Evaluasi
Kebijakan Perumahan Swadaya
Atantya H Mulyanto ; Pengamat
Kebijakan Publik;
President & Chief Executive Officer PT Survindo Putra
Pratama
|
KORAN
TEMPO, 22 Oktober 2014
Sampai 2014 ini, pemerintah mengakui kesulitan memenuhi kebutuhan
hunian bagi masyarakat jika distribusi pendapatan dan perekonomian masih
terpusat di Jakarta. Hingga kini, tingkat kekurangan pasok atau backlog
perumahan sedikitnya mencapai 15 juta unit, dan hal itu dikhawatirkan membawa
Indonesia ke krisis perumahan (Kemenpera,
30/8/2014). Indonesia Property
Watch (IPW) mencatat jumlah backlog atau kurangnya pasokan rumah jauh di
bawah kebutuhan riil, pada 2014 diperkirakan mencapai 21,7 juta unit rumah.
Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, angka backlog hanya mencapai 13,6 juta.
Indonesia akan terus mengalami backlog perumahan selama pendistribusian
pendapatan tidak merata, harga tanah tidak bisa dikendalikan, penghasilan
masyarakat tidak terjangkau, serta perizinan pembangunan perumahan dipersulit
oleh pemerintah daerah. Dengan tingkat pertumbuhan keluarga baru Indonesia
yang rata-rata 800 ribu per tahun, dibutuhkan tambahan rumah baru yang
setara. Dengan tingkat kemampuan penyediaan rumah oleh swasta rata-rata hanya
300-400 ribu unit rumah per tahun, peran pemerintah amat sangat diharapkan
untuk menutup defisit antara demand dan supply perumahan ini.
Terdapat beberapa sebab belum tercapainya penyediaan jumlah rumah
sesuai dengan kebutuhan. Antara lain, pertama, problem tata kelola pemerintah
yang belum optimal, yakni dalam hal koordinasi di antara kementerian/lembaga
serta terkait dengan kebijakan/program skema subsidi, baik yang diwujudkan
dalam bentuk rumah tapak maupun rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan
rendah. Backlog bertambah bila pemerintah tidak segera membuat terobosan
kebijakan yang mampu "merumahkan" masyarakat.
Kedua, kegagalan dan kesalahan regulasi. Harus diakui, pemerintah
selama ini gagal memenuhi kebutuhan tempat tinggal bagi masyarakat. Kegagalan
itu terjadi sejak menyusun regulasi yang menyulitkan masyarakat memiliki
rumah, seperti pasal pembatasan ukuran rumah minimal 36 meter persegi (m2)
serta lima tahun terakhir mengubah pola subsidi uang muka pembelian rumah
menjadi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang tidak memiliki benchmarking dan best practice di dunia.
Sila Kelima Pancasila mendekatkan landasan ideologi kebijakan perumahan
seperti yang diterapkan di negara-negara kesejahteraan. Negara menjamin
terpenuhi kesejahteraan rakyat dengan terpenuhinya kebutuhan perumahannya
secara layak dan terjangkau. Indonesia sudah mengalami berbagai bentuk
kebijakan perumahan, tapi belum berkembang secara memadai dan terlembagakan
dengan baik.
Tantangan pemenuhan ragam bentuk kebutuhan perumahan rakyat terus
berkembang. Namun pasar perumahan tidak kunjung dapat diregulasi secara efektif.
Pada 1974, dengan dibentuknya Perumnas sebagai pengembang perumahan plat
merah (baca sektor publik) dan ditugaskannya Bank Tabungan Negara (BTN)
sebagai bank perumahan, tampaknya pemerintah mulai meletakkan kebijakan
perumahan umum. Dalam perjalanannya, kebijakan perumahan umum di Indonesia
tidak berkembang alias bantet. Istilah perumahan umum saja pun menjadi aneh
terdengarnya.
Pada 2013, diterbitkan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 6/2013
tentang Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya. Visinya adalah pemerintah
memberikan bantuan stimulan berupa bahan material kepada MBR (Masyarakat
Berpenghasilan Rendah) untuk membantu meningkatkan kualitas rumah dari RTLH
(Rumah Tidak Layak Huni) menjadi RLH (Rumah Layak Huni). Adanya peraturan ini
memberikan payung hukum agar penyaluran bantuan bisa lebih tepat sasaran yang
pada gilirannya akan mendorong kemampuan masyarakat untuk memiliki rumah
layak huni.
Dalam pelaksanaannya, menurut pengalaman penulis yang mendampingi
realisasi program ini di lapangan, menemukan beberapa kelemahan. Pertama,
banyak penerima bantuan stimulan berupa bahan material, yang kemudian
menjualnya. Akibatnya, tujuan perbaikan rumah tak terealisasi. Kedua, banyak
penerima bantuan stimulan yang tidak mampu memanfaatkannya untuk perbaikan
rumah, karena ketiadaan tukang bangunan yang mampu mengerjakannya.
Artinya, ada kelemahan konsep di belakang SK Menteri Perumahan Rakyat
tentang Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya. Kelemahan itu antara lain konsep
perbaikan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Konsep ini
mengandaikan semua calon penerima bantuan mampu memperbaiki rumah, dengan
kesiapan tukang dan desainnya. Padahal, jika salah satu unsur perbaikan rumah
tak terpenuhi, akhirnya tujuan perbaikan rumah akan gagal.
Atas dasar itu, mengapa pemerintah tidak mengadopsi saja konsep bedah
rumah yang populer di televisi? Atau konsep Rumah Deret yang sudah diterapkan
Jokowi, yang sebelumnya Gubernur DKI Jakarta, di beberapa kawasan kumuh?
Rumah Deret adalah rumah sederhana yang dibuat dari bahan-bahan standar yang
kemudian didesain dalam sistem knock-down. Rumah ini dibangun dalam satu
paket-oleh tukang-dengan memperhatikan aspek lingkungan. Contoh Rumah Deret
bisa dilihat di kampung Petogogan, Jakarta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar