Rabu, 29 Oktober 2014

NIIS : Produk Kontestasi Arab-Iran

NIIS : Produk Kontestasi Arab-Iran

Smith Alhadar  ;  Penasihat pada The Indonesian Society for Middle East Studies
KOMPAS, 28 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


KEKHALIFAHAN baru bernama ISIL atau ISIS atau NIIS (Negara Islam di Irak dan Suriah) di Timur Tengah adalah kelompok Islam ultrakonservatif yang dipimpin khalifah Abu Bakar al-Baghdadi. Ketika pertama kali muncul di publik pada shalat Jumat di Masjid Mosul, Irak, pertengahan Juli lalu, Al-Baghdadi menyampaikan khotbah persis sama dengan pidato Abu Bakar as-Shiddiq, khalifah pertama Islam. ”Tegurlah bila saya salah, dan bantulah bila saya benar.”

Kendati nama dan pidatonya sama dengan khalifah pertama, Al-Baghdadi—bekas intel pada masa kekuasaan Presiden Irak Saddam Hussein—adalah sosok flamboyan yang sangat ganas. Begitu menguasai sebagian wilayah di Irak utara dan Suriah utara, pemeluk Sunni ini memerintahkan pemburuan terhadap kelompok Syiah, Kristen, dan Yazidis. Dua kelompok minoritas terakhir merupakan penduduk asli dengan agama yang ada jauh sebelum Islam.

Gereja-gereja berusia 1.000-an tahun dan masjid-masjid bersejarah (Masjid Nabi Yunus dan Masjid Nabi Daniel) yang dipandang sebagai masjid suci dan diziarahi, dihancurkan. Padahal, Al Quran melarang perusakan rumah ibadah apa pun, penebangan pohon, dan pembunuhan terhadap orang lanjut usia, perempuan, dan anak-anak, bahkan dalam keadaan perang sekalipun.

Munculnya negara teokrasi primitif ini tak bisa dilepaskan dari penghancuran rezim Saddam Hussein yang mengendalikan Irak dengan tangan besi. Amerika Serikat mengobrak-abrik rezim sosialis Arab Irak itu tanpa mempertimbangkan dampaknya.

Manifestasi kebijakan politik AS di Timur Tengah, yang dimulai dari Irak, tidak didasari kajian sosial, agama, budaya, sejarah, dan politik Irak secara komprehensif. Penghancuran rezim Irak, yang diikuti perubahan UUD berdasarkan garis etnis, mazhab agama, demografi, dan sumber daya ekonomi.

Para pembuat undang-undang dasar (UUD), yang didominasi kelompok Syiah dan Kurdi, memberi keuntungan politik dan ekonomi pada Sunni-Kurdi (sekitar 20 persen dari total penduduk Irak) di utara, Syiah-Arab di selatan (60 persen), dan merugikan Sunni-Arab di tengah (20 persen). Alih-alih menjadi negara demokrasi, Irak tercebur ke dalam situasi anarkis yang makin menyengsarakan rakyat Irak. Padahal, sebelum perang 1991, Irak adalah salah satu negara Arab yang maju dan makmur.

UUD Irak itu juga memberi peluang bagi penerapan politik dan budaya etnis di wilayah Kurdi dan politik eksklusif Syiah di selatan. Orang Sunni-Arab dan Al Qaeda di bawah pimpinan Mushab al-Zarqawi mulai membunuh dan mengebom Syiah sebagai balas dendam sekaligus memancing perang sektarian. Terjadilah konflik memilukan sepanjang 2006-2007.

Iran masuk dengan agenda memperkuat sekutu Syiahnya untuk menjadikan Irak negara Syiah baru. Setelah bekerja sama dengan Tentara Mahdi pimpinan ulama Syiah muda yang berpengaruh, Muqtada as-Sadr, kekuasaan Syiah kokoh bercokol di Jazirah Arab bagian utara, yang merentang dari Irak di timur sampai Lebanon di barat, yang menekan secara signifikan negara-negara Sunni-Arab yang menghuni Jazirah Arab di selatan.

Upaya kebangkitan Syiah di Irak ini ingin dimentahkan negara-negara Sunni-Arab dengan membantu uang dan senjata kepada kelompok Sunni-Irak, yang sebagian jatuh ke tangan Al Qaeda, setelah gagalnya usaha rekonsiliasi antara Sunni-Syiah di Kairo sebelum UUD disusun.

Meluas ke Suriah

Permainan selanjutnya meluas ke Suriah. Sekutu Iran ini menjadi sasaran penghancuran pengaruh Iran (Syiah) dengan memanfaatkan pemberontakan Sunni terhadap rezim sosialis diktator yang didominasi minoritas Syiah Alawiyyah dukungan Iran. Sebagaimana di Irak, uang dan senjata dari negara-negara Arab Sunni pun mengalir ke para pemberontak, sebagian jatuh ke tangan Front al-Nusra, sayap Al Qaeda.

Pemberontakan itu berhasil merebut sebagian wilayah Suriah, tetapi gagal menjatuhkan rezim. Tujuannya adalah menciptakan deadlock, untuk memaksa kedua pihak yang bertikai berdamai. Belajar dari kesalahan di Irak, skenario ini masuk akal untuk menghindari Suriah jatuh ke situasi anarkis seperti di Irak.

Namun, deadlock justru menguntungkan Front al-Nusra: semakin lama perang berlangsung, semakin besar peluang bagi perluasan dan pembersihan wilayah yang ditinggalkan rezim, dan semakin besar uang dan senjata masuk. Sang khalifah NIIS, Abu Bakar al-Baghdadi, sebagai mantan militer dan staf intelijen rezim Saddam Hussein, tentu memahami betul politik. Melihat situasinya sudah matang untuk mendirikan negara baru, Al-Baghdadi membelot dari Front al-Nusra dan pada Juni lalu NIIS diproklamirkan dengan membonceng nama kekhilafahan Islam.

Situasi anarkis, ketidakadilan, dan kezaliman yang berlangsung lama membuat NIIS bisa menang cepat, persis seperti fenomena Taliban di Afganistan delapan belas tahun lalu. Deadlock di antara para mujahidin Afganistan dalam memperebutkan kekuasaan di Kabul pasca kekalahan Uni Soviet yang berlangsung tujuh tahun (1989-1996) mempermudah Taliban yang fanatik, yang bercita-cita mendirikan negara teokrasi primitif seperti juga NIIS, dan menjanjikan tiga kebutuhan dasar, dengan mudah disambut rakyat yang sengsara selama hampir dua dekade.

Tampaknya, NIIS akan bernasib sama dengan Taliban, tetapi kejatuhannya harus dipercepat sebelum ideologi terorisme terekspor keluar, khususnya ke Indonesia, melalui orang-orang Indonesia yang kini ikut menjalani indoktrinasi, berlatih terorisme, dan bersama anggota NIIS ikut memerangi orang-orang tak berdosa, termasuk pembunuhan keji terhadap dua wartawan AS.

Namun, tentu saja, kejatuhan NIIS tidak akan berarti apa-apa tanpa kerja sama negara-negara regional yang terlibat dalam pergolakan politik di Irak dan Suriah. Iran (Syiah), Arab Saudi, dan Mesir (Sunni), serta AS sebagai pemangku kepentingan Barat di kawasan itu harus duduk bersama membicarakan masa depan Irak dan Suriah dengan tulus dan adil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar