Sabtu, 25 Oktober 2014

Pembangunan Nasional

Pembangunan Nasional

Daoed Joesoef  ;  Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
KOMPAS, 24 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


BENAR, kita harus berkomitmen untuk membangun Indonesia, tetapi tidak seperti yang dikonsepkan oleh Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Kita perlu melaksanakan ”pembangunan nasional” dan ini tidak identik dengan ”pembangunan ekonomi”.

Pembangunan nasional adalah pembangunan di Indonesia dan untuk Indonesia, bukan di negeri antah-berantah. Setelah kita reduksi pembangunan nasional menjadi pembangunan ekonomi, dianggap logis apabila pemandu konsep yang dianggap relevan adalah ekonomika dengan ukuran keberhasilannya yang khas, yaitu (kenaikan) produk nasional bruto. Hasilnya? Berbarengan dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6-7 persen per tahun terdapat tidak kurang dari 11,25 persen warga negara mengeluh karena masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Penalaran ekonomika tadi berdasarkan ide homo economicus. yang berarti roda ekonomi digerakkan oleh egoisme dan hitung-hitungan bersendikan preferensi pribadi melulu. Sementara jumlah suku, komunitas adat, dan daerah yang menggerutu terus bertambah. Bahkan ada yang melampiaskan ketidakpuasan mereka tentang jalannya pembangunan ekonomi dengan tekad memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ”bendera kebangsaan” sendiri. Itu berarti, di samping kegagalan pembangunan, ada tanda-tanda kegagalan berbangsa dan kegagalan berdemokrasi.

Faktor kegagalan

Kita cenderung gegampang mencari faktor tunggal yang menjelaskan kegagalan. Padahal, bagi kasus-kasus sepenting pembangunan itu, kita dituntut mengelakkan banyak sebab terpisah-pisah yang memungkinkan kegagalan. Berarti, faktor kegagalan dalam pembangunan bukan universal seperti yang diuraikan oleh pikiran teoretis, melainkan unik bagi setiap bangsa yang gagal melaksanakannya.

Bagi Indonesia, faktor tersebut adalah, pertama, melupakan Pancasila setelah kita reduksi pembangunan nasional menjadi pembangunan ekonomi. Dengan mengabaikan ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, ekonomi dan ekonomika berkembang menjadi usaha mencari keuntungan sendiri.

Adapun ketuhanan, menurut versi agama apa pun, berlawanan dengan pandangan egois itu. Bahkan Adam Smith sendiri, Bapak Ekonomika Modern yang juga filosof, mengartikan ekonomi sebagai kerja kolektif yang seharusnya menyumbang kemakmuran orang lain, jadi sejalan dengan amanat sila kedua dan kelima Pancasila.

Faktor unik kegagalan kedua, terkait erat dengan kegagalan yang pertama, adalah penetapan ekonomika sebagai ilmu pengetahuan yang terutama dipercaya untuk memandu logika pembangunan.

Ekonomika bertujuan utama menaikkan plus-value of things (to have more), bukan plus-value of man (to be more) dari amanat Pancasila. Secara eksplisit, ekonomika konsen dengan soal how the market behaves, bukan now man behaves.

Faktor ketiga, kita melupakan peristiwa khas yang menempa natur yang unik dari Indonesia, yaitu revolusi yang tidak sama dengan revolusi Amerika. Revolusi ini digerakkan oleh orang-orang yang telah meninggalkan Benua Eropa demi perbaikan hidup yang mereka yakin tidak mungkin diperoleh di kampung kelahiran aslinya, yang mereka sebut benua lama. Maka, kalau mereka kecewa tentang pembangunan kehidupan di Amerika, benua baru, mereka tidak berhasrat meninggalkannya, tetapi tinggal di situ dan bekerja lebih keras lagi untuk mewujudkan their American dreams.

Indonesia lain. Sebelum ia lahir selaku negara-bangsa, melalui proklamasi kemerdekaan, tidak ada satu pun dari kelompok etnis/daerah yang membentuk Indonesia, yang ramai-ramai berdiaspora pergi meninggalkan Nusantara. Sambil bekerja dan hidup seperti biasa, mereka tinggal membanding-bandingkan apakah memang menjadi lebih bahagia/sejahtera setelah menyatu dengan NKRI ketimbang sebelumnya, tempo doeloe. Jika tidak, karena kecewa, mereka kembali ke kehidupan suku di kampung kelahirannya masing-masing dan berusaha keluar dari NKRI. Risiko ekstrem seperti ini tidak dikenal oleh Negara-Bangsa Amerika.

Faktor keempat adalah ”impian pembangunan” dari warga, baik sebagai individu maupun kelompok (suku/kedaerahan). Rakyat Indonesia ini rata-rata hidup dalam suasana revolution of rising expectations. Yang meningkatkan ekspektasi ini bukanlah rakyat itu sendiri, melainkan orang-orang (politikus) yang berprestasi menjadi pemimpin mereka. Rakyat mula-mula dijanjikan kebebasan sipil dalam kecerdasan yang terus meningkat, lalu menjadi lebih sejahtera, kemudian berotonomi, akhirnya lebih demokratis dalam memilih pemimpin. Setelah satu janji tak terpenuhi, para pemimpin melontarkan harapan baru sebagai ”hiburan”.

Faktor unik kegagalan kelima adalah pembangunan ala ekonomi melupakan begitu saja natur bumi Indonesia, yaitu arsipelago, bukan ”negara kepulauan”, pulau-pulau yang dipisah-pisahkan oleh air (lautan), melainkan air luas di mana bertebaran pulau-pulau besar dan kecil. Indonesia adalah negara maritim, bukan negara kontinental. Sistem pembangunan dan pola pelaksanaannya harus relevan dengan fakta alami itu dan bukan hard facts itu yang harus dipelintir hingga sesuai dengan penalaran ekonomika yang katanya universal padahal kontinental.

Eksistensi negara-bangsa

Demikianlah, kita harus melaksanakan pembangunan nasional karena yang dipertaruhkan adalah eksistensi negara-bangsa, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi. Ekonomi memang perlu dibangun, tetapi merupakan bagian dari pembangunan nasional, bukan sebaliknya. Ucapan pembangunan guna ”mengisi” kemerdekaan sering mengelirukan imaji, seolah-olah kemerdekaan ini sudah berupa wadah yang kukuh tetapi kosong. Padahal kekukuhan kemerdekaan ini justru sangat bergantung pada kinerja pembangunan nasional. Ia rawan bukan karena kosong melainkan karena masih rapuh, bentuknya saja masih jauh daripada ideal.

Penalaran ekonomi harus tunduk pada logika kebangsaan. Dua raksasa Asia yang kini disanjung kemajuannya—India dan Tiongkok—adalah yang dulu justru menolak mentah-mentah diktum pembangunan ekonomi yang didesakkan oleh Bank Dunia dan IMF. Para teknokrat Indonesia manut saja bagai kerbau dicocok hidung. Pembangunan nasional dilakukan dengan pendekatan budaya karena ia berurusan dengan manusia. Sejauh budaya adalah ”sistem nilai yang dihayati”, maka manusia adalah makhluk yang membuat ”ada” nilai ini dan sekaligus memberi ”makna” pada nilai yang bersangkutan.

Berhubung berurusan dengan manusia, pembangunan dibuat membumi, dinyatakan dalam term ”ruang sosial”. Ini adalah suatu ruang hidup yang konkret dan dinyatakan dalam konteks pembangunan. Tergantung dari skala proyek pembangunan penduduk setempat, ruang ini dapat berupa banjar, subak, desa, kecamatan, kota, pulau, dan wilayah adat.

Setiap proyek pembangunan, dari mana pun asal atau prakarsanya, diputuskan oleh rakyat setempat melalui musyawarah demi mufakat. Mereka diakui merupakan pemangku kepentingan (stakeholders) dari pembangunan di ruang sosialnya dan diperlakukan sebagai manusia bermartabat (diwongke). Dalam bermusyawarah, mereka tidak boleh diwakili, kecuali dengan alasan-alasan tertentu yang wajar (sakit berat, sudah uzur, dan lain-lain). Maka tempat bermusyawarah—balai desa, balai adat, dan sebagainya—merupakan agora pada zaman Yunani Purba, di mana demokrasi masih bisa langsung, setiap warga mewakili dirinya sendiri.

Tidak boleh ada lagi proyek yang memang hadir secara fisik di suatu lingkungan hidup tertentu, tetapi tidak akrab dengan masalah khas dari komunitas yang bersangkutan. Rakyat (penduduk) setempat hanya dijadikan ”penonton pasif”, bukan ”partisipan aktif” dalam proses pembangunan. Melalui proses pembangunan nasional seperti ini, ada peluang yang memungkinkan timbul dan berkembang secara simultan dan sinkron, saling mengisi: ya demokrasi politik, demokrasi ekonomi, demokrasi sosial, dan demokrasi kultural. Dengan kata lain, di situ ada demokrasi langsung dan kontinu di tengah-tengah demokrasi modern yang tidak lagi langsung.

Dalam rangka pembangunan nasional ini, wilayah adat yang selama ini diabaikan begitu saja perlu dan dapat direstitusi hak wilayah adatnya. Wilayah ini telah ada dalam kenyataan sejarah mendahului organisasi kekuasaan teritorial yang disebut ”negara nasional” dan ”negara kolonial” (Noer Fauzi Rachman, Kompas, 1/9). Hukum dari masyarakat adat ini dikualifikasi oleh Prof Van Vollenhoven sebagai Adatrecht.

Hukum adat ini, bukti dari kejeniusan lokal nenek moyang, bukan mengacu pada jus civile, hukum sipil yang khas bagi setiap negara dan hanya berlaku bagi warganya, tetapi pada jus naturale, yang menggambarkan aturan yang selalu adil dan benar, yang mengingatkan warga komunitas bahwa suatu perbuatan adalah jujur secara moral sejauh keserasian atau ketidakserasiannya berasas penalaran yang benar, sepadan dengan natur dari kewajaran dan dari kehidupan bersama.

Konsekuensi dari pelaksanaan pembangunan nasional adalah keberadaan, dalam komposisi kabinet mendatang, seorang menteri yang bertugas menyusun rencananya bersama staf teknis Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Jadi, pemerintah jangan berdusta lagi. Menteri ini ditetapkan juga sekaligus selaku Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Nasional sebagai pengganti Menko Bidang Perekonomian yang tidak perlu ada lagi.

Kemudian, lembaga pendidikan tinggi yang sudah biasa membelajarkan ekonomi pembangunan memberikan pula secara paralel kuliah-seminar tentang pembangunan nasional berdasarkan data yang diperoleh dari risetnya sendiri.
Tekad melaksanakan pembangunan nasional ini kiranya merupakan bukti bahwa di kalangan pemerintah sudah ada ”revolusi mental”, ide bagus yang dilontarkan oleh Presiden Joko Widodo sewaktu berkampanye presidensial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar