Merawat
Harapan Rakyat
Ali Rif’an ; Peneliti
Poltracking
|
KORAN
TEMPO, 27 Oktober 2014
Euforia dan gegap-gempita pelantikan Presiden Joko Widodo dan
Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) baru saja usai. Syukuran rakyat yang
menyedot perhatian seluruh publik Indonesia hingga mewarnai pemberitaan media
massa luar negeri itu seolah memantulkan sinar optimisme bagi masa depan
bangsa. Tentu saja, antusiasme warga dalam menyongsong pemerintahan baru ini
tak boleh dilihat sebagai sekadar selebrasi, karena di dalamnya terdapat
harapan yang menyala-nyala.
Harapan rakyat yang teramat tinggi tersebut tentu tak boleh
lapuk termakan janji-janji pepesan kosong. Harapan rakyat harus terus dirawat
dengan kerja keras, seperti yang diungkapkan Jokowi dalam pidato pelantikan
kemarin. Ada beberapa cara untuk merawat harapan rakyat.
Pertama, Presiden Jokowi harus mampu membentuk kabinet bersih.
Kabinet bersih menjadi fondasi penting untuk memupuk harapan rakyat sehingga
pemerintahan yang efektif dan efisien akan dapat tercipta.
Komisi Pemberantasan Korupsi serta Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) sudah mengembalikan hasil penelusuran rekam jejak
43 calon menteri kepada Presiden Jokowi. Hasilnya, ada beberapa nama
bermasalah. Kriteria bermasalah yang diungkapkan KPK adalah terkait dengan
dugaan korupsi atau berpotensi korupsi, pernah diperiksa KPK, dan tidak taat
melaporkan harta kekayaan. Sedangkan menurut PPATK, beberapa calon menteri
pernah tercatat memiliki rekening yang tak sesuai dengan profil, baik
rekening pribadi maupun keluarga (Tempo,
21 Oktober 2014).
Penelusuran rekam jejak calon menteri tersebut sangat penting,
karena jangan sampai menteri yang diusung nantinya menjadi beban pemerintahan
Jokowi atau bahkan menyenderanya. Presiden Jokowi harus belajar dari
pengalaman Kabinet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kerap direpotkan dan
tersandera oleh pembantunya sendiri. Karena itu, komitmen Jokowi yang hendak
membentuk kabinet kerja dan profesional harus benar-benar diwujudkan. Paling
tidak, pembentukan kabinet bersih dan profesional akan dapat merawat harapan
rakyat terhadap pemerintah baru Jokowi.
Kedua, Presiden Jokowi harus mampu melunasi janji-janji
kampanye. Salah satu gagasan fenomenal Jokowi adalah revolusi mental. Dalam
tulisannya di harian nasional, Jokowi pernah mengatakan bahwa sudah saatnya
Indonesia melakukan tindakan kolektif, tidak dengan menghentikan proses
reformasi yang sudah berjalan, melainkan dengan mencanangkan revolusi mental
menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru
yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan
berkesinambungan. Dalam konteks implementasi, rakyat kini tentu menunggu
gagasan revolusi mental tersebut.
Selain revolusi mental, di antara janji-janji Jokowi lainnya
adalah menyejahterakan desa dengan cara mengalokasikan dana desa rata-rata Rp
1,4 miliar per desa, perbaikan 5.000 pasar tradisional dan membangun pusat
pelelangan, penyimpanan, dan pengelolaan ikan, serta menurunkan pengangguran
dengan menciptakan 10 juta lapangan kerja baru selama lima tahun.
Dengan melihat beragam janji tersebut, dalam 100 hari pemerintah
mendatang, Jokowi harus tancap gas dan melupakan sejenak bulan madu. Sebab,
ekspektasi rakyat yang tinggi terhadap pemerintahan baru Jokowi ini tak boleh
dianggap remeh. Sekali rakyat kecewa, bisa jadi rakyat akan mencabut
dukungannya. Kemarahan rakyat tentu jauh lebih berbahaya ketimbang kemarahan
sejumlah elite.
Sebab, harus diakui, Jokowi merupakan pemimpin yang lahir dari
rakyat. Kemenangan Jokowi dalam pilpres yang lalu dapat dipastikan bukan
karena faktor elite politik yang mengusungnya, melainkan karena faktor
figuritas Jokowi itu sendiri. Tak mengherankan bila ada yang mengatakan,
tanpa diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sekalipun-alias diusung
partai lain-Jokowi akan tetap menang.
Sebab, figur Jokowi yang sangat identik dengan "rakyat
biasa" adalah magnet tersendiri dalam pertarungan pilpres lalu. Karena
itu pulalah banyak "rakyat biasa" rela menjadi relawan untuk
mendukung pencalonannya. Untuk itu, bila harus berutang budi, utang budi
terbesar bagi Jokowi sesungguhnya adalah kepada para relawan. Membalas utang
budi terhadap para relawan tentu dengan cara memenuhi semua harapan dan
keinginan rakyat.
Jika mau jujur, kemampuan Jokowi untuk melakukan gebrakan dan
menggunakan hak prerogatifnya jauh lebih besar peluangnya ketimbang
presiden-presiden sebelumnya. Sebab, Jokowi tidak tersandera oleh transaksi
atau politik dagang sapi sejumlah elite. Jokowi lebih leluasa untuk memilih
siapa yang akan duduk menjadi menteri karena dari awal sudah mampu merangkul
mitra koalisi dengan slogan "koalisi tanpa syarat".
Dengan posisi seperti itu, Jokowi semestinya mampu bekerja di
bawah tekanan publik, bukan tekanan elite. Begitu pula kebijakan-kebijakan
yang digelindingkannya, harus mampu memenuhi harapan rakyat. Harapan ini
tentu akan terlihat bagaimana gebrakan 100 hari pemerintah Jokowi, apakah
rakyat akan puas atau sebaliknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar