung.
Dalam
rangka pembangunan nasional ini, wilayah adat yang selama ini diabaikan
begitu saja perlu dan dapat direstitusi hak wilayah adatnya. Wilayah ini
telah ada dalam kenyataan sejarah mendahului organisasi kekuasaan teritorial
yang disebut ”negara nasional” dan ”negara kolonial” (Noer Fauzi Rachman, Kompas, 1/9). Hukum dari masyarakat adat ini
dikualifikasi oleh Prof Van Vollenhoven sebagai Adatrecht.
Hukum
adat ini, bukti dari kejeniusan lokal nenek moyang, bukan mengacu pada jus
civile, hukum sipil yang khas bagi setiap negara dan hanya berlaku bagi
warganya, tetapi pada jus naturale, yang menggambarkan aturan yang selalu
adil dan benar, yang mengingatkan warga komunitas bahwa suatu perbuatan
adalah jujur secara moral sejauh keserasian atau ketidakserasiannya berasas
penalaran yang benar, sepadan dengan natur dari kewajaran dan dari kehidupan
bersama.
Konsekuensi
dari pelaksanaan pembangunan nasional adalah keberadaan, dalam komposisi
kabinet mendatang, seorang menteri yang bertugas menyusun rencananya bersama
staf teknis Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Jadi,
pemerintah jangan berdusta lagi. Menteri ini ditetapkan juga sekaligus selaku
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Nasional sebagai pengganti Menko
Bidang Perekonomian yang tidak perlu ada lagi.
Kemudian,
lembaga pendidikan tinggi yang sudah biasa membelajarkan ekonomi pembangunan
memberikan pula secara paralel kuliah-seminar tentang pembangunan nasional
berdasarkan data yang diperoleh dari risetnya sendiri.
Tekad
melaksanakan pembangunan nasional ini kiranya merupakan bukti bahwa di
kalangan pemerintah sudah ada ”revolusi mental”, ide bagus yang dilontarkan
oleh Presiden Joko Widodo sewaktu berkampanye presidensial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar