Lahir
dari Pengalaman Pahit
Bambang Tri Subeno ; Wartawan
Suara Merdeka
|
SUARA
MERDEKA, 23 Oktober 2014
INDUSTRI perbankan nasional pernah mendapatkan pelajaran pahit
sekaligus sangat berharga pada saat krisis ekonomi 1997. Kemerosotan nilai
tukar rupiah hingga Rp 17.000 per dolar AS, ditambah suku bunga yang melonjak
dan penghentian perpanjangan fasilitas kredit oleh kreditor asing,
menyebabkan bank-bank kesulitan likuiditas.
Di tengah situasi tersebut, pada November 1997 pemerintah memenuhi
rekomendasi IMF menutup 16 bank serta tak ada informasi mengenai kesehatan
bank-bank yang belum atau tidak ditutup. Kondisi demikian membuat kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan merosot ke titik paling rendah.
Ketidakpercayaan itu mendorong penarikan simpanan secara besar-besaran
dari perbankan dan terjadilah rush.
Dana yang ditarik, sebagian dilarikan ke luar negeri, dan sebagian lagi
dialihkan ke valuta asing serta dibelanjakan sehingga inflasi melonjak
drastis.
Untuk mengatasi dampak buruk tersebut serta mengembalikan kepercayaan
masyarakat pada perbankan, pemerintah mengeluarkan kebijakan penjaminan
terhadap seluruh kewajiban pembayaran bank umum dan BPR atau blanket
guarantee melalui Keppres No 26 dan 193/1998.
Di samping itu, sebagai upaya memperbaiki kinerja perbankan dan
memperkuat struktur permodalan bank, pemerintah merestrukturisasi dan
merekapitalisasi perbankan yang menelan biaya luar biasa besar, yakni hingga
ratusan triliun rupiah. Kebijakan penjaminan simpanan oleh pemerintah
terbukti ampuh sehingga perlahan-lahan mampu mengembalikan kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan. Kasus Bank CIC pada 2002 dan Bank Lippo pada 2003 tidak menyebabkan rush.
Namun, di sisi lain, program penjaminan itu membebani keuangan negara dan
bisa menimbulkan moral hazard, yaitu mendorong bankir atau nasabah mengambil
risiko lebih besar karena ada penjaminan.
Dengan pertimbangan tetap menjaga kepercayaan masyarakat serta menekan
dampak negatif atas blanket guarantee,
pemerintah memutuskan secara bertahap mengurangi lingkup penjaminan dan
selanjutnya hanya menjamin simpanan dalam jumlah tertentu. Sehubungan dengan
kepentingan itu, pemerintah merancang pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS). Sebagai implementasinya, pada 22 September 2004 ditetapkan UU No
24/2004 tentang LPS. Lembaga itu merupakan unsur penting dalam jaring
pengaman sistem keuangan yang telah dipraktikkan di berbagai negara.
LPS resmi beroperasi setahun setelah UU-nya disahkan, yakni 22
September 2005. Fungsi utamanya adalah menjamin simpanan nasabah dan proaktif
dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.
Begitu strategis lembaga itu sehingga pertanggungjawabannya langsung kepada
presiden tanpa melalui lembaga teknis terkait, misalnya Kementerian Keuangan.
Untuk mewujudkan amanat UU, LPS bertugas merumuskan serta menetapkan
kebijakan dalam kerangka turut aktif memelihara stabilitas perbankan, serta
merumuskan, menetapkan, dan menangani bank gagal baik yang berdampak sistemik
maupun tidak.
Penjaminan yang dilaksanakan LPS hanya berupa simpanan, yaitu giro,
deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan yang dipersamakan dengan itu.
Dalam penjelasan UU tentang LPS disebutkan transfer masuk dan keluar, serta
inkaso tidak masuk penjaminan karena bukan tergolong simpanan.
Bayar
Premi
Sebagai peserta penjaminan, tiap bank diwajibkan membayar premi
penjaminan dan biaya kepesertaan. Premi ditetapkan sebesar 0,1% yang dihitung
dari saldo rata-rata simpanan setiap periode (Januari-Juni dan
Juni-Desember). Biaya kepesertaan 0,1% dari modal dan hanya sekali ditarik
saat bank bersangkutan mendaftar sebagai peserta penjaminan LPS.
Berdasarkan UU, nilai simpanan setiap nasabah pada satu bank yang
dijamin maksimal Rp 100 juta. Tetapi pemberlakuan ketentuan itu dilaksanakan
secara bertahap, yaitu enam bulan pertama sejak LPS beroperasi 22 September
2005 sampai 21 Maret 2006 yang dijamin adalah seluruh simpanan berupa
tabungan, giro, deposito, sertifikat deposito, dan yang dipersamakan.
Kemudian, enam bulan berikutnya, yaitu 22 Maret 2006 sampai 21
September 2006 jumlah simpanan paling tinggi yang dijamin Rp 5 miliar.
Periode 22 September 2006 hingga 21 Maret 2007 jumlah simpanan yang dijamin
Rp 1 miliar, dan terhitung mulai 22 Maret 2007 simpanan yang dijamin maksimal
Rp 100 juta. Terakhir, simpanan yang memperoleh penjaminan ditetapkan Rp 2
miliar.
Perubahan penjaminan ke nilai simpanan yang terbatas mengandung dua
maksud. Pertama, mengajak kalangan perbankan terus proaktif membangun
kepercayaan nasabahnya dan senantiasa meningkatkan profesionalitas karena
bank yang menjamin sisa penjaminan LPS.
Kedua, masyarakat pada umumnya dan nasabah khususnya perlu mengerti dan
memahami bahwa simpanan yang dijamin oleh LPS adalah Rp 2 miliar dan bukan
berarti sisanya tidak dijamin, karena selisihnya tetap mendapatkan penjaminan
dari bank. Jadi, ada semacam tanggung jawab dari masing-masing bank baik
terhadap nasabahnya maupun pada kinerjanya sehingga terhindar dari kemungkinan
kolaps atau goyah. Kalau goyah, mereka tidak lagi bisa menumpukan penjaminan
kepada pemerintah dan lepas tangan begitu saja.
Kita tentu masih ingat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
pada saat krisis ekonomi 1997 dan sesudahnya. Bantuan yang berasal dari uang
rakyat itu justru diselewengkan oleh beberapa bankir. Bahkan ada yang sengaja
membangkrutkan bank yang dikelola dan membawa lari BLBI ratusan miliar
rupiah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar