Setelah
Pemuda Bersumpah
Asep Salahudin ; Intelektual
Muda NU;
Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya
Tasikmalaya
|
KOMPAS,
29 Oktober 2014
TERSEBUTALH dalam kalender sebuah hari yang dikenal sebagai Hari
Sumpah Pemuda, 28 Oktober. Hari yang mengingatkan kita akan peristiwa 86
tahun silam ihwal ikrar yang digelorakan kaum muda tentang kesatuan bangsa,
tanah air, dan bahasa.
Dhakidae (2001) menyebut Sumpah Pemuda sebagai Indonesian the
holy trinity, tritunggal suci—bangsa, bahasa, tanah air.
Sumpah yang dalam konteks kebangsaan sungguh penuh rajah sebab
sumpah itu di kemudian hari bertemali dengan peristiwa politik yang bikin
Indonesia ”hamil tua”, kemerdekaan yang menjadi cita-cita bersama 17 tahun
kemudian diproklamasikan Soekarno dan Hatta. Teks Sumpah Pemuda dan teks
proklamasi menjadi saudara kembar yang dipertalikan oleh kesamaan visi
keindonesiaan. Yang membedakan hanya pilihan diksi, Sumpah Pemuda lebih
serupa puisi karena memang dibikin penyair soneta Mohammad Yamin, sementara
proklamasi mendekat kepada gaya prosa.
Puisi Sumpah Pemuda mengilhami prosa proklamasi. Dari sumpah
verbatim kemudian menjelma tindakan-tindakan politik praksis kaum pergerakan.
Dalam telaah Sutardji Calzoum Bachri, ”Saya
ingin menampilkan teks Sumpah Pemuda sebagai teks puisi karena selama ini
teks Sumpah Pemuda itu melulu dilihat sebagai teks sosial politik. Padahal,
teks itu menampilkan mimpi atau imajinasi dengan bahasa ringkas hemat, padat,
kuat menyaran makna, dengan irama dan pengulangan kata-kata yang bagaikan
mantra.”
Di titik ini kita menjadi mafhum tentang kekuatan kata-kata,
ihwal bagaimana puisi memberikan kontribusi terhadap nyawa bangsa. Dalam
sajak Subagio Sastrowardoyo: asal mula adalah kata/jagat tersusun dari
kata/di balik itu hanya/ruang kosong dan angin pagi. Mungkin. Kata menjadi
rumah eksistensial takhta kemanusiaan sekaligus kebangsaan seperti kata
Martin Haidegger the house of being.
Dalam syarah Jean Paul Sartre, J’ai
commence mau vie vomme je la finirai sans doute: au milie des livres.
Definisi keindonesiaan
Sumpah itu menarik dikenang bukan karena sekadar dirumuskan kaum
muda, melainkan isinya menggambarkan tentang definisi Indonesia yang
dibayangkan: bersatu dalam pengalaman kemajemukan. Bahwa keragaman bahasa,
budaya, dan agama tidak cukup dijadikan alasan ber-mufaraqah, tetapi sudah
semestinya menjadi modal sosial membangun bangsa yang bersatu dalam
keragaman, ika dalam kebinekaan atau kita menyebutnya NKRI.
Sayang, selama pengalaman negara despotik Orde Baru, NKRI itu
sering kali ditampilkan dalam wajah negara dengan narasi tunggal penguasa dus
anti terhadap segala bentuk perbedaan. Semua harus diseragamkan dan tidak
diperkenankan mengambil pilihan yang bertolak belakang dengan penguasa. Kata
Hatta, ”persatuan” yang diam-diam menjadi ”persatean”. Lebih tragis lagi negara memosisikan
dirinya sebagai satu-satunya yang berhak menafsirkan hal ihwal, termasuk
menafsir secara ontologis apa yang dimaksud ”pemuda” itu.
Tersebutlah banyak peristiwa gelap yang berpusat pada
kejadian-kejadian pelanggaran hak asasi manusia dan sampai hari ini belum
tuntas penyelesaiannya secara hukum. Belum lagi korupsi yang nyaris
berjemaah, penculikan dan kekerasan yang ”direstui” negara, baik secara fisik
maupun simbolik.
Kata-kata kemudian kehilangan daulatnya, bahkan dipaksa
dialihkan kepada senjata seiring dengan angkatan bersenjata yang menguasai
semua lini kehidupan politik bangsa. Kata-kata yang penuh ”mantra” harus
diberangus: buku yang dibakar, kitab yang dilarang beredar, risalah sastra
yang haram disebar, bahkan kaum ilmuwan yang masih fasih berkata benar harus
dibungkam.
Atas atmosfer jahiliah seperti ini ternyata tidak sedikit yang
merindu untuk kembali ke alam kegelapan itu. Tragisnya datang dari sebagian
kalangan yang mengaku cendekiawan, bahkan yang tempo hari ikut terlibat
menumbangkan. Disahkannya UU Pilkada, diaraknya elite politik tak ubahnya
pahlawan yang dahulu zaman kejayaan Orde Baru dijadikan musuh bersama, dan
lain sebagainya.
Signifikasi Sumpah Pemuda
Justru di sinilah pentingnya Sumpah Pemuda itu dirayakan,
sebagai interupsi ideologis atas segenap tata kelola negara yang bertentangan
dengan akal sehat, menghinakan logika, dan bertubrukan dengan alam pikiran
massa. Sumpah Pemuda harus terus digemakan justru ketika kesatuan bangsa
terancam oleh banyak paham politik-keagamaan yang memiliki agenda tersendiri
yang nyata-nyata menafikan eksistensi Pancasila dan UUD 1945.
Sumpah Pemuda mendapatkan tantangan manakala dalam proses
berbangsa sampai hari ini, tanah air satu itu diam-diam bermetamorfosa
menjadi ”tanah air mata”. Sementara bahasa Indonesia tidak pernah henti
mengalami gempuran bahasa asing dan di sisi lain tidak pernah berhenti pula
pemaknaannya dibajak oleh banyak kepentingan politik yang sesaat dan
berjangka pendek.
Bahasa sebagai pemersatu yang disebut Sutan Takdir Alisjahbana
sebagai salah satu mukjizat abad ini bergeser menjadi penuh epimisme dan
kosakata yang menyesatkan disesuaikan dengan kepentingan kelompok.
Bahasa Indonesia yang dahulu disarankan Ki Hadjar Dewantara pada
tahun 1916 sebagai bahasa pengajaran karena kelugasan dan kesigapannya
sekarang kita seolah tak menemukan padanannya dalam bahasa Indonesia sekadar
untuk Bakrie Tower, Jokowi effect,
koalisi permanent, Pondok Indah Mall, The
Lavande Residence, Mall of Indonesia, swalayan Indomaret. Bahkan, banyak
pejabat dan ”bangsawan pikir” yang seharusnya memberikan contoh berbahasa
Indonesia yang baik dan benar sepertinya
belum sempurna berpidato kecuali di sana-sini ditaburi ungkapan
istilah asing.
Signifikasi perayaan juga terletak ketika sekarang pada babakan
reformasi sebagai antitesa orde sebelumnya justru serba terbalik dalam
berbagai hal, termasuk mengalami surplus kata-kata dan defisit makna. Setelah
17 tahun Orde Reformasi itu berlangsung, yang tersisa adalah parade pidato
yang isinya tak berisi, berebut mikrofon sekadar untuk menyampaikan teriakan
yang tak lebih isinya sumpah serapah kepada mereka yang tak sehaluan.
Pada awal abad ke-21, mengingat Sumpah Pemuda teringat pada apa
yang pernah dibilang La Tse, sang filsuf dari dataran Tiongkok, ”Untuk
memperbaiki negara, hal pertama yang harus dilakukan adalah terjaga dalam
kata!”
Dalam konteks kepemimpinan baru di bawah nakhoda Joko
Widodo-Jusuf Kalla, sudah saatnya tidak terlampau banyak bicara, apalagi
memburu citra, tetapi selekasnya bekerja. Program unggulan yang meliputi
kepastian kehadiran negara sebagai pelindung, pelayan, mewujudkan
kemandirian, memperteguh kebinekaan, meningkatkan kualitas dan produktivitas
rakyat, membangun dari pinggiran, revolusi mental, serta mengembalikan
Indonesia sebagai negara maritim dapat lekas terwujudkan.
Dengan demikian, ”Indonesia Hebat” bukan sekadar mimpi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar