Menjadi
Otentik; Tantangan Menteri Kabinet Kerja
Wicaksono Dimas Ary ; Dosen
di Fakultas Psikologi Unair
|
JAWA
POS, 27 Oktober 2014
TRANSISI
kepemimpinan di Indonesia saat ini sudah menjadi kenyataan. Dampak yang
dirasakan dari transisi itu adalah bergesernya gerbong kepemimpinan di
berbagai kementerian, lembaga, dan juga badan milik pemerintah. Itu berarti
akan muncul pemimpin-pemimpin baru yang bakal menjalankan roda pemerintahan
untuk menunjang pemenuhan janji-janji kampanye presiden terpilih. Figur
Jokowi sebagai presiden sudah menunjukkan bagaimana dia memiliki gayanya
sendiri dalam memimpin. Hal itu yang sedikit banyak akan membuat orang
membanding-bandingkan gaya kepemimpinan sang presiden dengan menteri-menteri
atau orang-orang yang berada di bawahnya. Tetapi, hal itu juga tidak secara
otomatis sebagai alasan seseorang untuk sekadar meniru ’’gaya’’ yang
dimunculkan Jokowi sebagai pemimpin.
Selain kondisi dilematis antara tidak
ingin dianggap sebagai copycat semata dengan tetap mengimbangi ritme dan gaya
sang presiden, tantangan kepemimpinan lainnya ada pada akuntabilitas dan
ekspektasi publik yang semakin besar serta berbagai intervensi yang kerap
membayangi kinerja pemerintahan.
Jokowi
dalam wawancara di Tempo (Tempo, edisi
20 Oktober 2014) menyatakan bahwa dirinya menginginkan seorang menteri
yang orisinal akan ide-ide dan gagasannya, serta yang paling penting baginya
adalah seorang menteri yang memiliki karakter.
Sejalan
dengan itu, Bill George (2003) menyebutkan bahwa pemimpin itu bukan perkara
gaya seperti apa yang akan dijalankan, tetapi bagaimana menjadi otentik atas
dirinya sendiri. Artinya, seorang pemimpin harus mampu menjadi dirinya
sendiri walaupun dalam kondisi tertekan maupun yang sulit sekalipun.
Kita
dewasa ini sudah disuguhi figur-figur pemimpin baru yang berhasil menunjukkan
gayanya sendiri dalam memimpin. Sebut saja, Tri Rismaharini di Surabaya,
Ridwan Kamil di Bandung, Abdullah Azwar Anas di Banyuwangi, dan Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) di Jakarta.
Contoh
pemimpin-pemimpin tersebut menunjukkan bagaimana mereka menjadi otentik lewat
kebijakan yang dikeluarkannya. Di satu sisi, hal itu menjadi menarik karena
kita sudah disuguhi alternatif kepemimpinan yang langsung memberikan dampak
dan juga menginspirasi. Tetapi, di sisi lain, tidak tertutup kemungkinan
munculnya pemimpin yang sekadar meniru gaya kepemimpinan tersebut agar tampak
memiliki citra baik di masyarakat. Dengan begitu, tantangannya adalah bagaimana
menjadi seorang pemimpin yang otentik akan dirinya sendiri, tidak sekadar
ingin dibilang seperti Jokowi. Terutama mereka yang akan berada di dalam
gerbong kepemimpinan Jokowi. Artinya, ketika ingin bekerja dengan cepat,
tegas, dan juga muncul dengan ide-ide yang brilian, dia harus menjadi dirinya
sendiri terlebih dahulu daripada sekadar ingin menunjukkan citra positif di
mata rakyat.
Cara
Presiden Jokowi yang meminta pertimbangan KPK dan PPATK dalam menelusuri
rekam jejak para calon menteri pun akan berdampak kepada harapan publik atas
kredibilitas dan integritas tokoh menteri itu sendiri. Publik akan dengan
mudah mengawasi konsistensi menterinya, baik itu dari nilai yang diyakini,
perkataan yang diucapkan, maupun perilaku yang ditampakkan. Publik juga mengharapkan
integritas seorang pemimpin disertai dengan kehadirannya dirasakan oleh
rakyatnya, baik secara fisik maupun melalui ide-ide dan gagasannya yang
memang untuk menjawab permasalahan yang dihadapi bangsa ini.
Selain
itu, salah satu tantangan yang tidak kalah pentingnya adalah intervensi asing
atas jalannya roda pemerintahan. Tidak jarang pula, ketika pemerintahan yang
lalu menunjukkan ketegasannya atas kepentingan asing di Indonesia, indeks
saham dan nilai tukar rupiah melemah.
Sebagaimana
disebutkan sebelumnya, pemimpin yang otentik adalah pemimpin yang sadar betul
akan kelebihan dan kelemahannya, memiliki tujuan dan nilai yang diyakini,
memimpin dengan hati, menunjukkan kehadirannya di tengah-tengah orang yang
dipimpinnya, serta yang tidak kalah penting adalah bertindak secara
konsisten. Lalu, pertanyaannya adalah bagaimana menjadi pemimpin yang otentik
dan tidak terjebak dalam persepsi pencitraan semata. Pemimpin yang otentik
itu memiliki kesadaran akan siapa dirinya sesungguhnya. Dengan kata lain, dia
sadar betul apa yang menjadi kelebihan dan kekurangannya. Oleh karena itu,
seorang pemimpin ada baiknya meluangkan waktu sejenak untuk menggali dan
mengenali potensi dan kelemahan yang dimiliki. Dengan demikian, dia akan
lebih nyaman ketika memimpin yang sesuai dengan siapa dirinya yang
sesungguhnya.
Tidak
kalah pentingnya, seorang pemimpin akan sangat diharapkan dari visi yang
dimilikinya untuk masa yang akan datang. Bahkan, seorang pemimpin tidak hanya
berperan sebagai ’’pemadam kebakaran’’, tetapi juga harus mampu thinking beyond the future. Hal itu
menjadi penting karena visi itulah yang nanti mengarahkan setiap tindakan
yang bakal diambilnya. Akan tetapi, visi yang dimiliki seorang menteri sudah
seharusnya sejalan dengan visi yang dimiliki presidennya. Kalau tidak
sejalan, sudah bisa dipastikan seorang menteri dan presiden akan berjalan
pada arah yang berbeda. Namun, ’’sama’’ tidak berarti sekadar menjalankan
program yang sudah dicanangkan. Sebab, harapan masyarakat atas orisinalitas
ide dan gagasan untuk menjawab permasalahan bangsa tetap dibutuhkan. Pemimpin
yang memiliki tujuan atau visi ke depan membuat orang-orang di bawahnya lebih
berfokus dalam bertindak. Terlebih lagi jika visi tersebut dapat diresapi
oleh bawahannya menjadi tujuan pribadi yang hendak dicapai bersama-sama,
yaitu membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Selanjutnya,
pemimpin yang otentik adalah mereka yang meyakini nilai-nilai yang
dipegangnya. Itulah nanti yang membuktikan seberapa jauh dia akan memiliki
integritas dan konsisten melalui tindakan dan kebijakan yang dikeluarkannya.
Nilai yang dipegang itu pula yang dapat digunakan sebagai benteng untuk
melawan intervensi atau tekanan dari pihak luar.
Salah
satu harapan masyarakat adalah kehadiran seorang pemimpin tersebut dirasakan
secara nyata melalui ide, gagasan, dan kebijakan yang ditelurkannya. Oleh
karena itu, seorang pemimpin tidak menjaga jarak dengan lingkungannya, tetapi
hadir untuk melayani dan memfasilitasi perubahan. Dengan kata lain, seorang
pemimpin menjalin hubungan yang dekat dengan masyarakatnya, mendengarkan
dengan hati, dan juga memahami konteks serta situasi yang sedang dihadapi.
Pada
akhirnya, seorang pemimpin tidak hanya berbicara tentang gaya kepemimpinan
apa yang akan dipilih, tetapi mengenali diri sendiri dan meyakini nilai yang
dipegang, konsisten terhadap perilaku, tindakan, serta kebijakan yang
dikeluarkannya. Sebab, sejatinya seorang pemimpin adalah mereka yang mampu
menggetarkan dan membawa perubahan, menciptakan pemimpin-pemimpin baru untuk masa
yang akan datang. Itu semua diraih dengan menjadi diri sendiri, bukan sekadar
sebagai pengikut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar