Selasa, 28 Oktober 2014

Melankoli Politik

Melankoli Politik

Tulus Sudarto ;  Rohaniwan, Menetap di Los Angeles
KOMPAS, 28 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


KECUALI di negara utopia, hanya outsider yang mampu mempertahankan jabatannya tanpa sempat memenangkan bangsanya. Selebihnya, seorang outsider hanya akan sibuk mengurusi masih berapa hari lagi usia jabatannya.
Begitulah komentar spontan yang muncul di Los Angeles Times persis sehari setelah pelantikan Jokowi sebagai presiden (21/10/2014).

Bisa saja opini LA Times ini tidak mewakili Amerika. Di mata Amerika, Indonesia di bawah Jokowi tetaplah tidak memberi garansi jangka panjang nan pasti akan stabilitas perkembangan. Amerika meragukan kepemimpinan Jokowi. Kuatnya kelompok oposisi dalam pemerintahan sekaligus minimnya jam terbang politik Jokowi tidak membuat Amerika antusias.

Sebagai pemain baru, Jokowi ibarat domba di tengah kawanan serigala. Secara moral dia dibutuhkan oleh masyarakat bangsa Indonesia untuk lepas dari kanker korupsi dan busuknya perpolitikan. Secara struktural, dia harus berhadapan dengan gurita politik dari pemain-pemain lama yang masih memegang kunci ”kerajaan” Indonesia. Jokowi adalah nabi tanpa senjata.

Sebagus-bagusnya nabi, tanpa senjata (power) dia bukanlah apa-apa. Sejak detik pertama dia dilantik, Jokowi pastilah sudah mati kutu di mata kelompok oposisi. Keterpurukan total sejak krisis ekonomi membutuhkan figur pemimpin yang kuat, tegas, berpengalaman. Indonesia tidak sedang butuh nabi tampaknya.

Karakter unik

Syukurlah, atau lucunya, Indonesia hampir selalu luput dari teori politik mana pun. Lipat lekuk dan fleksibilitas memungkinkan masyarakat Indonesia menerima demokrasi dalam ke-aku-an filosofi politik yang begitu unik. Indonesia, ya, Indonesia. Artinya, Indonesia mempunyai teori demokrasi sendiri. Dalam literatur Barat,  masivitas kekerasan yang menyertai pertumbuhan demokrasi sudah pasti akan memorakporandakan suatu negeri.

Tetapi lihatlah Indonesia. Runtuhnya rezim Soeharto tahun 1998 yang dipandang sebagai anti-demokrasi tidak serta-merta membuat rakyat membenci Soeharto dan sistem anti-demokrasinya secara utuh, baik teknis maupun filosofis. Bahkan, ujaran-ujaran Orde Baru (apik zamanku biyen to) malah menjadi santapan harian.

Seburuk-buruknya pemerintahan otoriter Soeharto, tidak otomatis membuat masyarakat Indonesia membencinya sampai tujuh turunan. Bahkan baru dua keturunan, ingatan-ingatan nostalgis tentang bagusnya pemerintahan Soeharto malah balik berbuah sebagai kenangan indah, bukannya memori buruk.

Orang Indonesia bukanlah berkarakter tunggal (one-dimentional man). Tengoklah semasa krisis ekonomi, berapa banyak penduduk Indonesia yang bisa leluasa berbelanja ke luar negeri. Atau, separah-parahnya bencana tsunami menimpa Indonesia, secara teori praktis pasti Indonesia sudah habis; tetapi tetap saja Indonesia bangkit.

Sembari membantu para korban bencana, acara-acara televisi yang berisi hiburan dan guyonan tetaplah berjalan. Bahkan, ketika banyak terjadi bom bunuh diri dari sekelompok teroris, secepat kilat masyarakat Indonesia malah menertawai banalitas kekerasan itu dengan santai. Masih ingat, kan, SMS-SMS yang langsung merembet dari satu hape ke hape lain secara massal dan serentak, ”Hati-hati, Azhari bersaudara membawa bom ke mal-mal… Ayu Azhari, Sarah Azhari, dan Rahma Azhari”.         

Seheboh-hebohnya kekerasan pembunuhan atau gerakan separatis, tetap saja masyarakat Indonesia bisa santai menghadapi semuanya. Mulur mengkeret-nya orang Indonesia ini tidak pernah dipahami literatur Barat. Orang Indonesia bukanlah tipe ”ya” berarti ’ya’, atau ”tidak” berarti ’tidak’. Maka, seragu-ragunya Amerika menanti dengan was-was kepemimpinan Jokowi bocah ndeso memimpin negeri berpenduduk terbanyak kelima sedunia ini, Indonesia, ya, Indonesia.

Sedemokratis-demokratisnya orang Indonesia, tetap saja Indonesia punya terjemahan tersendiri apa arti demokrasi di bawah kepemimpinan siapa pun. Di Indonesia, semua bisa dihadapi dengan terbuka dan legawa, bukan karena sistem politiknya, melainkan karena fleksibilitas dan kelenturan terhadap krisis apa pun. Lawan bisa jadi kawan, dan kawan bisa jadi lawan. Itu biasa di Indonesia.

Terbukti, angka bunuh diri di Indonesia jauh lebih rendah daripada angka bunuh diri di Amerika yang notabene negara maju dengan jaminan hukum pasti serta high culture teruji. Bahkan mengumpat karyawan yang nyata-nyata keliru pun bisa membuat Anda berurusan dengan pengadilan dan kehilangan perusahaan sekaligus. Itu Amerika.

Sering kali, ada ragu apakah tipe multidimensional yang khas milik Indonesia ini merupakan hipotesis jangan-jangan orang Indonesia itu memang dari sononya tidak berkarakter. Orang Tiongkok yang keturunan Indonesia ataupun orang Indonesia yang keturunan Tiongkok bilang, ”Cincai laaah”. Sekali lagi, Indonesia, ya, Indonesia. Ini Indonesia, sir… negara paling bahagia sedunia. Wallahuallam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar