Kabinet
Semiotika Jokowi
Acep Iwan Saidi ; Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB
|
KOMPAS,
24 Oktober 2014
TANTANGAN
pertama Joko Widodo dalam kepemimpinannya adalah membentuk kabinet baru. Profil kabinet ini
tentu harus segar bagi dirinya sendiri sekaligus harus menyegarkan khalayak.
Salah satu syaratnya, ia mesti berbeda dari kabinet terdahulu. Ruh
keberbedaan kabinet Jokowi penting disambungkan dengan sosok Jokowi sendiri.
Jika sebelumnya presiden Indonesia selalu dari kalangan militer dan elite
sipil, Jokowi berasal dari ”dusun”, sipil dari keluarga yang bisa dibilang
”tidak berkasta”. Jokowi adalah ”presiden pinggiran”.
Bertolak dari pinggiran
Berdasarkan hal itu,
”pinggiran” bisa dijadikan sebagai basis epistemologi penyusunan kabinet. Hal
ini penting bukan semata-mata Jokowi berasal dari ”ruang marjinal”
sedemikian, melainkan karena salah satu misi kepemimpinan Jokowi adalah
membangun Indonesia dari pinggiran. Dalam semiotika pembangunan, pinggiran
bukan sekadar tempat di tepian, melainkan situs yang selalu diabaikan, tempat
pemerintah selalu absen. Ekonomi kerakyatan, misalnya, salah satu contoh
penting. Rakyat dalam frase ekonomi kerakyatan adalah pusat semiotika
pinggiran yang dilupakan.
Dengan demikian,
”pinggiran” adalah ”ruang kunci”, tempat Jokowi akan bertolak ke tengah di
mana visinya dicanangkan. Menarik jika hal ini kemudian dihubungkan dengan
pinisi yang dipilih Jokowi sebagai podium pidato pertama setelah penetapannya
sebagai presiden terpilih. Secara semiotik, pinisi bukan semata indeks yang
menunjuk pada ihwal kelautan sebagai program penting pembangunan, melainkan
juga titik berangkat menuju ke arah visi tadi. Visi bukanlah isapan jempol
semata, melainkan ”cita-cita ideologis” yang perwujudannya membutuhkan
perjuangan. Ia berkelindan di tengah samudra, di antara gemuruh ombak yang
acap dibungkus badai.
Lebih jauh, ruang itu
sendiri, sebagaimana dikatakan Imannual Kant, tak terbatas pada sesuatu yang
fisik, melainkan juga abstrak. Kant mengedepankan illusory space, yaitu ruang imaterial, intuisi manusia, dan
secara eksklusif bagian dari dunia pemikiran. Dengan demikian, gagasan
merupakan manifestasi ruang. Mengacu pendapat ini, ”pinggiran” sebagai ruang
adalah metafora ide. Di sinilah kemudian bisa ditemukan relevansinya dengan
kata kunci lain yang diusung Jokowi, revolusi mental.
Dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, sejauh ini mental adalah soal pinggiran. Dalam
setiap program pembangunan pemerintahan sebelumnya, aspek mental kurang
mendapat perhatian, bahkan dilupakan. Pembangunan mental (karakter) memang
acap disebut dalam berbagai pidato. Namun, belum tampak laku konkret
perwujudannya. Bahkan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang diandaikan
sebagai institusi yang mampu ”mengelola mental” justru mengalami permasalahan
mental.
Keluar dari konvensi
Bergerak dari
pinggiran sebagai ruang fisik dan gagasan (mental) demikianlah, hal-hal
konvensional menyangkut teknis-operasional mesti didefinisikan ulang. Sebut
misalnya istilah profesional yang sering dilontarkan Jokowi mengenai calon
menteri dan kabinetnya. Apa yang dimaksud profesional?
Hemat saya harus
dirumuskan definisi baru tentangnya. Bahwa profesional bukan semata predikat
yang dilekatkan pada seorang yang ahli di bidangnya yang secara mental
ditambahkan sebagai sosok ”bersih”. Hal ini penting karena banyak pakar
bersih, tetapi hanya bisa bekerja sendiri. Juga banyak praktisi cakap dan
jujur, tetapi tak mampu menularkan kecakapan dan kejujurannya kepada pihak lain.
Seorang menteri profesional haruslah inspiratif, memiliki aura untuk
menggerakkan pihak-pihak yang berhubungan dengannya agar berpikir dan
berkarya.
Pada aspek kesiapan
untuk bersedia memulai bekerja dari pinggiran, sosok Jokowi sendiri contoh
tepat. Ia disukai rakyat sebab ia memulai pekerjaannya dari situs-situs
rakyat. Para pembantu Jokowi jelas harus mengikuti langkah ini. Jika kita
menyebut Jokowi sebagai pemimpin yang antitesa, semua menterinya juga harus
menteri antitesa. Dalam konteks ini, karakter Jokowi harus jadi pengikat
(ruh) sehingga ”bangun-struktur” kabinet jadi kuat dan padu (kohesif).
Kabinet semiotika
Di samping aspek
kekohesifan demikian, kabinet juga harus koheren, yakni berjalan seirama
dalam kesinambungan. Aspek inilah yang tidak tampak pada kabinet-kabinet
sebelumnya. Memang dikenal kementerian yang mengoordinasi beberapa bidang
(menko), tetapi tampaknya hal itu hanya sebatas administratif.
Pada tataran
substansi tidak terlihat koherensi. Setiap kementerian berjalan sendiri-sendiri.
Padahal, mengelola pariwisata, misalnya, tak mungkin berhasil tanpa mengurus
lalu lintas. Usaha-usaha mengatasi kemacetan lalu lintas tidak pernah bisa
dilepaskan dari kebijakan tata kota, dan seterusnya.
Alih-alih terbentuknya
koherensi antardepartemen, yang sering terjadi justru pertentangan. Kebijakan
penataan lingkungan hidup bukankah sering bertentangan dengan kebijakan
pengembangan wilayah permukiman, juga izin pembangunan gedung-gedung
komersial. Ini jelas bukan hanya bertentangan, melainkan bertabrakan.
Tabrakan macam ini juga terjadi pada level teknis macam pengelolaan
transportasi darat. Di satu sisi pemerintah berbusa-busa bicara tentang cara
mengatasi kemacetan lalu lintas, tetapi pada saat yang sama dikeluarkan
kebijakan tentang mobil murah.
Runyamnya, tabrakan
demikian bahkan acap terjadi dalam satu kementerian. Ambil contoh Kemdikbud.
Kebijakan bidang kebudayaan pasti memutlakkan keberagaman. Artinya, sistem
kebudayaan mestilah mewadahi keberagaman. Pendidikan tentu harus selaras
dengan keberagaman tadi. Namun, sistem pendidikan kita justru berbasis
keseragaman, satu paham yang jelas berseberangan. Meminjam istilah psikologi,
saya menyebut kementerian ini kementerian skizoprenik. Ia mengalami
keterbelahan karakter dan kesimpangsiuran orientasi. Maka, bagaimana mungkin
pendidikan bersama kebudayaan bisa berkembang jika ”tubuh” departemennya
sendiri mengidap penyakit itu.
Bertolak dari
kasus-kasus seperti di atas, bukan ”profesionalisme individu” semata yang
harus diperhatikan Jokowi, melainkan pembentukan ”gestur kabinet sebagai sebuah tubuh yang kohesif dan koherensif”.
Melalui berbagai metode seleksi, para menteri profesional dalam pengertian di
atas pastilah merupakan individu pilihan yang mumpuni. Individu-individu
seperti ini biasanya sudah tak perlu lagi dikelola. Mereka hanya butuh
dikurasi. Dengan kata lain, konsep kepemimpinannya bukan lagi pemimpin
sebagai manajer, melainkan sebagai kurator atau sebagai dirigen—meminjam
istilah Aat Suratin. Di bawah komandonya, Sang Dirigen menciptakan musik
dengan satu nada dasar yang padu (kohesi) dengan berbagai variasi dan
improvisasi irama yang bertaut (koheren) sehingga tercipta sebuah aransemen
yang indah.
Saya ingin menyebut
kabinet dengan profil di atas kabinet semiotika, sebuah ”institusi” yang
dibangun oleh relasi berbagai tanda yang meneguhkan makna dengan dua pesan:
ke dalam sebagai kabinet berkarakter, ke luar sebagai ”pasukan” yang
berwibawa. Kabinet seperti inilah yang bisa mengantarkan kepemimpinan Jokowi
kepada cita-cita revolusi mental yang bermuara pada Trisakti Soekarno, yakni
membangun Indonesia yang berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi,
dan berkepribadian dalam kebudayaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar