Paradoksal
Keuangan BUMN
Dian Puji N Simatupang ; Ketua
Bidang Studi Hukum Administrasi Negara;
Koordinator Kuliah Hukum Anggaran Negara dan Keuangan
Publik FHUI
|
KOMPAS,
22 Oktober 2014
OPINI mengenai ”Pemisahan
Kekayaan Negara di BUMN” yang ditulis W Riawan Tjandra (Kompas, 1 Oktober 2014) secara teori
hukum cenderung sangat positif. Dalam perspektif hukum keuangan publik,
putusan Mahkamah Konstitusi No 48 dan No 62/PUU-XI/2013 tidak mengakhiri
perdebatan status hukum keuangan badan usaha milik negara, tetapi memulai
formalisme paradoksal keuangan BUMN. Paradoksal yang sebelumnya merupakan
diskursus penerapan norma menjadi diformalkan oleh putusan MK tersebut.
Alhasil, masalah dalam BUMN sebagai saka guru perekonomian negara bukanlah akan berkurang, tetapi meningkat
ke arah masalah yang tidak mungkin distrukturkan (ill-structred problems).
Paradoksal
norma
Paradoksal norma status hukum keuangan BUMN sebagai keuangan negara
adalah paradoks atas wewenang pengelola BUMN yang tidak berstatus sebagai
pegawai negeri, tetapi pegawai BUMN. Menurut Undang-Undang Perbendaharaan
Negara, pengelola keuangan negara merupakan pegawai negeri, bendahara, dan
pejabat negara. Namun, UU Perbendaharaan Negara tidak mengatur norma wewenang
pegawai BUMN sebagai pengelola keuangan.
Paradoksal norma lainnya berkaitan dengan tindakan tata usaha negara
pemerintah yang berbeda dengan tindakan korporasi dalam BUMN. Jika keuangan
BUMN adalah keuangan negara, itu berarti tindakan korporasi dalam BUMN adalah
tindakan tata usaha negara yang dapat disengketakan juga di peradilan tata
usaha negara. Padahal, secara yuridis formal, keputusan dan tindakan
korporasi tidak termasuk ke dalam obyek peradilan tata usaha negara.
Anggapan keuangan BUMN bukan keuangan negara akan memarjinalkan
pengendalian negara dalam pengelolaan BUMN mengandung irasionalitas,
sekaligus contradictio in terminis dalam kedudukan BUMN sebagai badan hukum
perdata.
Irasionalitas karena negara adalah badan hukum publik yang memiliki
kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan negara, yang dilekati wewenang
administrasi negara dan memiliki wewenang menegakkannya dengan cara in cauda
venenum dengan sejumlah ketentuan
pidana. Jika pengelola BUMN melakukan moral hazard dalam pengelolaan BUMN,
negara memiliki wewenang publik luar biasa untuk menegakkannya. Namun, di
sisi lain, negara sebagai pemegang saham memiliki kewenangan korporasi untuk
mengendalikan, mengatur, dan melakukan tindakan korporasi terhadap pengelola
BUMN.
Sementara itu, contradictio in terminis jelas terjadi jika keuangan
BUMN adalah keuangan negara, yaitu untuk alasan apa lagi negara melakukan
pemisahan kekayaan negara dengan menerbitkan peraturan pemerintah. Bukankah
jika keuangan BUMN adalah keuangan negara, pemerintah dan DPR cukup
merumuskannya dalam UU APBN?
Padahal, secara teori hukum, pemisahan kekayaan negara atau inbreng
merupakan tindakan administrasi negara untuk melegalisasi pemisahan hak dan
kewajiban negara. Hal ini agar seluruh hak dan kewajiban BUMN nantinya tidak
mengganggu hak dan kewajiban negara dalam melaksanakan tujuan bernegara dan
pengelolaan APBN. Dengan demikian, APBN tidak akan terganggu atas kemungkinan
tagihan BUMN yang langsung diarahkan kepada negara sebagai pemegang saham
melalui APBN.
Salah
kira
Jelas putusan MK yang menyatakan inbreng tidak mengubah status hukum
keuangan merupakan contradictio in terminis dalam memahami maksud frasa
”menguasai negara”. Akibatnya, secara hukum APBN tidak lagi memiliki batas
pertanggungjawaban dan batas kewajiban membayar risiko karena begitu luas dan
dalamnya pengertian keuangan negara.
Pemahaman keuangan BUMN sebagai keuangan negara lebih didasarkan pada
emosionalitas dibandingkan dengan rasionalitas ilmiah hukum. Penalarannya
cenderung salah kira (dwaling),
khususnya terhadap maksud dan tujuan pemisahan kekayaan negara dan hakikat
BUMN itu sendiri. Bahkan, yang paling keliru adalah menyatakan jika keuangan
BUMN bukan keuangan negara, moral hazard dalam bentuk tindakan melawan hukum
pidana tidak lagi dapat diselesaikan dengan penegakan hukum pidana.
Padahal, tindakan dalam bentuk paksaan (dwang) atau penyuapan (omkoperij)
dan tipuan yang bersifat muslihat (kuntsgrepen)
dalam ranah keuangan mana pun, baik keuangan negara maupun keuangan BUMN,
tetap harus ditegakkan dengan hukum pidana. Khususnya sepanjang UU
mengaturnya sebagai perbuatan korupsi. Oleh karena itu, emosionalitas tak
boleh mengalahkan rasionalitas hukum. Dengan demikian, tetap menjadi tugas
teori hukum untuk menuntaskan diskursus status keuangan BUMN ini pada
statusnya yang rasional menurut kebenaran, dan bukan meminta diakhiri karena
sekadar sebuah putusan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar