Lengser
Keprabon Madeg Pandhita
Musyafak ; Staf
di Balai Litbang Agama Semarang
|
KORAN
TEMPO, 22 Oktober 2014
Tujuh belas tahun silam, tepat pada 20 Oktober 1997, Soeharto, sang prabu
Orde Baru, menyatakan dirinya hendak lengser keprabon madeg pandhita. Sang
prabu bermaksud melepaskan jabatannya sebagai presiden, kemudian menjadi
seorang pendeta. Keinginan makzul itu disampaikan di hadapan pengurus partai
beringin yang ditanam dan dirawat sang prabu hingga tumbuh besar. Namun sang
prabu tetap dicalonkan sebagai presiden oleh partainya. Pada 10 Maret 1998,
Majelis Permusyawaratan Rakyat menobatkan kembali sang prabu sebagai presiden
ketujuh kalinya, meski akhirnya penolakan rakyat terhadapnya kian masif, yang
memaksanya mundur jabatan pada 21 Mei 1998. Sang prabu itu tak lain adalah
Pak Harto.
Ungkapan lengser keprabon mandeg pandhita itu tak mudah dimaknai,
sekalipun oleh orang Jawa. Sebab, sepanjang sejarah kerajaan-kerajaan Jawa,
tak ada pakem yang mengatur kapan seorang raja mesti turun takhta. Kecuali
keikhlasan untuk mewariskan kekuasaan kepada anak-cucu keturunannya,
makzulnya sang raja lumrahnya terjadi karena kekerasan, perang, atau tipu
daya politik. Namun, di masa krisis politik itu, Pak Harto, yang njawani,
berupaya mendekonstruksi ungkapan lengser keprabon sebagai laku meninggalkan
takhta secara sukarela untuk kemudian hidup di pertapaan sebagai begawan yang
mulia nan bijaksana (madeg pandhita). Begawan atau pendeta cuma akan berperan
memberi nasihat seperlunya kepada penguasa berikutnya.
Tapi tafsir lain pun muncul di tengah gelombang reformasi penjungkiran
Orde Baru. Emha Ainun Nadjib, dalam wawancaranya dengan Tempo (Edisi 34/2-25 Oktober 1997),
menengarai hal itu sebagai sandiwara yang diciptakan Pak Harto agar terkesan
bahwa dia diminta kembali oleh rakyat melalui MPR untuk memimpin bangsa
Indonesia. Adapun Golkar, yang mencalonkannya kembali, adalah satu adegan
untuk meyakinkan publik bahwa Pak Harto masih dikehendaki oleh rakyat.
Itu riwayat Pak Harto, yang selepasnya lengser keprabon entah dianggap
sebagai begawan atau tidak. Hari ini tafsir rakyat tentang itu tentu
lain-lain.
Pada 20 Oktober ini, SBY lengser keprabon secara konstitusional. Joko
Widodo naik takhta kepresidenan setelah dipilih rakyat pada pilpres 9 Juli
lalu. Terlepas dari prestasi dan berbagai kritik pedas terhadapnya, rakyat
ingin SBY madeg pandhita setelah lengser keprabon. SBY diidamkan menjadi
seorang pendeta atau begawan politik untuk memberi nasihat-nasihat kepada
Joko Widodo supaya mampu memimpin bangsa dengan baik. Bahkan SBY dielu-elukan
sebagai tokoh yang potensial mencairkan ketegangan antara Koalisi Indonesia
Hebat dan Koalisi Pendukung Prabowo (KPP).
Pengidaman SBY sebagai begawan tentunya tak kalis dari
pandangan-pandangan pesimistik. Pertama, posisi SBY sebagai Ketua Umum Partai
Demokrat akan menuntutnya berperan aktif dalam politik. Jabatan kepartaian
itu takkan mengizinkan SBY bertapa di "kesunyian" dan hanya
"turun gunung" ketika keadaan sudah genting. Kedua, selama ini SBY
dinilai publik kerap melakukan sandiwara politik. Dari pernyataan politik SBY
yang netral (tidak berpihak kepada KIH ataupun KPP) ketika pemilu, drama walk-out sidang pengesahan UU Pilkada,
sampai drama Perppu Pilkada langsung di ujung jabatannya.
Mampukah SBY lengser keprabon madeg pandhita? Waktu yang akan
menjawabnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar