Perampasan
Roh dan Hak Olahraga
Eddi Elison ; Pengamat
Olahraga Nasional
|
KORAN
TEMPO, 28 Oktober 2014
Saya ingin menyampaikan kondisi keolahragaan nasional saat ini
secara singkat: bahwa olahraga nasional sejak era Reformasi 16 tahun lalu
berada dalam kondisi parah. Dalam percaturan multi-event global, seperti
Asian Games atau Olympic Games, posisi Indonesia selalu berada dekat
"buntut", dan yang terakhir gagal total dalam Asian Games XVII di
Incheon, Korea Selatan. Bahkan, untuk kawasan Asia Tenggara yakni SEA Games,
Indonesia-negara terbesar dan terbanyak penduduknya-hanya mampu menjadi juara
umum jika menjadi tuan rumah. Sungguh memprihatinkan! Mengapa semua itu
terjadi?
Pertama, political will pemerintah terhadap pembinaan olahraga
sangat tipis, terlihat dari anggaran yang diterima Kemenpora, yakni pada 2013
Rp 1,9 triliun dan pada 2014 Rp 1,8 triliun (0,1 persen dari total APBN).
Padahal Kemenpora menangani sektor selain olahraga, yakni kepemudaan dan
kepramukaan. Dengan demikian, tidak mengherankan jika Kemenpora, KONI, KOI,
serta induk organisasi olahraga lain merangkak dan melata di bidang pendanaan
karena harus mempersiapkan atlet untuk mengikuti event internasional. Bahkan
ada pengurus induk cabang olahraga yang dana pribadinya ludes kena tipu
perusahaan pemenang tender, akibat ketidaktegasan Kemenpora.
Kedua, terjadinya benturan psikologis dan baku tuding antara
KONI dan KOI plus top organisasi cabang olahraga akibat sumirnya Pasal
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
Ketiga, semakin berseminya kebijakan transaksional, terutama
dalam tubuh cabang olahraga populer yang gampang dibisniskan.
Selama ini, tampaknya masyarakat luas terselimuti oleh kondisi
perekonomian dan perpolitikan sehingga melupakan fakta-fakta kesejarahan
olahraga. Ingat, landasan dasar kebangkitan keolahragaan nasional berasal
dari Kompleks Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta. Dengan adanya Asian
Games IV 1962 dan Ganefo I 1963 di Jakarta, keolahragaan nasional menggebrak
dunia, tidak saja kemampuan sebagai penyedia sarana dan penyelenggara, tapi
juga dari segi prestasi (Asian Games IV, Indonesia menduduki posisi kedua
setelah Jepang, sedangkan dalam Ganefo berada di posisi ketiga setelah RRC
dan Uni Soviet).
Pemerintah setelah Bung Karno telah merampas roh dan hak
keolahragaan nasional. Gedung MPR/DPR, yang tadinya dalam Kompleks GBK, dijadikan
markas besar perpolitikan bangsa, di mana problematika keolahragaan nasional
diposisikan sebagai "nomor sepatu". Sedangkan akibat merambasnya
virus ekonomi, sebagian besar Kompleks GBK kini telah menjadi pusat bisnis,
yang mengakibatkan setiap kali pelatnas diberlakukan, KONI atau cabang
olahraga "kalang kabut" mencari tempat. Padahal pada era Bung Karno
tersedia sarana untuk semua pelatnas di GBK.
Selain itu, masyarakat--apalagi negara-sama sekali tidak
memaknai lagi roh dan nilai bait lagu Indonesia Raya: "Bangunlah
jiwanya, bangunlah badannya… untuk Indonesia Raya…" Lagu Kebangsaan itu
hanya menjadi penghias bibir untuk acara-acara resmi, tanpa sadar bahwa di
bait tertentu ada pernyataan bahwa olahraga berfungsi untuk membangun
karakter bangsa.
Kabinet Joko Widodo telah mencanangkan perubahan dan revolusi
mental serta berniat melaksanakan Trisakti dengan "bekerja dan
bekerja". Masyarakat ingin menyaksikan apakah Menpora baru mampu
mengimplementasikannya? Ujian pertama, mari kita tunggu hasil SEA Games di
Singapura, Juni mendatang! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar