Jumat, 24 Oktober 2014

Lahir dari Pengalaman Pahit

Lahir dari Pengalaman Pahit

Bambang Tri Subeno  ;  Wartawan Suara Merdeka
SUARA MERDEKA, 23 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


INDUSTRI perbankan nasional pernah mendapatkan pelajaran pahit sekaligus sangat berharga pada saat krisis ekonomi 1997. Kemerosotan nilai tukar rupiah hingga Rp 17.000 per dolar AS, ditambah suku bunga yang melonjak dan penghentian perpanjangan fasilitas kredit oleh kreditor asing, menyebabkan bank-bank kesulitan likuiditas.

Di tengah situasi tersebut, pada November 1997 pemerintah memenuhi rekomendasi IMF menutup 16 bank serta tak ada informasi mengenai kesehatan bank-bank yang belum atau tidak ditutup. Kondisi demikian membuat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan merosot ke titik paling rendah.

Ketidakpercayaan itu mendorong penarikan simpanan secara besar-besaran dari perbankan dan terjadilah rush. Dana yang ditarik, sebagian dilarikan ke luar negeri, dan sebagian lagi dialihkan ke valuta asing serta dibelanjakan sehingga inflasi melonjak drastis.

Untuk mengatasi dampak buruk tersebut serta mengembalikan kepercayaan masyarakat pada perbankan, pemerintah mengeluarkan kebijakan penjaminan terhadap seluruh kewajiban pembayaran bank umum dan BPR atau blanket guarantee melalui Keppres No 26 dan 193/1998.

Di samping itu, sebagai upaya memperbaiki kinerja perbankan dan memperkuat struktur permodalan bank, pemerintah merestrukturisasi dan merekapitalisasi perbankan yang menelan biaya luar biasa besar, yakni hingga ratusan triliun rupiah. Kebijakan penjaminan simpanan oleh pemerintah terbukti ampuh sehingga perlahan-lahan mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Kasus Bank CIC pada 2002 dan Bank  Lippo pada 2003 tidak menyebabkan rush. Namun, di sisi lain, program penjaminan itu membebani keuangan negara dan bisa menimbulkan moral hazard, yaitu mendorong bankir atau nasabah mengambil risiko lebih besar karena ada penjaminan.

Dengan pertimbangan tetap menjaga kepercayaan masyarakat serta menekan dampak negatif atas blanket guarantee, pemerintah memutuskan secara bertahap mengurangi lingkup penjaminan dan selanjutnya hanya menjamin simpanan dalam jumlah tertentu. Sehubungan dengan kepentingan itu, pemerintah merancang pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sebagai implementasinya, pada 22 September 2004 ditetapkan UU No 24/2004 tentang LPS. Lembaga itu merupakan unsur penting dalam jaring pengaman sistem keuangan yang telah dipraktikkan di berbagai negara.

LPS resmi beroperasi setahun setelah UU-nya disahkan, yakni 22 September 2005. Fungsi utamanya adalah menjamin simpanan nasabah dan proaktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Begitu strategis lembaga itu sehingga pertanggungjawabannya langsung kepada presiden tanpa melalui lembaga teknis terkait, misalnya Kementerian Keuangan.

Untuk mewujudkan amanat UU, LPS bertugas merumuskan serta menetapkan kebijakan dalam kerangka turut aktif memelihara stabilitas perbankan, serta merumuskan, menetapkan, dan menangani bank gagal baik yang berdampak sistemik maupun tidak.
Penjaminan yang dilaksanakan LPS hanya berupa simpanan, yaitu giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan yang dipersamakan dengan itu. Dalam penjelasan UU tentang LPS disebutkan transfer masuk dan keluar, serta inkaso tidak masuk penjaminan karena bukan tergolong simpanan.

Bayar Premi

Sebagai peserta penjaminan, tiap bank diwajibkan membayar premi penjaminan dan biaya kepesertaan. Premi ditetapkan sebesar 0,1% yang dihitung dari saldo rata-rata simpanan setiap periode (Januari-Juni dan Juni-Desember). Biaya kepesertaan 0,1% dari modal dan hanya sekali ditarik saat bank bersangkutan mendaftar sebagai peserta penjaminan LPS.

Berdasarkan UU, nilai simpanan setiap nasabah pada satu bank yang dijamin maksimal Rp 100 juta. Tetapi pemberlakuan ketentuan itu dilaksanakan secara bertahap, yaitu enam bulan pertama sejak LPS beroperasi 22 September 2005 sampai 21 Maret 2006 yang dijamin adalah seluruh simpanan berupa tabungan, giro, deposito, sertifikat deposito, dan yang dipersamakan.

Kemudian, enam bulan berikutnya, yaitu 22 Maret 2006 sampai 21 September 2006 jumlah simpanan paling tinggi yang dijamin Rp 5 miliar. Periode 22 September 2006 hingga 21 Maret 2007 jumlah simpanan yang dijamin Rp 1 miliar, dan terhitung mulai 22 Maret 2007 simpanan yang dijamin maksimal Rp 100 juta. Terakhir, simpanan yang memperoleh penjaminan ditetapkan Rp 2 miliar.

Perubahan penjaminan ke nilai simpanan yang terbatas mengandung dua maksud. Pertama, mengajak kalangan perbankan terus proaktif membangun kepercayaan nasabahnya dan senantiasa meningkatkan profesionalitas karena bank yang menjamin sisa penjaminan LPS.

Kedua, masyarakat pada umumnya dan nasabah khususnya perlu mengerti dan memahami bahwa simpanan yang dijamin oleh LPS adalah Rp 2 miliar dan bukan berarti sisanya tidak dijamin, karena selisihnya tetap mendapatkan penjaminan dari bank. Jadi, ada semacam tanggung jawab dari masing-masing bank baik terhadap nasabahnya maupun pada kinerjanya sehingga terhindar dari kemungkinan kolaps atau goyah. Kalau goyah, mereka tidak lagi bisa menumpukan penjaminan kepada pemerintah dan lepas tangan begitu saja.

Kita tentu masih ingat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada saat krisis ekonomi 1997 dan sesudahnya. Bantuan yang berasal dari uang rakyat itu justru diselewengkan oleh beberapa bankir. Bahkan ada yang sengaja membangkrutkan bank yang dikelola dan membawa lari BLBI ratusan miliar rupiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar