Pendidikan
dan Rantai Kemiskinan
Rhenald Kasali ; Guru
Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
24 Oktober 2014
KISAH anak-anak dari keluarga kurang mampu yang berhasil
menembus perguruan tinggi sudah sering kita dengar. Seperti dialami Raeni,
anak tukang becak yang meraih IPK 3,96 di Universitas Negeri Semarang. Ia
bahkan mendapat tawaran kuliah S-2 ke Inggris.
Setiap
kali ke daerah pertanian, saya sering menemukan petani yang melakukan segala
upaya agar anak-anaknya jangan lagi jadi petani, dengan menyekolahkan anaknya
menjadi sarjana.
Namun,
sukseskah mereka memutus mata rantai kemiskinan? Bukankah pada statutanya
kini PTN BH wajib memberikan beasiswa 20 persen untuk kalangan kurang mampu?
Aliran kognitif
Kesadaran
afirmatif, memberi akses pendidikan seperti di atas bukan hanya ada di sini.
Harusnya kita percaya sekolah bisa menjadi anak tangga yang bagus untuk
memutus mata rantai kemiskinan. Pendapat umum mengatakan keluarga miskin
melahirkan generasi-generasi yang sama miskinnya karena ketiadaan akses untuk
mencapai pendidikan yang tinggi.
Polanya
begini: seorang anak lahir dari ibu yang menikah di usia dini, lalu bercerai,
ibu harus bekerja keras, pindah dari satu kota ke kota lainnya. Kadang
tinggal bersama nenek, menumpang hidup di kawasan yang padat. Anak pergi
sekolah dengan perut lapar, sementara teman-teman ikut les Kumon atau dari
guru sekolah. Lalu ia pun bosan dengan sekolah, sering tak masuk, prestasi
terpuruk, terlibat perkelahian, drop
out, punya anak di luar nikah, lalu jatuh miskin lagi. Begitu seterusnya.
Mungkin,
jika diberi gizi, perhatian, dan akses agar bisa sekolah lagi, mereka akan
bisa keluar dari mata rantai kemiskinan. Namun, penerima Nobel Ekonomi tahun
2000, James Heckman, menggelengkan kepalanya. Faktanya, hanya 3 persen yang
bisa menamatkan perguruan tinggi. Padahal, anak-anak dari keluarga biasa
mencapai 46 persen. Demikian juga kemampuan memperbaiki ekonomi keluarga:
pendapatan tahunan, pengangguran, angka perceraian, dan keterlibatan dalam
kriminalitas. Prestasi ekonomi keluarga miskin yang mendapatkan program
afirmasi pendidikan ternyata tetap sama dengan anak-anak yang drop out dari sekolah. Apa sebab?
Tahun
1994 dua ilmuwan yang dituding rasis (Muray & Herrnstein, dalam Bell Curve) mengarahkan temuannya pada
masalah DNA. Namun, berdasarkan kajian ekonometrika, Heckman menemukan
masalahnya ada di sekolah itu sendiri. Sekolah-sekolah yang sering kita lihat
di sini (terlalu kognitif dan membebani) tak akan mampu memutus mata rantai
kemiskinan. Sekolah kognitif terlampau mekanistik. Wajar sekarang kita
menyaksikan banyak sarjana menganggur, bahkan yang sudah bekerja kurang
efektif. Padahal, mereka tak kalah pengetahuan, indeks prestasi mereka kini
bagus-bagus. Cenderung kalah dengan lulusan luar negeri yang hanya menempuh
124 SKS (S-1). Sementara sarjana kita menempuh 144-152 SKS.
Sekolah nonkognitif
Heckman
menemukan variabel-variabel nonkognitif yang justru tak diberikan di sekolah
menjadi penentu keberhasilan seseorang untuk memutus mata rantai kemiskinan.
Variabel itu adalah keterampilan meregulasi diri, mulai dari mengendalikan
perhatian dan perbuatan, sampai kemampuan mengelola daya tahan (persistensi),
menghadapi tekanan, menunda kenikmatan, ketekunan menghadapi kejenuhan, dan
kecenderungan untuk menjalankan rencana.
Nah
keterampilan-keterampilan seperti itu, menurut Heckman, sering kali absen
dalam sekolah kognitif. Tanpa itu, anak-anak yang dibesarkan dari keluarga
menengah ke atas pun akan jatuh pada lembah kemiskinan. Sekolah kognitif
sendiri digemari banyak kalangan kelas menengah karena substitusi atau
penguatnya bisa dibeli di ”pasar”m semisal
Kumon, guru les atau orangtua yang rajin memberi latihan. Namun, anak-anak
dari kalangan kurang mampu punya banyak keterbatasan. Selain orangtuanya
tidak mengerti, mereka juga harus bekerja keras mencari nafkah di luar jam
kerja.
”Ilmu-ilmu tertentu itu, seperti kalkulus, sangat
mekanistik,” kata Paul Tough (How Children Succeed, 2012). ”Kalau
memulai lebih dulu dan banyak berlatih, mereka akan lebih cepat menyelesaikan
soal-soalnya. Namun, aspek-aspek nonkognitif tak bisa didapat dengan mudah.”
Itulah
sebabnya di PAUD Kutilang Rumah Perubahan,
kami mengembangkan metode non-kognitif. Itu pun belum cukup. Guru dan
orangtua diwajibkan seminggu sekali mengikuti bimbingan cara membaca anak.
Kebiasaan buruk orangtua yang merupakan cerminan dari buruknya aspek
nonkognitif tadi menjadi penguat mata rantai kemiskinan di setiap generasi
berikutnya.
Bimbingan
dan metode nonkognitif itu harusnya dibangun sedari dini. Tantangan-tantangan
nonkognitif seperti itu tampaknya berat sekali dibangun di sini mengingat
dua-tiga generasi pendidiknya guru dan dosen kognitif yang rewel dengan
kemampuan menghafal, berhitung, atau memindahkan buku ke kertas.
Saya
ingin Anda menengok penjelajahan nonkognitif yang saya tanam dalam kelas saya
di UI. Satu kelas mahasiswa dikirim ke luar negeri dalam program one person-one nation, lalu
pengalamannya mereka tulis dalam buku: 30 Paspor. Di situ anak-anak belajar
menumbuhkan aspek nonkognitif, merefleksikan kehidupan, mengambil keputusan
dalam menghadapi kesulitan seorang diri di luar negeri. Kita percaya
pendidikan bisa memutus rantai kemiskinan. Namun, bukan pendidikan
superkognitif seperti sering kita dengar dari orang-orang yang gemar
mendebatkan cuma soal kali-kalian, padahal persoalan hidup terbesar justru
ada di soal bagi-bagian. Dan untuk adil membagi dibutuhkan keterampilan hidup
nonkognitif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar