Kamis, 23 Oktober 2014

Warisan Ekonomi SBY

Warisan Ekonomi SBY

Berly Martawardaya  ;  Ekonom dan Dosen
di Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) FEUI
KORAN SINDO, 22 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Sumpah jabatan sudah diucapkan oleh Presiden Jokowi dan syukuran rakyat yang menyertainya berlalu dengan meriah. Periode pascaeuforia kemenangan perlu ditransformasikan menjadi kerja, kerja, dan kerja untuk rakyat sesuai pidato perdana.

Namun, jangan juga tergesa-gesa melangkah ke depan. Saat ini tengokan ke belakang, sangat penting untuk mengetahui kondisi aktual dan kumpulan langkah yang diambil Presiden SBY serta kabinetnya dalam 10 tahun terakhir. Tulisan ini tidak bermaksud untuk sekadar menuding kejelekan pemerintah yang telah berlalu, namun sebagai diskursus sehat dan ilmiah untuk mengetahui apa saja yang sudah berjalan baik untuk diteruskan dan di mana saja perlu dilakukan perbaikan.

SBY menyatakan bahwa pemerintahannya pro-growth, pro-jobs, pro-poor, dan pro-environment. Maka itu, faktor pertumbuhan, penyerapan tenaga kerja, pengentasan kemiskinan, dan pelestarian lingkungan tepat untuk menjadi kerangka analisis warisan ekonomi yang ditinggalkannya. Analisis dimulai pada 2005 di mana kepemimpinan SBY telah memiliki dampak ekonomi sampai 2013 karena belum tersedia data 2014 di BPS.

Pertumbuhan dan Kualitasnya

Rata-rata pertumbuhan ekonomi riil nonmigas pada periode itu adalah 6,42 yang tergolong cukup tinggi. Ketika 2009 banyak negara Asia terkena imbas krisis sub-prime mortgage sehingga pertumbuhannya negatif, Indonesia bisa bertahan pada 4,63%.

Prestasi ini perlu diakui dan dipuji. Sektor yang alami pertumbuhan mencengangkan pada periode itu adalah telekomunikasi dengan pertumbuhan rata-rata per tahun 20,95%. Pada posisi dua adalah angkutan udara dengan 10,4%. Adapun pada posisi tiga adalah industri mesin, angkutan, dan perakitan yang tumbuh 7,9% per tahun.

Pada satu sisi peningkatan komunikasi, mobilitas darat, dan mobilitas udara bermakna positif dan menambah konektivitas serta interaksi sosial - bisnis masyarakat. Namun, patut disayangkan bahwa masih sedikit perusahaan Indonesia yang menjadi produsen perangkat telepon sehingga sebagian besar keuntungan dinikmati perusahaan asing. Demikian juga dengan kepemilikan saham operator telekomunikasi.

Indonesia perlu belajar dari China di mana pertumbuhan telekomunikasi yang tinggi dijadikan kesempatan mengembangkan handset lokal seperti Xiaomi. Produsen BlackBerry bahkan lebih memilih membuka pabrik di Malaysia sehingga nilai tambah dan transfer teknologi tidak banyak terjadi. Masyarakat Indonesia lebih banyak menjadi konsumen di sektor telekomunikasi.

Pertumbuhan tinggi di angkutan udara belum digunakan maskapai Garuda Indonesia untuk meraih keuntungan. Laporan keuangan semester pertama tahun ini bahkan masih menunjukkan kerugian Rp2,4 triliun. Merpati bahkan tutup dengan gaji karyawan masih terkatung-katung.

Dimulainya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun depan membawa tantangan tambahan pada maskapai domestik karena banyak bandara tadinya khusus untuk maskapai domestik akan dibuka untuk maskapai dari negara ASEAN sesuai kesepakatan ASEAN Open Sky Policy. Maraknya kecelakaan dan keterlambatan maskapai domestik terakhir perlu diperbaiki jika ingin tetap bersaing.

Sektor industri nonmigas yang menjadi motor pertumbuhan pada Orde Baru hanya alami pertumbuhan 5,25%. Hanya industri mesin, angkutan, dan perakitan yang melebihinya dengan 7,9% per tahun. Namun, perlu dikaji apabila transportasi publik sudah diperbaiki, apakah masyarakat akan terus membeli kendaraan pribadi atau menguranginya.

Karena Indonesia belum memiliki merek kendaraan bermotor dan tidak banyak proses industri yang berada di Indonesia, selain perakitan dan perawatan, nilai tambah industri ini banyak yang keluar negeri.

Sebagian besar sektor yang alami pertumbuhan tinggi memerlukan pendidikan formal dan keterampilan.Sektor primer yang meliputi pertanian, peternakan, perikanan, dan perhutanan adalah sektor yang menyerap hampir setengah tenaga kerja, terutama yang berpendidikan rendah, namun hanya alami pertumbuhan rata-rata 3,6%.

Periode 2011-2013 alami perlambatan pertumbuhan ekonomi dari 6,5 ke 6,3% dan menjadi 5,8%. Melawan tren ini membutuhkan lebih dari sekadar pasokan modal asing di mana daya saing perusahaan lokal menjadi kata kunci.

Memang daya saing Indonesia mengalami peningkatan yang diakui dunia dengan peringkat ke-38 di World Competitiveness Report 2014. Namun, negara tetangga kita seperti Thailand dan Malaysia menempati peringkat ke-37 dan ke-24.

Dari segi kemudahan usaha (Doing Business Report), Indonesia menempati peringkat ke- 120 yang jauh lebih rendah dari Thailand (91) dan Malaysia (6). Kita ketinggalan pada kemudahan membuka usaha yang masih membutuhkan 48 hari. Jauh lebih lama dibanding Thailand yang hanya 28 hari, apalagi jika dengan Malaysia yang hanya enam hari.

Kemiskinan dan Pengangguran

Kita perlu mengapresiasi dan bangga atas keberhasilan pemerintahan SBY yang berhasil menekan jumlah penduduk miskin dari 35,1 juta jiwa pada 2005 menjadi 28,1 juta jiwa pada 2013 yang berarti 7 juta jiwa keluar dari kategori miskin. Dari segi persentase, ada penurunan dari 15,97% menjadi 11,37%.

Dibentuknya TNP2K sebagai lembaga koordinasi pengentasan kemiskinan juga positif dengan perbaiki sinergi dan kurangi tumpang tindih program. Namun, pada tiga tahun terakhir terjadi perlambatan pengentasan kemiskinan yang menandakan bahwa program di masa depan perlu diperbaiki kemiskinan kronis dan lintas generasi (inter-generational poverty) sehingga anak yang lahir dari keluarga miskin dan daerah terpencil memiliki peluang untuk dapatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan demi menggapai kesejahteraan.

Pertumbuhan Indonesia pada 2005-2013 dimotori pada sektor formal yang menyerap tenaga kerja terdidik serta terampil. Pengangguran terbuka menurun dari 11,3% pada 2005 menjadi 6,25% pada 2013. Sektor pertanian, perdagangan, dan nonformal menjadi penyerap tenaga kerja yang tidak masuk ke sektor formal ataupun pekerja musiman yang di luar masa tanam/panen di desa lalu menjadi berdagang atau menjadi buruh bangunan di kota. Namun, pendapatan yang diterima di sektor tersebut jauh lebih rendah dari sektor formal dan pertumbuhannya rendah.

Akibat itu, terjadi peningkatan kesenjangan yang pada 2014 mencapai tingkat tertinggi sejak pencatatan koefisien gini. Kondisi ini bila didiamkan dapat memicu konflik dan keretakan sosial. Nawacita Jokowi yang menyebutkan akan membangun Indonesia dari pinggiran sangat tepat karena sektor pertanian dan daerah terpencil masih terpinggirkan pada pembangunan ekonomi kita.

Ekonomi Berkelanjutan

SBY mengejutkan dunia dengan menjanjikan pengurangan besar (26% usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional) emisi gas rumah kaca (GRK) pada pertemuan G-20 di Pitssburg, 2009. Beberapa kebijakan seperti moratorium izin HPH, pendirian Dewan Nasional Perubahan Iklim, dan penerbitan kompilasi rencana aksi nasional pengurangan GRK menunjukkan komitmen beliau. Namun, kabut asap yang sedang melanda Riau adalah pertanda dari perusakan hutan (deforestation) Indonesia yang sangat tinggi (20.000 kilometer persegi pada 2012) yang sudah melebihi Brasil.

Mobil listrik nasional yang didukung Dahlan Iskan belum diproduksi massal, padahal potensinya sangat besar untuk menghemat konsumsi BBM. Panas bumi yang juga besar potensinya baru disahkan undang-undangnya pada akhir masa jabatan SBY sehingga peningkatan porsi energi nonfosil belum banyak terwujudkan.

Kepemimpinan SBY telah memberikan banyak hasil nyata dan membuka banyak pintu kesempatan. Adalah tantangan bagi Jokowi untuk mewujudkan berbagai kesempatan dan potensi tersebut menjadi pertumbuhan yang berkelanjutan dan menyejahterakan rakyat pada masa kepemimpinannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar