Vonis
Ringan bagi Koruptor
Marwan Mas ; Guru
Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
|
KOMPAS,
21 Oktober 2014
PIMPINAN
Komisi Pemberantasan Korupsi kecewa atas putusan hakim Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi Jakarta terhadap Atut Chosiyah pada Senin (1/9/2014). Gubernur
nonaktif Banten yang diduga menyuap Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi, terkait sengketa penanganan hasil Pemilihan Kepala Daerah
Kabupaten Lebak itu hanya dijatuhi pidana penjara 4 tahun dan denda Rp 200
juta subsider 5 bulan kurungan.
Putusan
itu jauh lebih ringan daripada tuntutan penuntut umum dari KPK, yaitu 10
tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 5 bulan kurungan. Bukan hanya
itu, tuntutan agar terdakwa dicabut haknya untuk memilih dan dipilih dalam
jabatan publik juga ditolak hakim.
Tentu
saja hakim punya kewenangan berdasarkan fakta hukum yang terungkap dalam
sidang serta diyakini kebenarannya untuk menentukan besarnya pidana, tetapi
di tengah harapan publik agar koruptor diberi terapi kejut, putusan minimalis
itu jelas mengecewakan.
Apalagi,
melihat sejumlah putusan hakim pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) dan
Hakim Agung yang begitu berat, seperti pada Djoko Susilo dan Akil Mochtar,
membuat publik bertanya perihal sikap tegas hakim dalam memandang korupsi.
Ketegasan
hakim laksana sebuah permainan sebab bisa berbeda penilaian di lain waktu.
Jika memang terbukti melakukan korupsi, selayaknya dijatuhi hukuman berat
agar bisa menimbulkan rasa jera.
Perang total
Banyak
yang menilai, hukuman ringan yang tidak sesuai ancaman pasal undang-undang
korupsi menjadi penyebab korupsi dan terus menggurita. Upaya keras
kepolisian, kejaksaan, dan KPK untuk menemukan alat bukti justru terabaikan
oleh rendahnya sensitivitas hakim tipikor dalam memosisikan korupsi sebagai
kejahatan luar biasa.
Seharusnya
perang total terhadap korupsi menjadi sikap bersama semua penegak hukum. Jika
putusan setiap pengadilan tipikor bagi terdakwa yang terbukti korupsi selalu
ringan, perang melawan korupsi di negeri ini menjadi paradoksal.
Korupsi
akan terus mengganas jika hakim selaku benteng terakhir proses hukum
melempem. Tatkala koruptor dan calon koruptor mendapat angin segar karena
vonis ringan, malah ada penegak hukum yang membenarkan putusan ringan itu.
Dampaknya
adalah para pencoleng uang rakyat dan sekutunya akan beranggapan penangkapan
atas dirinya hanyalah kecelakaan. Buat apa takut korupsi, toh kalau
tertangkap, hukumannya ringan. Mereka tidak akan jera atau menimbulkan rasa
takut bagi yang lain meskipun sudah banyak pelaku korupsi silih berganti
diringkus dan dihukum.
Belum
meratanya pemahaman dan penyikapan terhadap perilaku korupsi oleh aparat
penegak hukum dapat menyebabkan perang terhadap korupsi akan semakin panjang
waktunya.
Boleh
jadi kita tidak akan pernah memenangi perang itu meskipun selalu
dikumandangkan di ruang publik agar secara bersama memerangi korupsi. Ini
malah akan melemahkan semangat perang, sementara dana besar yang dipakai
penyidik dan penuntut umum untuk membongkar suatu kasus korupsi menjadi tak
berarti.
Antiklimaks
Hukuman
ringan bagi Atut dilihat dari konteks rasa keadilan masyarakat adalah sebuah
antiklimaks. Suap Atut adalah kejahatan terhadap demokrasi yang dilakukan
secara bersekongkol dengan Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu. Hakim
Pengadilan Tipikor Jakarta membuat rekor dengan mengganjar Akil Mochtar
hukuman seumur hidup.
Disparitas
hukuman sangat jauh bedanya dengan hukuman yang dijatuhkan kepada Atut
sebagai penyuap. Padahal, keduanya sama-sama penyelenggara negara yang
mestinya menjaga amanah rakyat.
Tingkat
kesalahan penyuap dan penerima suap sama-sama dan kalaupun ada pertimbangan
hakim yang meringankan bagi Atut, seharusnya hukuman yang dijatuhkan tidak
terpaut jauh. Keduanya mengingkari suara rakyat dalam pemilihan kepala
daerah. Keduanya tidak bisa diteladani, tidak mampu menjaga marwah jabatan
yang dipercayakan. Jika penerima suap dihukum maksimal sampai harus mendekam
di penjara selama sisa hidupnya, secara logika pemberi suap juga dihukum sama
atau tidak terlalu jauh bedanya.
Kasus
suap sebagai salah satu bentuk korupsi tidak boleh hanya dilihat dari aspek
kuantitatif. Apalagi, ada satu hakim yang berbeda pendapat bahwa Atut tidak
bersalah. Padahal, kualitas kejahatan menyuap seorang hakim sama saja dengan
menyuap beberapa hakim.
Begitu
digambarkan dalam Pasal 12A Ayat (2) UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU
No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tidak perlu dilihat
apakah uang negara yang dikorup cuma jutaan atau miliaran rupiah, tetap saja
pelaku diancam hukuman.
Putusan
itu wajar dikritik meskipun tetap wajib dihormati. Namun, tidak berarti
diterima begitu saja sebab bukan hanya membuat getir aparat penyidik dan
penuntut umum, melainkan juga laksana pukulan menyakitkan bagi pejuang
demokrasi.
Maka,
upaya banding KPK bisa menjadi ukuran sejauh mana hakim Pengadilan Tipikor
Jakarta memaknai pandangan masyarakat bahwa korupsi telah merampas hak
ekonomi-sosialnya. Jangan sampai putusan ringan melemahkan semangat penyidik
dan penuntut umum untuk terus membongkar berbagai kasus korupsi yang
menggurita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar