NIIS
: Produk Kontestasi Arab-Iran
Smith Alhadar ; Penasihat
pada The Indonesian Society for Middle East Studies
|
KOMPAS,
28 Oktober 2014
KEKHALIFAHAN baru bernama ISIL
atau ISIS atau NIIS (Negara Islam di Irak dan Suriah) di Timur Tengah adalah
kelompok Islam ultrakonservatif yang dipimpin khalifah Abu Bakar al-Baghdadi.
Ketika pertama kali muncul di publik pada shalat Jumat di Masjid Mosul, Irak,
pertengahan Juli lalu, Al-Baghdadi menyampaikan khotbah persis sama dengan
pidato Abu Bakar as-Shiddiq, khalifah pertama Islam. ”Tegurlah bila saya
salah, dan bantulah bila saya benar.”
Kendati nama dan pidatonya sama
dengan khalifah pertama, Al-Baghdadi—bekas intel pada masa kekuasaan Presiden
Irak Saddam Hussein—adalah sosok flamboyan yang sangat ganas. Begitu
menguasai sebagian wilayah di Irak utara dan Suriah utara, pemeluk Sunni ini
memerintahkan pemburuan terhadap kelompok Syiah, Kristen, dan Yazidis. Dua
kelompok minoritas terakhir merupakan penduduk asli dengan agama yang ada
jauh sebelum Islam.
Gereja-gereja berusia 1.000-an
tahun dan masjid-masjid bersejarah (Masjid Nabi Yunus dan Masjid Nabi Daniel)
yang dipandang sebagai masjid suci dan diziarahi, dihancurkan. Padahal, Al
Quran melarang perusakan rumah ibadah apa pun, penebangan pohon, dan
pembunuhan terhadap orang lanjut usia, perempuan, dan anak-anak, bahkan dalam
keadaan perang sekalipun.
Munculnya negara teokrasi
primitif ini tak bisa dilepaskan dari penghancuran rezim Saddam Hussein yang
mengendalikan Irak dengan tangan besi. Amerika Serikat mengobrak-abrik rezim
sosialis Arab Irak itu tanpa mempertimbangkan dampaknya.
Manifestasi kebijakan politik
AS di Timur Tengah, yang dimulai dari Irak, tidak didasari kajian sosial,
agama, budaya, sejarah, dan politik Irak secara komprehensif. Penghancuran
rezim Irak, yang diikuti perubahan UUD berdasarkan garis etnis, mazhab agama,
demografi, dan sumber daya ekonomi.
Para pembuat undang-undang
dasar (UUD), yang didominasi kelompok Syiah dan Kurdi, memberi keuntungan
politik dan ekonomi pada Sunni-Kurdi (sekitar 20 persen dari total penduduk
Irak) di utara, Syiah-Arab di selatan (60 persen), dan merugikan Sunni-Arab
di tengah (20 persen). Alih-alih menjadi negara demokrasi, Irak tercebur ke
dalam situasi anarkis yang makin menyengsarakan rakyat Irak. Padahal, sebelum
perang 1991, Irak adalah salah satu negara Arab yang maju dan makmur.
UUD Irak itu juga memberi
peluang bagi penerapan politik dan budaya etnis di wilayah Kurdi dan politik
eksklusif Syiah di selatan. Orang Sunni-Arab dan Al Qaeda di bawah pimpinan
Mushab al-Zarqawi mulai membunuh dan mengebom Syiah sebagai balas dendam
sekaligus memancing perang sektarian. Terjadilah konflik memilukan sepanjang
2006-2007.
Iran masuk dengan agenda
memperkuat sekutu Syiahnya untuk menjadikan Irak negara Syiah baru. Setelah
bekerja sama dengan Tentara Mahdi pimpinan ulama Syiah muda yang berpengaruh,
Muqtada as-Sadr, kekuasaan Syiah kokoh bercokol di Jazirah Arab bagian utara,
yang merentang dari Irak di timur sampai Lebanon di barat, yang menekan
secara signifikan negara-negara Sunni-Arab yang menghuni Jazirah Arab di
selatan.
Upaya kebangkitan Syiah di Irak
ini ingin dimentahkan negara-negara Sunni-Arab dengan membantu uang dan
senjata kepada kelompok Sunni-Irak, yang sebagian jatuh ke tangan Al Qaeda,
setelah gagalnya usaha rekonsiliasi antara Sunni-Syiah di Kairo sebelum UUD
disusun.
Meluas ke Suriah
Permainan selanjutnya meluas ke
Suriah. Sekutu Iran ini menjadi sasaran penghancuran pengaruh Iran (Syiah)
dengan memanfaatkan pemberontakan Sunni terhadap rezim sosialis diktator yang
didominasi minoritas Syiah Alawiyyah dukungan Iran. Sebagaimana di Irak, uang
dan senjata dari negara-negara Arab Sunni pun mengalir ke para pemberontak,
sebagian jatuh ke tangan Front al-Nusra, sayap Al Qaeda.
Pemberontakan itu berhasil
merebut sebagian wilayah Suriah, tetapi gagal menjatuhkan rezim. Tujuannya
adalah menciptakan deadlock, untuk memaksa kedua pihak yang bertikai
berdamai. Belajar dari kesalahan di Irak, skenario ini masuk akal untuk
menghindari Suriah jatuh ke situasi anarkis seperti di Irak.
Namun, deadlock justru
menguntungkan Front al-Nusra: semakin lama perang berlangsung, semakin besar
peluang bagi perluasan dan pembersihan wilayah yang ditinggalkan rezim, dan
semakin besar uang dan senjata masuk. Sang khalifah NIIS, Abu Bakar
al-Baghdadi, sebagai mantan militer dan staf intelijen rezim Saddam Hussein,
tentu memahami betul politik. Melihat situasinya sudah matang untuk
mendirikan negara baru, Al-Baghdadi membelot dari Front al-Nusra dan pada
Juni lalu NIIS diproklamirkan dengan membonceng nama kekhilafahan Islam.
Situasi anarkis, ketidakadilan,
dan kezaliman yang berlangsung lama membuat NIIS bisa menang cepat, persis
seperti fenomena Taliban di Afganistan delapan belas tahun lalu. Deadlock di
antara para mujahidin Afganistan dalam memperebutkan kekuasaan di Kabul pasca
kekalahan Uni Soviet yang berlangsung tujuh tahun (1989-1996) mempermudah
Taliban yang fanatik, yang bercita-cita mendirikan negara teokrasi primitif
seperti juga NIIS, dan menjanjikan tiga kebutuhan dasar, dengan mudah
disambut rakyat yang sengsara selama hampir dua dekade.
Tampaknya, NIIS akan bernasib
sama dengan Taliban, tetapi kejatuhannya harus dipercepat sebelum ideologi
terorisme terekspor keluar, khususnya ke Indonesia, melalui orang-orang
Indonesia yang kini ikut menjalani indoktrinasi, berlatih terorisme, dan
bersama anggota NIIS ikut memerangi orang-orang tak berdosa, termasuk
pembunuhan keji terhadap dua wartawan AS.
Namun, tentu saja, kejatuhan
NIIS tidak akan berarti apa-apa tanpa kerja sama negara-negara regional yang
terlibat dalam pergolakan politik di Irak dan Suriah. Iran (Syiah), Arab
Saudi, dan Mesir (Sunni), serta AS sebagai pemangku kepentingan Barat di
kawasan itu harus duduk bersama membicarakan masa depan Irak dan Suriah
dengan tulus dan adil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar