Paradoks
Negeri Multikultural
Ahmad Khotim Muzakka ; Mahasiswa S2 Center for Religious
and
Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM
|
KORAN
JAKARTA, 13 Oktober 2014
Terdapat begitu banyak paradoks di negeri ini. Salah satu yang paling
mutakhir penolakan Front Pembela Islam (FPI) terhadap Basuki “Ahok” Tjahaja
Purnama menggantikan Joko Widodo seslaku Gubernur DKI Jakarta. Sebelum demo
besar-besaran digelar sebenarnya sudah dapat diendus indikasi pergolakan dari
kelompok ini karena memang telah berkali-kali menyatakan tidak setuju gaya
kepemimpinan Ahok.
Secara konstitusional ketika gubernur lengser, naik pangkat, atau
dengan alasan apa pun, secara otomatis wakil gubernur menggantikan. FPI tak
lain dengan mengusung sentimen agama, sebagaimana sering dilontarkan,
Indonesia dengan penduduk mayoritas muslim tidak pantas dipimpin nonmuslim.
Sebagai organisasi massa yang mengasosiasikan diri sebagai “pembela agama”,
FPI merasa perlu mengajukan diri untuk menyerukan nilai-nilai yang
dipahaminya sebagai kebenaran doktrinal.
Dengan menggunakan logika sederhana, gagasan FPI dibangun dengan
pemimpin berlatar belakang (baca: agama) sama akan lebih mudah membaca arah
pemikiran. Yang tak kalah penting, sikap-sikap politiknya tidak akan jauh
bertentangan dengan rancangannya. Setidaknya, kepentingan mereka bisa mudah
dikomunikasikan.
Kita tahu bahwa selain dihuni mayoritas muslim, Indonesia merupakan
negeri dengan penduduk multikultural. Negeri ini tidak hanya ditempati satu
golongan atau kelompok. Akan tetapi, negara yang dengan segala kelebihan dan
kekurangannya harus mampu menaungi beragam kultur, agama, dan ras dalam satu
wadah Nusantara.
Di satu sisi, ini merupakan berkah tersendiri bagi Indonesia. Dengan
demikian, kita tidak perlu jauh-jauh untuk menilik keragaman bisa disatukan
dalam wadah tersebut. Sayang, ada yang tidak bisa menerima fakta
multikultural tersebut sebagai sesuatu kemutlakan. Kondisinya tambah berat
karena diperparah dengan embel-embel kontestasi kekuasan berbalut agama.
Sebenarnya, kasus penolakan tersebut tidak terlampau mengejutkan. Masih
jelas terngiang, isu SARA santer diembuskan begitu deras pada pemilihan
Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta pada 2012. Kontes yang dimenangkan
pasangan Jokowi-Ahok sempat diperkeruh isu-isu miring terkait sentimen agama.
Tak bisa ditampik, sepanjang masa kampanye pemilihan di DKI Jakarta,
ada kelompok yang santer membawa isu SARA ke gelanggang pertarungan politik
seperti dari pengajian Rhoma Irama yang menuai banyak protes.
Membangun
Dialog
Segregasi sosial yang tajam tecermin dari penolakan tersebut. Ini
merupakan imbas dialog antarumat beragama yang tumpul sehingga meruncingkan
prasangka-prasangka tak berdasar. Yang kerap muncul hanya
kecurigaan-kecurigaan antara pemeluk agama yang satu dengan lainnya.
Dalam iklim Indonesia yang multikultur, hal ini tentu menjadi preseden
kurang membahagiakan. Jika hal tersebut dibiarkan akan menambah runyam wajah
Indonesia di masa mendatang. Mestinya, para elite politik ikut berperan aktif
dalam menghimpun kesadaran berkeragaman agar bisa mendinginkan suasana.
Langkah dialog rekonsiliatif telah dikerjakan oleh Menteri Agama,
Lukman Hakim Saifudin. Menteri yang dilantik pada 9 Juni lalu itu membuka
jalan bagi terbukanya dialog di antara umat bergama. Minoritas umat beragama
dikumpulkan untuk mencari “keran” dialog yang lebih kondusif. Mesti diakui,
selama ini, minoritas di Indonesia tidak begitu mendapat perhatian, alih-alih
justru terdapat berbagai tindakan diskriminatif dari pihak mayoritas.
Upaya menteri harus disambut optimisme. Selama ini, tidak bisa
dimungkiri, dialog di antara umat beragama jarang dilakukan pemerintah. Jika
pun ada, inisiator dialog bukan dari pemerintahan, tapi lembaga swasta secara
pribadi atau kelompok. Pokok yang ingin didengungkan dari dialog antarumat
beragama antara lain mengingatkan bangsa ini bahwa multikulturalisme
merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Pluralitas adalah napas
kehidupan bangsa Indonesia.
Namun, fakta tersebut sering kali diingkari sejumlah kalangan yang
memaksakan kehendak pribadi dan kelompok. Mereka yang “alergi” dengan
kemajemukan menggunakan klaim-klaim agama untuk melegitimasi segala tindakan
agar multikulturalisme tidak begitu mengemuka di bumi Indonesia. Jalan itu
sering dilakukan secara anarkistis dan kekerasan sehingga mencabut harkat dan
martabat kemanusiaan. Padahal, tindakan tersebut tidak hanya mencederai fakta
pluralitas, tapi juga menodai ajaran agamanya sendiri.
Yang diperlukan bangsa ini agar terus tumbuh dan percaya diri dalam
kebinekaan adalah sikap manusia Indonesia yang tidak boleh mengingkari
kemajemukannya. Kita berbeda, namun memiliki semangat untuk membangun karena
lahir, tumbuh, besar, dan ingin mati di Indonesia. Itulah sebuah cita-cita
luhur.
Penolakan dan demo FPI membekas menjadi penanda bahwa hari-hari
selanjutnya, tantangan mempertahankan keutuhan Indonesia tidaklah mudah.
Jalan menumbuhkan kesadaran keberbedaan tidak mudah, butuh perjuangan tak
kenal lelah mewujudkannya. Noda sejarah yang membuat runyam wajah negeri ini
menjadi tikungan kesekian kali.
Di sebuah tikungan, bangsa bisa memilih berkontemplasi dan merenungkan
apakah akan melanjutkan sejarah atau terpaku menangisi tanpa mau melakukan
koreksi. Perbedaan adalah sebuah keharusan.
Setelah demo ricuh pada Jumat (3/10) ditetapkan 21 tersangka. Memang
sudah sepantasnya mereka yang anarkistis diganjar hukuman. Namun, untuk
menyelesaikan persoalan dalam jangka panjang, dialog multikultural perlu
ditingkatkan lagi supaya tidak terjadi kemampetan. Di ujung masa pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bangsa masih terus berduka dan siap-siap
membunyikan alarm atas ketidaksiapan menerima perbedaan. Sayang,
ketidaksiapan itu diekpresikan dengan perilaku yang memprihatinkan dan
menyedihkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar