Cerdas
Membaca Arah Kemdikrist
Nurkholis Mistari ; Kepala
Divisi Humas
Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 22 Oktober 2014
WACANA pembentukan Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi
(Kemdiktiristek) terus menguat dan mendapat sambutan positif dari berbagai
kalangan.
Forum Rektor Indonesia (FRI) yang dalam setahun terakhir ini giat
mendorong ide tersebut, kembali menegaskan arti pentingnya pembentukan
kementerian baru itu, penggabungan bidang dikti dan ristek.
Adalah Ketua FRI 2014 Prof Ravik Karsidi yang berpendapat pembentukan
Kemdiktiristek dapat memperpendek kesenjangan antara dunia usaha dan kampus
(SM, 11/10/14).
Kampus sudah menelurkan banyak riset namun belum bisa menjawab
kebutuhan dunia usaha. Hal lain yang bisa menjadi alasan adalah Indonesia
perlu menghindari keterpurukan akibat fenomena jebakan negara berpenghasilan
sedang.
Bila kementerian baru itu jadi direalisasikan, seberapa jauh dan
mampukah memberikan dampak positif sesuai dengan ekspektasi publik? Berkaca
pada kondisi kampus sebagai salah satu basis riset di negara kita maka ada
banyak pekerjaan rumah yang perlu segera diselesaikan.
Salah satunya menambah jumlah peneliti mengingat saat ini Indonesia
baru memiliki tak lebih dari 8.000 peneliti. Di samping itu, budaya
penelitian yang berujung pada pematenan produk juga masih rendah.
Kondisi itu berbeda 180 derajat dari minat meneliti di negara tetangga,
sama-sama anggota ASEAN seperti Malaysia dan Singapura. Persoalan lain adalah
belum semua kampus bersedia menggiatkan budaya riset (suaramerdeka.com,
7/10/14).
Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional Prof Dr Armida Salsiah Alisjahbana SE MA,
rasio peneliti di Indonesia masih rendah, yaitu 205, artinya baru ada 205
peneliti per 1 juta penduduk.
Bandingkan dengan Korsel yang memiliki rasio 4.627, Jepang 5.573, atau
Singapura dengan rasio 6.088 (Tempo.com,
11/9/14). Tahun 2012 rasio peneliti di Tiongkok mencapai 1.000, yakni ada
1.000 peneliti per 1 juta penduduk, Thailand (800) dan Malaysia (1.500).
Belum lagi jika berbicara anggaran yang dikucurkan negara untuk riset di
negara kita masih jauh dari harapan.
Besar alokasi dana riset masih di bawah 1% dari APBN, bahkan 2000-2009
tidak ada kenaikan. Anggaran 1969 yang disisihkan untuk riset 5% dari APBN,
sementara tahun 2009 hanya 0,5% (Vivanews.com, 16/9/14).
Ada tiga permasalahan yang melingkupi dunia riset kita. Pertama; minat
meneliti masih rendah, kedua; jumlah peneliti relatif masih sedikit, dan
ketiga; masih rendahnya keberpihakan dan komitmen mendorong tumbuhnya budaya
meneliti, baik melalui kebijakan sistemik maupun penganggaran.
Penulis teringat ketika Rektor Unissula Anis Malik Thoha MAPhD beberapa
waktu lalu menceritakan bagaimana ia memimpin lembaga publikasi riset di
tempat mengajarnya dulu di Malaysia.
Sebuah lembaga publikasi riset yang terdiri atas 30-an dosen
berkualifikasi doktor dan profesor yang secara spesifik dan serius bekerja
hingga menghasilkan berbagai riset dan publikasi ilmiah berkelas
internasional. Dikatakan pula, para peneliti patuh pada etika riset.
Para peneliti diberi penghargaan yang pantas. Bahkan ada limit
penelitian tertentu yang harus dipenuhi seorang staf pengajar perguruan
tinggi, dan jika tidak terpenuhi maka ada ’’sanksi’’ akademik sebagai
konsekuensi seorang pengajar yang sejatinya memang punya kewajiban meneliti.
Memanen
Hasil
Pendidikan tinggi di Malaysia berhasil membuat sistem yang bagus,
termasuk dalam hal kebijakan riset sehingga tidak mengherankan bila saat ini
mereka mulai memanen hasil manisnya. Jika kita jujur bertanya apakah sistem
seperti itu telah dibudayakan di pendidikan tinggi ataupun lembaga riset di
negara kita? Padahal amanah Pasal 20 Ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) secara tegas mewajibkan perguruan
tinggi menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Tri darma itu sebenarnya bisa menuntun lembaga pendidikan tinggi
bergerak ke sistem yang baik. Karena itu, wacana pembentukan Kemdiktiristek
bisa dibaca secara cerdas sebagai terobosan positif.
Pasalnya, negara dengan ragam potensi riset ilmiah yang luar biasa ini
sesungguhnya bisa menghasilkan berbagai riset terapan berkualitas. Berbagai
riset berkualitas dan tepat guna itu diharapkan menopang dunia usaha dan
memperkuat jangkar perekonomian Indonesia menjadi lebih tangguh dalam
percaturan global.
Itu artinya hal yang tak kalah penting adalah bukan sekadar penyatuan
atau pengintegrasian satu, dua, atau tiga lembaga melainkan sejauh mana
membangun sistem yang bisa menjawab tantangan masa mendatang sekaligus
membentuk budaya unggul yang bisa mengakselerasi langkah menuju kemajuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar