Kamis, 23 Oktober 2014

Vonis Ringan bagi Koruptor

Vonis Ringan bagi Koruptor

Marwan Mas  ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
KOMPAS, 21 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


PIMPINAN Komisi Pemberantasan Korupsi kecewa atas putusan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta terhadap Atut Chosiyah pada Senin (1/9/2014). Gubernur nonaktif Banten yang diduga menyuap Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, terkait sengketa penanganan hasil Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Lebak itu hanya dijatuhi pidana penjara 4 tahun dan denda Rp 200 juta subsider 5 bulan kurungan.

Putusan itu jauh lebih ringan daripada tuntutan penuntut umum dari KPK, yaitu 10 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 5 bulan kurungan. Bukan hanya itu, tuntutan agar terdakwa dicabut haknya untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik juga ditolak hakim.

Tentu saja hakim punya kewenangan berdasarkan fakta hukum yang terungkap dalam sidang serta diyakini kebenarannya untuk menentukan besarnya pidana, tetapi di tengah harapan publik agar koruptor diberi terapi kejut, putusan minimalis itu jelas mengecewakan.

Apalagi, melihat sejumlah putusan hakim pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) dan Hakim Agung yang begitu berat, seperti pada Djoko Susilo dan Akil Mochtar, membuat publik bertanya perihal sikap tegas hakim dalam memandang korupsi.

Ketegasan hakim laksana sebuah permainan sebab bisa berbeda penilaian di lain waktu. Jika memang terbukti melakukan korupsi, selayaknya dijatuhi hukuman berat agar bisa menimbulkan rasa jera.

Perang total

Banyak yang menilai, hukuman ringan yang tidak sesuai ancaman pasal undang-undang korupsi menjadi penyebab korupsi dan terus menggurita. Upaya keras kepolisian, kejaksaan, dan KPK untuk menemukan alat bukti justru terabaikan oleh rendahnya sensitivitas hakim tipikor dalam memosisikan korupsi sebagai kejahatan luar biasa.

Seharusnya perang total terhadap korupsi menjadi sikap bersama semua penegak hukum. Jika putusan setiap pengadilan tipikor bagi terdakwa yang terbukti korupsi selalu ringan, perang melawan korupsi di negeri ini menjadi paradoksal.

Korupsi akan terus mengganas jika hakim selaku benteng terakhir proses hukum melempem. Tatkala koruptor dan calon koruptor mendapat angin segar karena vonis ringan, malah ada penegak hukum yang membenarkan putusan ringan itu.
Dampaknya adalah para pencoleng uang rakyat dan sekutunya akan beranggapan penangkapan atas dirinya hanyalah kecelakaan. Buat apa takut korupsi, toh kalau tertangkap, hukumannya ringan. Mereka tidak akan jera atau menimbulkan rasa takut bagi yang lain meskipun sudah banyak pelaku korupsi silih berganti diringkus dan dihukum.

Belum meratanya pemahaman dan penyikapan terhadap perilaku korupsi oleh aparat penegak hukum dapat menyebabkan perang terhadap korupsi akan semakin panjang waktunya.

Boleh jadi kita tidak akan pernah memenangi perang itu meskipun selalu dikumandangkan di ruang publik agar secara bersama memerangi korupsi. Ini malah akan melemahkan semangat perang, sementara dana besar yang dipakai penyidik dan penuntut umum untuk membongkar suatu kasus korupsi menjadi tak berarti.

Antiklimaks

Hukuman ringan bagi Atut dilihat dari konteks rasa keadilan masyarakat adalah sebuah antiklimaks. Suap Atut adalah kejahatan terhadap demokrasi yang dilakukan secara bersekongkol dengan Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu. Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta membuat rekor dengan mengganjar Akil Mochtar hukuman seumur hidup.

Disparitas hukuman sangat jauh bedanya dengan hukuman yang dijatuhkan kepada Atut sebagai penyuap. Padahal, keduanya sama-sama penyelenggara negara yang mestinya menjaga amanah rakyat.

Tingkat kesalahan penyuap dan penerima suap sama-sama dan kalaupun ada pertimbangan hakim yang meringankan bagi Atut, seharusnya hukuman yang dijatuhkan tidak terpaut jauh. Keduanya mengingkari suara rakyat dalam pemilihan kepala daerah. Keduanya tidak bisa diteladani, tidak mampu menjaga marwah jabatan yang dipercayakan. Jika penerima suap dihukum maksimal sampai harus mendekam di penjara selama sisa hidupnya, secara logika pemberi suap juga dihukum sama atau tidak terlalu jauh bedanya.

Kasus suap sebagai salah satu bentuk korupsi tidak boleh hanya dilihat dari aspek kuantitatif. Apalagi, ada satu hakim yang berbeda pendapat bahwa Atut tidak bersalah. Padahal, kualitas kejahatan menyuap seorang hakim sama saja dengan menyuap beberapa hakim.

Begitu digambarkan dalam Pasal 12A Ayat (2) UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tidak perlu dilihat apakah uang negara yang dikorup cuma jutaan atau miliaran rupiah, tetap saja pelaku diancam hukuman.

Putusan itu wajar dikritik meskipun tetap wajib dihormati. Namun, tidak berarti diterima begitu saja sebab bukan hanya membuat getir aparat penyidik dan penuntut umum, melainkan juga laksana pukulan menyakitkan bagi pejuang demokrasi.

Maka, upaya banding KPK bisa menjadi ukuran sejauh mana hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memaknai pandangan masyarakat bahwa korupsi telah merampas hak ekonomi-sosialnya. Jangan sampai putusan ringan melemahkan semangat penyidik dan penuntut umum untuk terus membongkar berbagai kasus korupsi yang menggurita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar