Kamis, 23 Oktober 2014

Paradoksal Keuangan BUMN

Paradoksal Keuangan BUMN

Dian Puji N Simatupang  ;  Ketua Bidang Studi Hukum Administrasi Negara;
Koordinator Kuliah Hukum Anggaran Negara dan Keuangan Publik FHUI
KOMPAS, 22 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


OPINI mengenai ”Pemisahan Kekayaan Negara di BUMN” yang ditulis W Riawan Tjandra (Kompas, 1 Oktober 2014) secara teori hukum cenderung sangat positif. Dalam perspektif hukum keuangan publik, putusan Mahkamah Konstitusi No 48 dan No 62/PUU-XI/2013 tidak mengakhiri perdebatan status hukum keuangan badan usaha milik negara, tetapi memulai formalisme paradoksal keuangan BUMN. Paradoksal yang sebelumnya merupakan diskursus penerapan norma menjadi diformalkan oleh putusan MK tersebut. Alhasil, masalah dalam BUMN sebagai saka guru perekonomian negara  bukanlah akan berkurang, tetapi meningkat ke arah masalah yang tidak mungkin distrukturkan (ill-structred problems).

Paradoksal norma

Paradoksal norma status hukum keuangan BUMN sebagai keuangan negara adalah paradoks atas wewenang pengelola BUMN yang tidak berstatus sebagai pegawai negeri, tetapi pegawai BUMN. Menurut Undang-Undang Perbendaharaan Negara, pengelola keuangan negara merupakan pegawai negeri, bendahara, dan pejabat negara. Namun, UU Perbendaharaan Negara tidak mengatur norma wewenang pegawai BUMN sebagai pengelola keuangan.

Paradoksal norma lainnya berkaitan dengan tindakan tata usaha negara pemerintah yang berbeda dengan tindakan korporasi dalam BUMN. Jika keuangan BUMN adalah keuangan negara, itu berarti tindakan korporasi dalam BUMN adalah tindakan tata usaha negara yang dapat disengketakan juga di peradilan tata usaha negara. Padahal, secara yuridis formal, keputusan dan tindakan korporasi tidak termasuk ke dalam obyek peradilan tata usaha negara.

Anggapan keuangan BUMN bukan keuangan negara akan memarjinalkan pengendalian negara dalam pengelolaan BUMN mengandung irasionalitas, sekaligus contradictio in terminis dalam kedudukan BUMN sebagai badan hukum perdata.

Irasionalitas karena negara adalah badan hukum publik yang memiliki kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan negara, yang dilekati wewenang administrasi negara dan memiliki wewenang menegakkannya dengan cara in cauda venenum  dengan sejumlah ketentuan pidana. Jika pengelola BUMN melakukan moral hazard dalam pengelolaan BUMN, negara memiliki wewenang publik luar biasa untuk menegakkannya. Namun, di sisi lain, negara sebagai pemegang saham memiliki kewenangan korporasi untuk mengendalikan, mengatur, dan melakukan tindakan korporasi terhadap pengelola BUMN.

Sementara itu, contradictio in terminis jelas terjadi jika keuangan BUMN adalah keuangan negara, yaitu untuk alasan apa lagi negara melakukan pemisahan kekayaan negara dengan menerbitkan peraturan pemerintah. Bukankah jika keuangan BUMN adalah keuangan negara, pemerintah dan DPR cukup merumuskannya dalam UU APBN?

Padahal, secara teori hukum, pemisahan kekayaan negara atau inbreng merupakan tindakan administrasi negara untuk melegalisasi pemisahan hak dan kewajiban negara. Hal ini agar seluruh hak dan kewajiban BUMN nantinya tidak mengganggu hak dan kewajiban negara dalam melaksanakan tujuan bernegara dan pengelolaan APBN. Dengan demikian, APBN tidak akan terganggu atas kemungkinan tagihan BUMN yang langsung diarahkan kepada negara sebagai pemegang saham melalui APBN.

Salah kira

Jelas putusan MK yang menyatakan inbreng tidak mengubah status hukum keuangan merupakan contradictio in terminis dalam memahami maksud frasa ”menguasai negara”. Akibatnya, secara hukum APBN tidak lagi memiliki batas pertanggungjawaban dan batas kewajiban membayar risiko karena begitu luas dan dalamnya pengertian keuangan negara.

Pemahaman keuangan BUMN sebagai keuangan negara lebih didasarkan pada emosionalitas dibandingkan dengan rasionalitas ilmiah hukum. Penalarannya cenderung salah kira (dwaling), khususnya terhadap maksud dan tujuan pemisahan kekayaan negara dan hakikat BUMN itu sendiri. Bahkan, yang paling keliru adalah menyatakan jika keuangan BUMN bukan keuangan negara, moral hazard dalam bentuk tindakan melawan hukum pidana tidak lagi dapat diselesaikan dengan penegakan hukum pidana.

Padahal, tindakan dalam bentuk paksaan (dwang) atau penyuapan (omkoperij) dan tipuan yang bersifat muslihat (kuntsgrepen) dalam ranah keuangan mana pun, baik keuangan negara maupun keuangan BUMN, tetap harus ditegakkan dengan hukum pidana. Khususnya sepanjang UU mengaturnya sebagai perbuatan korupsi. Oleh karena itu, emosionalitas tak boleh mengalahkan rasionalitas hukum. Dengan demikian, tetap menjadi tugas teori hukum untuk menuntaskan diskursus status keuangan BUMN ini pada statusnya yang rasional menurut kebenaran, dan bukan meminta diakhiri karena sekadar sebuah putusan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar