Jumat, 24 Oktober 2014

Paradoks Negeri Multikultural

Paradoks Negeri Multikultural

Ahmad Khotim Muzakka  ;  Mahasiswa S2 Center for Religious
and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM
KORAN JAKARTA, 13 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Terdapat begitu banyak paradoks di negeri ini. Salah satu yang paling mutakhir penolakan Front Pembela Islam (FPI) terhadap Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama menggantikan Joko Widodo seslaku Gubernur DKI Jakarta. Sebelum demo besar-besaran digelar sebenarnya sudah dapat diendus indikasi pergolakan dari kelompok ini karena memang telah berkali-kali menyatakan tidak setuju gaya kepemimpinan Ahok.

Secara konstitusional ketika gubernur lengser, naik pangkat, atau dengan alasan apa pun, secara otomatis wakil gubernur menggantikan. FPI tak lain dengan mengusung sentimen agama, sebagaimana sering dilontarkan, Indonesia dengan penduduk mayoritas muslim tidak pantas dipimpin nonmuslim. Sebagai organisasi massa yang mengasosiasikan diri sebagai “pembela agama”, FPI merasa perlu mengajukan diri untuk menyerukan nilai-nilai yang dipahaminya sebagai kebenaran doktrinal.

Dengan menggunakan logika sederhana, gagasan FPI dibangun dengan pemimpin berlatar belakang (baca: agama) sama akan lebih mudah membaca arah pemikiran. Yang tak kalah penting, sikap-sikap politiknya tidak akan jauh bertentangan dengan rancangannya. Setidaknya, kepentingan mereka bisa mudah dikomunikasikan.

Kita tahu bahwa selain dihuni mayoritas muslim, Indonesia merupakan negeri dengan penduduk multikultural. Negeri ini tidak hanya ditempati satu golongan atau kelompok. Akan tetapi, negara yang dengan segala kelebihan dan kekurangannya harus mampu menaungi beragam kultur, agama, dan ras dalam satu wadah Nusantara.

Di satu sisi, ini merupakan berkah tersendiri bagi Indonesia. Dengan demikian, kita tidak perlu jauh-jauh untuk menilik keragaman bisa disatukan dalam wadah tersebut. Sayang, ada yang tidak bisa menerima fakta multikultural tersebut sebagai sesuatu kemutlakan. Kondisinya tambah berat karena diperparah dengan embel-embel kontestasi kekuasan berbalut agama.

Sebenarnya, kasus penolakan tersebut tidak terlampau mengejutkan. Masih jelas terngiang, isu SARA santer diembuskan begitu deras pada pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta pada 2012. Kontes yang dimenangkan pasangan Jokowi-Ahok sempat diperkeruh isu-isu miring terkait sentimen agama.

Tak bisa ditampik, sepanjang masa kampanye pemilihan di DKI Jakarta, ada kelompok yang santer membawa isu SARA ke gelanggang pertarungan politik seperti dari pengajian Rhoma Irama yang menuai banyak protes.

Membangun Dialog

Segregasi sosial yang tajam tecermin dari penolakan tersebut. Ini merupakan imbas dialog antarumat beragama yang tumpul sehingga meruncingkan prasangka-prasangka tak berdasar. Yang kerap muncul hanya kecurigaan-kecurigaan antara pemeluk agama yang satu dengan lainnya.

Dalam iklim Indonesia yang multikultur, hal ini tentu menjadi preseden kurang membahagiakan. Jika hal tersebut dibiarkan akan menambah runyam wajah Indonesia di masa mendatang. Mestinya, para elite politik ikut berperan aktif dalam menghimpun kesadaran berkeragaman agar bisa mendinginkan suasana.

Langkah dialog rekonsiliatif telah dikerjakan oleh Menteri Agama, Lukman Hakim Saifudin. Menteri yang dilantik pada 9 Juni lalu itu membuka jalan bagi terbukanya dialog di antara umat bergama. Minoritas umat beragama dikumpulkan untuk mencari “keran” dialog yang lebih kondusif. Mesti diakui, selama ini, minoritas di Indonesia tidak begitu mendapat perhatian, alih-alih justru terdapat berbagai tindakan diskriminatif dari pihak mayoritas.

Upaya menteri harus disambut optimisme. Selama ini, tidak bisa dimungkiri, dialog di antara umat beragama jarang dilakukan pemerintah. Jika pun ada, inisiator dialog bukan dari pemerintahan, tapi lembaga swasta secara pribadi atau kelompok. Pokok yang ingin didengungkan dari dialog antarumat beragama antara lain mengingatkan bangsa ini bahwa multikulturalisme merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Pluralitas adalah napas kehidupan bangsa Indonesia.

Namun, fakta tersebut sering kali diingkari sejumlah kalangan yang memaksakan kehendak pribadi dan kelompok. Mereka yang “alergi” dengan kemajemukan menggunakan klaim-klaim agama untuk melegitimasi segala tindakan agar multikulturalisme tidak begitu mengemuka di bumi Indonesia. Jalan itu sering dilakukan secara anarkistis dan kekerasan sehingga mencabut harkat dan martabat kemanusiaan. Padahal, tindakan tersebut tidak hanya mencederai fakta pluralitas, tapi juga menodai ajaran agamanya sendiri.

Yang diperlukan bangsa ini agar terus tumbuh dan percaya diri dalam kebinekaan adalah sikap manusia Indonesia yang tidak boleh mengingkari kemajemukannya. Kita berbeda, namun memiliki semangat untuk membangun karena lahir, tumbuh, besar, dan ingin mati di Indonesia. Itulah sebuah cita-cita luhur.

Penolakan dan demo FPI membekas menjadi penanda bahwa hari-hari selanjutnya, tantangan mempertahankan keutuhan Indonesia tidaklah mudah. Jalan menumbuhkan kesadaran keberbedaan tidak mudah, butuh perjuangan tak kenal lelah mewujudkannya. Noda sejarah yang membuat runyam wajah negeri ini menjadi tikungan kesekian kali.

Di sebuah tikungan, bangsa bisa memilih berkontemplasi dan merenungkan apakah akan melanjutkan sejarah atau terpaku menangisi tanpa mau melakukan koreksi. Perbedaan adalah sebuah keharusan.

Setelah demo ricuh pada Jumat (3/10) ditetapkan 21 tersangka. Memang sudah sepantasnya mereka yang anarkistis diganjar hukuman. Namun, untuk menyelesaikan persoalan dalam jangka panjang, dialog multikultural perlu ditingkatkan lagi supaya tidak terjadi kemampetan. Di ujung masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bangsa masih terus berduka dan siap-siap membunyikan alarm atas ketidaksiapan menerima perbedaan. Sayang, ketidaksiapan itu diekpresikan dengan perilaku yang memprihatinkan dan menyedihkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar