Sabtu, 25 Oktober 2014

Kabinet Semiotika Jokowi

Kabinet Semiotika Jokowi

Acep Iwan Saidi ;  Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB
KOMPAS, 24 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


TANTANGAN pertama Joko Widodo dalam kepemimpinannya adalah membentuk kabinet baru. Profil kabinet ini tentu harus segar bagi dirinya sendiri sekaligus harus menyegarkan khalayak. Salah satu syaratnya, ia mesti berbeda dari kabinet terdahulu. Ruh keberbedaan kabinet Jokowi penting disambungkan dengan sosok Jokowi sendiri. Jika sebelumnya presiden Indonesia selalu dari kalangan militer dan elite sipil, Jokowi berasal dari ”dusun”, sipil dari keluarga yang bisa dibilang ”tidak berkasta”. Jokowi adalah ”presiden pinggiran”.

Bertolak dari pinggiran

Berdasarkan hal itu, ”pinggiran” bisa dijadikan sebagai basis epistemologi penyusunan kabinet. Hal ini penting bukan semata-mata Jokowi berasal dari ”ruang marjinal” sedemikian, melainkan karena salah satu misi kepemimpinan Jokowi adalah membangun Indonesia dari pinggiran. Dalam semiotika pembangunan, pinggiran bukan sekadar tempat di tepian, melainkan situs yang selalu diabaikan, tempat pemerintah selalu absen. Ekonomi kerakyatan, misalnya, salah satu contoh penting. Rakyat dalam frase ekonomi kerakyatan adalah pusat semiotika pinggiran yang dilupakan.

Dengan demikian, ”pinggiran” adalah ”ruang kunci”, tempat Jokowi akan bertolak ke tengah di mana visinya dicanangkan. Menarik jika hal ini kemudian dihubungkan dengan pinisi yang dipilih Jokowi sebagai podium pidato pertama setelah penetapannya sebagai presiden terpilih. Secara semiotik, pinisi bukan semata indeks yang menunjuk pada ihwal kelautan sebagai program penting pembangunan, melainkan juga titik berangkat menuju ke arah visi tadi. Visi bukanlah isapan jempol semata, melainkan ”cita-cita ideologis” yang perwujudannya membutuhkan perjuangan. Ia berkelindan di tengah samudra, di antara gemuruh ombak yang acap dibungkus badai.

Lebih jauh, ruang itu sendiri, sebagaimana dikatakan Imannual Kant, tak terbatas pada sesuatu yang fisik, melainkan juga abstrak. Kant mengedepankan illusory space, yaitu ruang imaterial, intuisi manusia, dan secara eksklusif bagian dari dunia pemikiran. Dengan demikian, gagasan merupakan manifestasi ruang. Mengacu pendapat ini, ”pinggiran” sebagai ruang adalah metafora ide. Di sinilah kemudian bisa ditemukan relevansinya dengan kata kunci lain yang diusung Jokowi, revolusi mental.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sejauh ini mental adalah soal pinggiran. Dalam setiap program pembangunan pemerintahan sebelumnya, aspek mental kurang mendapat perhatian, bahkan dilupakan. Pembangunan mental (karakter) memang acap disebut dalam berbagai pidato. Namun, belum tampak laku konkret perwujudannya. Bahkan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang diandaikan sebagai institusi yang mampu ”mengelola mental” justru mengalami permasalahan mental.

Keluar dari konvensi

Bergerak dari pinggiran sebagai ruang fisik dan gagasan (mental) demikianlah, hal-hal konvensional menyangkut teknis-operasional mesti didefinisikan ulang. Sebut misalnya istilah profesional yang sering dilontarkan Jokowi mengenai calon menteri dan kabinetnya. Apa yang dimaksud profesional?

Hemat saya harus dirumuskan definisi baru tentangnya. Bahwa profesional bukan semata predikat yang dilekatkan pada seorang yang ahli di bidangnya yang secara mental ditambahkan sebagai sosok ”bersih”. Hal ini penting karena banyak pakar bersih, tetapi hanya bisa bekerja sendiri. Juga banyak praktisi cakap dan jujur, tetapi tak mampu menularkan kecakapan dan kejujurannya kepada pihak lain. Seorang menteri profesional haruslah inspiratif, memiliki aura untuk menggerakkan pihak-pihak yang berhubungan dengannya agar berpikir dan berkarya.

Pada aspek kesiapan untuk bersedia memulai bekerja dari pinggiran, sosok Jokowi sendiri contoh tepat. Ia disukai rakyat sebab ia memulai pekerjaannya dari situs-situs rakyat. Para pembantu Jokowi jelas harus mengikuti langkah ini. Jika kita menyebut Jokowi sebagai pemimpin yang antitesa, semua menterinya juga harus menteri antitesa. Dalam konteks ini, karakter Jokowi harus jadi pengikat (ruh) sehingga ”bangun-struktur” kabinet jadi kuat dan padu (kohesif).

Kabinet semiotika

Di samping aspek kekohesifan demikian, kabinet juga harus koheren, yakni berjalan seirama dalam kesinambungan. Aspek inilah yang tidak tampak pada kabinet-kabinet sebelumnya. Memang dikenal kementerian yang mengoordinasi beberapa bidang (menko), tetapi tampaknya hal itu hanya sebatas administratif. 

Pada tataran substansi tidak terlihat koherensi. Setiap kementerian berjalan sendiri-sendiri. Padahal, mengelola pariwisata, misalnya, tak mungkin berhasil tanpa mengurus lalu lintas. Usaha-usaha mengatasi kemacetan lalu lintas tidak pernah bisa dilepaskan dari kebijakan tata kota, dan seterusnya.

Alih-alih terbentuknya koherensi antardepartemen, yang sering terjadi justru pertentangan. Kebijakan penataan lingkungan hidup bukankah sering bertentangan dengan kebijakan pengembangan wilayah permukiman, juga izin pembangunan gedung-gedung komersial. Ini jelas bukan hanya bertentangan, melainkan bertabrakan. Tabrakan macam ini juga terjadi pada level teknis macam pengelolaan transportasi darat. Di satu sisi pemerintah berbusa-busa bicara tentang cara mengatasi kemacetan lalu lintas, tetapi pada saat yang sama dikeluarkan kebijakan tentang mobil murah.

Runyamnya, tabrakan demikian bahkan acap terjadi dalam satu kementerian. Ambil contoh Kemdikbud. Kebijakan bidang kebudayaan pasti memutlakkan keberagaman. Artinya, sistem kebudayaan mestilah mewadahi keberagaman. Pendidikan tentu harus selaras dengan keberagaman tadi. Namun, sistem pendidikan kita justru berbasis keseragaman, satu paham yang jelas berseberangan. Meminjam istilah psikologi, saya menyebut kementerian ini kementerian skizoprenik. Ia mengalami keterbelahan karakter dan kesimpangsiuran orientasi. Maka, bagaimana mungkin pendidikan bersama kebudayaan bisa berkembang jika ”tubuh” departemennya sendiri mengidap penyakit itu.

Bertolak dari kasus-kasus seperti di atas, bukan ”profesionalisme individu” semata yang harus diperhatikan Jokowi, melainkan pembentukan ”gestur kabinet sebagai sebuah tubuh yang kohesif dan koherensif”. Melalui berbagai metode seleksi, para menteri profesional dalam pengertian di atas pastilah merupakan individu pilihan yang mumpuni. Individu-individu seperti ini biasanya sudah tak perlu lagi dikelola. Mereka hanya butuh dikurasi. Dengan kata lain, konsep kepemimpinannya bukan lagi pemimpin sebagai manajer, melainkan sebagai kurator atau sebagai dirigen—meminjam istilah Aat Suratin. Di bawah komandonya, Sang Dirigen menciptakan musik dengan satu nada dasar yang padu (kohesi) dengan berbagai variasi dan improvisasi irama yang bertaut (koheren) sehingga tercipta sebuah aransemen yang indah.

Saya ingin menyebut kabinet dengan profil di atas kabinet semiotika, sebuah ”institusi” yang dibangun oleh relasi berbagai tanda yang meneguhkan makna dengan dua pesan: ke dalam sebagai kabinet berkarakter, ke luar sebagai ”pasukan” yang berwibawa. Kabinet seperti inilah yang bisa mengantarkan kepemimpinan Jokowi kepada cita-cita revolusi mental yang bermuara pada Trisakti Soekarno, yakni membangun Indonesia yang berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar