Jumat, 24 Oktober 2014

Lengser Keprabon Madeg Pandhita

Lengser Keprabon Madeg Pandhita

Musyafak  ;  Staf di Balai Litbang Agama Semarang
KORAN TEMPO, 22 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Tujuh belas tahun silam, tepat pada 20 Oktober 1997, Soeharto, sang prabu Orde Baru, menyatakan dirinya hendak lengser keprabon madeg pandhita. Sang prabu bermaksud melepaskan jabatannya sebagai presiden, kemudian menjadi seorang pendeta. Keinginan makzul itu disampaikan di hadapan pengurus partai beringin yang ditanam dan dirawat sang prabu hingga tumbuh besar. Namun sang prabu tetap dicalonkan sebagai presiden oleh partainya. Pada 10 Maret 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat menobatkan kembali sang prabu sebagai presiden ketujuh kalinya, meski akhirnya penolakan rakyat terhadapnya kian masif, yang memaksanya mundur jabatan pada 21 Mei 1998. Sang prabu itu tak lain adalah Pak Harto.

Ungkapan lengser keprabon mandeg pandhita itu tak mudah dimaknai, sekalipun oleh orang Jawa. Sebab, sepanjang sejarah kerajaan-kerajaan Jawa, tak ada pakem yang mengatur kapan seorang raja mesti turun takhta. Kecuali keikhlasan untuk mewariskan kekuasaan kepada anak-cucu keturunannya, makzulnya sang raja lumrahnya terjadi karena kekerasan, perang, atau tipu daya politik. Namun, di masa krisis politik itu, Pak Harto, yang njawani, berupaya mendekonstruksi ungkapan lengser keprabon sebagai laku meninggalkan takhta secara sukarela untuk kemudian hidup di pertapaan sebagai begawan yang mulia nan bijaksana (madeg pandhita). Begawan atau pendeta cuma akan berperan memberi nasihat seperlunya kepada penguasa berikutnya.

Tapi tafsir lain pun muncul di tengah gelombang reformasi penjungkiran Orde Baru. Emha Ainun Nadjib, dalam wawancaranya dengan Tempo (Edisi 34/2-25 Oktober 1997), menengarai hal itu sebagai sandiwara yang diciptakan Pak Harto agar terkesan bahwa dia diminta kembali oleh rakyat melalui MPR untuk memimpin bangsa Indonesia. Adapun Golkar, yang mencalonkannya kembali, adalah satu adegan untuk meyakinkan publik bahwa Pak Harto masih dikehendaki oleh rakyat.

Itu riwayat Pak Harto, yang selepasnya lengser keprabon entah dianggap sebagai begawan atau tidak. Hari ini tafsir rakyat tentang itu tentu lain-lain.

Pada 20 Oktober ini, SBY lengser keprabon secara konstitusional. Joko Widodo naik takhta kepresidenan setelah dipilih rakyat pada pilpres 9 Juli lalu. Terlepas dari prestasi dan berbagai kritik pedas terhadapnya, rakyat ingin SBY madeg pandhita setelah lengser keprabon. SBY diidamkan menjadi seorang pendeta atau begawan politik untuk memberi nasihat-nasihat kepada Joko Widodo supaya mampu memimpin bangsa dengan baik. Bahkan SBY dielu-elukan sebagai tokoh yang potensial mencairkan ketegangan antara Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Pendukung Prabowo (KPP).

Pengidaman SBY sebagai begawan tentunya tak kalis dari pandangan-pandangan pesimistik. Pertama, posisi SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat akan menuntutnya berperan aktif dalam politik. Jabatan kepartaian itu takkan mengizinkan SBY bertapa di "kesunyian" dan hanya "turun gunung" ketika keadaan sudah genting. Kedua, selama ini SBY dinilai publik kerap melakukan sandiwara politik. Dari pernyataan politik SBY yang netral (tidak berpihak kepada KIH ataupun KPP) ketika pemilu, drama walk-out sidang pengesahan UU Pilkada, sampai drama Perppu Pilkada langsung di ujung jabatannya.

Mampukah SBY lengser keprabon madeg pandhita? Waktu yang akan menjawabnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar