Program
100 Hari Bidang Luar Negeri
Hikmahanto Juwana ; Guru
Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
28 Oktober 2014
JOKO WIDODO dan M Jusuf Kalla telah resmi menjadi Presiden dan
Wakil Presiden RI sejak 20 Oktober 2014. JKW-JK akan dipantau publik terkait
dengan janji-janji kampanyenya. Sebagai contoh, dalam mewujudkan janji
kampanye, publik akan melihat 100 hari kinerja pemerintahan Jokowi. Salah
satunya di bidang luar negeri.
Kedaulatan
Salah satu janji bidang luar negeri pemerintahan Jokowi adalah
menjaga kedaulatan dan kepentingan nasional. Dalam konteks ini, kebijakan
luar negeri pemerintahan Jokowi akan berbeda dengan pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono berupa thousand
friends, zero enemy (teman seribu, musuh nol). Pemerintahan Jokowi yang
akan menekankan masalah bilateral harus meninggalkan kebijakan luar negeri
pemerintahan SBY. Pemerintah akan keras serta tegas jika kedaulatan dan
kepentingan nasional direndahkan serta diganggu negara lain.
Untuk menunjukkan kebijakan ini, dalam 100 hari pemerintahan
Jokowi, dapat dilakukan sejumlah hal. Pertama, pemerintah harus tegas apabila
di wilayah perbatasan ada gangguan dari negara lain.
Beberapa hari sebelum pengambilan sumpah JKW-JK, Malaysia
membongkar mercusuar yang dibangun di perairan dekat Tanjung Datu. Hal ini
tidak terjadi ketika SBY menjadi presiden meski telah dilakukan survei
bersama di antara dua negara dan terbukti mercusuar berada di landas kontinen
Indonesia.
Masih dalam isu perbatasan, apabila pada masa 100 hari
pemerintahan Jokowi, Pemerintah Australia secara unilateral dan tidak sah
mengembalikan para pencari suaka melalui laut, pemerintah harus tegas.
Kita tidak ingin terulang kebijakan unilateral Australia
didiamkan dan dimengerti. Contohnya, insiden pada Desember 2013, ketika
menurut Australia kapal perang mereka secara tidak sengaja memasuki wilayah
laut teritorial Indonesia, itu tak boleh terulang. Kapal tersebut masuk
wilayah laut teritorial Indonesia karena ingin memastikan kapal yang
digunakan pencari suaka kembali ke Indonesia.
Juga kejadian tahun ini, dua kali insiden sebuah kapal berwarna
oranye tanpa tanda kebangsaan, diduga dari Australia, berisi para pencari
suaka terdampar di wilayah Indonesia. Pemerintah tidak melakukan apa pun.
Kebijakan Pemerintah Australia yang bersifat unilateral dan melanggar
kedaulatan Indonesia harus direspons secara tegas oleh pemerintahan Jokowi.
Perjanjian internasional
Kebijakan luar negeri lain yang dapat dijadikan contoh selama
100 hari adalah meminta Singapura untuk memisahkan perjanjian ekstradisi
dengan perjanjian kerja sama pertahanan (defence
cooperation agreement/DCA). Kedua perjanjian ini telah ditandatangani
Presiden SBY dan Perdana Menteri Lee Hsien Loong pada 2007.
Singapura mengajukan syarat atas kesediaan menandatangani
perjanjian ekstradisi agar DCA diratifikasi secara paket. Padahal, bagi
Indonesia, banyak kerugian yang ditimbulkan dari DCA yang dinegosiasikan
dalam keadaan terburu-buru. Pemerintahan Jokowi harus dapat meyakinkan
Pemerintah Singapura untuk menghilangkan syarat bagi ratifikasi perjanjian
ekstradisi. Kemudian, untuk perjanjian DCA, perlu dinegosiasikan kembali.
Ada tiga argumentasi mengapa perjanjian ekstradisi penting bagi
Singapura tanpa DCA. Pertama, sebagai sesama negara anggota ASEAN, Singapura
harus menunjukkan solidaritasnya. Indonesia yang sedang giat memberantas
korupsi dan kejahatan kerah putih di Indonesia harus mendapat bantuan dari
Singapura. Para koruptor dan pelaku kejahatan kerah putih kerap melarikan
diri ke Singapura.
Argumentasi kedua, Pemerintah Jokowi ingin membantu memperbaiki
persepsi publik Indonesia terhadap Singapura. Persepsi yang ada dalam publik
Indonesia adalah Singapura sebagai surga bagi para koruptor dan pelaku
kejahatan kerah putih asal Indonesia. Argumentasi ketiga, Pemerintah Jokowi
akan segera merenegosiasi DCA apabila perjanjian ekstradisi telah
diratifikasi kedua negara. Dengan demikian, Singapura akan mendapat tempat
untuk melakukan latihan militer tanpa merongrong kedaulatan Indonesia.
Di samping itu, pemerintahan Jokowi harus mulai menegosiasikan
pengembalian pengelolaan flight
information region (FIR) yang berada di atas Kepulauan Riau oleh
Singapura.
Meski demikian, perlu dipahami, masalah FIR bukan hanya masalah
bilateral kedua negara mengingat ada keterlibatan Organisasi Penerbangan
Sipil Internasional (ICAO). Pemerintahan Jokowi harus dapat meyakinkan
Singapura dan dunia internasional soal kesiapan Indonesia, dengan menggunakan
standar Singapura, dalam mengoperasikan FIR di atas Kepulauan Riau.
Pemerintahan Jokowi juga harus memulai negosiasi perjanjian
bilateral dengan negara-negara yang menjadi tujuan para tenaga kerja
Indonesia (TKI). Perjanjian ini merupakan syarat yang ditentukan oleh
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Dalam rangka perlindungan terhadap TKI, pemerintahan Jokowi
perlu membangun sistem pendeteksian dini TKI yang mengalami masalah hukum.
Perwakilan Indonesia di negara tujuan TKI harus dapat responsif dan efektif
dalam menjalankan fungsi ini. Ukuran keberhasilan, mereka tidak boleh kalah
cepat daripada lembaga swadaya masyarakat yang aktif mengadvokasi
perlindungan bagi TKI.
Pemasar
Kebijakan lain yang perlu dilakukan dalam kurun waktu 100 hari
pertama untuk mewujudkan ide Presiden Jokowi agar perwakilan Indonesia di
luar negeri menjadi agen pemasar (marketing
agent) adalah semua perwakilan Indonesia di luar negeri harus membuat
profil peluang pasar bagi pelaku usaha asal Indonesia, termasuk BUMN.
Paling tidak, ada tiga hal utama yang harus masuk dalam laporan
profil tersebut. Pertama, mengidentifikasi potensi produk dan jasa yang
terbuka bagi pelaku usaha Indonesia. Kedua, mengevaluasi hal-hal yang menjadi
halangan dan rintangan bagi pelaku usaha dalam memasarkan produknya. Ini
termasuk evaluasi terhadap iklim investasi dan peraturan perundang-undangan
di negara setempat.
Ketiga, para kepala perwakilan diminta memberikan evaluasi
terhadap hal-hal yang jadi kelemahan para diplomat untuk dapat memasarkan
produk dan jasa asal Indonesia secara efektif.
Yang disampaikan di atas intinya adalah urusan luar negeri dalam
masa 100 hari pemerintahan Jokowi lebih ditekankan pada hubungan bilateral.
Ini mengingat, dalam hubungan bilateral, masyarakat dapat langsung merasakan
manfaat urusan luar negeri Indonesia. Sementara hubungan regional dan
multilateral, meski tidak kalah penting, kurang dapat dirasakan manfaatnya
oleh rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar