Jumat, 24 Oktober 2014

Menghindari Jebakan Pangan

Menghindari Jebakan Pangan

Prima Gandhi  ;  Dosen Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan,
Fakultas Ekonomi Manajemen IPB
REPUBLIKA, 17 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Pangan kebutuhan utama manusia. Inilah dasar statistikawan Jerman Erns Engel melakukan pengamatan hubungan antara pangan dan bujet (anggaran rumah tangga) di akhir abad ke-18.

Bagi manusia, makanan (pangan) merupakan hal yang tidak tergantikan untuk bertahan hidup. Secara makro, pangan merupakan masalah vital bagi negara karena berkaitan dengan kedaulatan dan ketahanan negara. Apabila suatu negara kekurangan pangan, ketahanan dan kedaulatannya terancam. 

Setidaknya ini dibuktikan oleh kehancuran Uni Soviet di awal 1990-an. Bubarnya Uni Soviet tidak hanya akibat penyusupan nilai glasnot, perestroika, dan demokrasi oleh "musuh" politik. Namun, embargo pangan oleh NATO memiliki andil besar terhadap runtuhnya negara komunis ini.

Di Uni Soviet, 70 tahun rezim pemerintahan komunisme akhirnya runtuh. Demikian pula pemerintahan rezim Orde Lama di Indonesia runtuh akibat krisis pangan.

Becermin dari kedua peristiwa itu, pangan dapat menjadi komoditas ekonomi politik penting untuk menjatuhkan rezim pemerintahan, bahkan membubarkan negara. Sebaliknya, pangan bisa menjadi faktor penentu terjaganya eksistensi persatuan dan kesatuan negara. Ini dibuktikan oleh Amerika Serikat, Jerman, dan Belanda menjadi negara maju karena saat ini korporasi bisnisnya menguasai tata niaga pangan dan produk pendukung pertanian (benih, pupuk sintetis, pestisida) dunia.

Penguasaan korporasi besar dalam bidang pangan menimbulkan dilema bagi sistem pertanian berkelanjutan. Di satu sisi hal ini menunjukkan kesuksesan model sistem produksi pertanian karena penguasaan pasar dan maksimalisasi profit. Di sisi lain ini menimbulkan kerusakan ekologi dan menggusur usaha pertanian keluarga (family farming).

Tanpa regulasi yang jelas, sistem produksi pangan oleh korporasi dapat mengubah tujuan produksi pangan. Sangat berbahaya bila terjadi pergeseran tujuan produksi pangan dari mencukupi kebutuhan pangan menjadi proses akumulasi kapital. Ketika ini terjadi, maka negara dengan sistem pangan lemah akan mengalami jebakan pangan (food trap). Food trap adalah kondisi sebuah negara terpaksa harus mengimpor karena produksi dalam negeri tidak bisa diandalkanuntuk memenuhi kebutuhan pangan.

Setiap 16 Oktober kita memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS) ke-34. Peringatan HPS dimulai sejak Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) menetapkan World Food Day melalui Resolusi PBB No 1/1979 di Roma, Italia.
Tang gal 16 Oktober dipilih karena bertepatan dengan terbentuknya FAO. Mulai 1981, seluruh negara anggota FAO wa jib memperingati HPS secara nasional. Tema hari pangan 2014 di Indonesia adalah pertanian bioindustri berbasis pangan lokal potensial.

Dua bulan lalu (12/8), Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data hasil sensus pertanian tahun 2013. Data sensus menunjukkan, impor pangan Indonesia terus melesat. Pada 2003, impor pangan 3,34 miliar dolar AS dan pada 2013 mencapai 14,90 miliar dolar AS. Berarti terjadi lonjakan impor empat kali lipat dalam kurun waktu 10 tahun.

Tingginya nilai impor pangan bisa di jadikan indikator negara tidak mandiri pangan (Hidayat, 2014). Jika laju impor pangan lebih besar dibanding laju pertumbuhan penduduk dan produktivitas pangan, maka dikatakan terjadi krisis pangan. Selain faktor teknis seperti rusaknya infrastruktur pertanian dan konversi lahan, krisis pangan suatu negara terjadi karena beberapa hal.

Pertama, meningkatnya konsumsi pangan dalam negeri. Ini akibat laju pertambahan penduduk dan naiknya angka kedatangan turis tidak berbanding dengan laju produktivitas pangan. Sebagai contoh, BPS mengatakan, dalam 10 tahun terakhir terjadi penyusutan jumlah rumah tangga petani 500 ribu keluarga per tahun. Dampaknya, produktivitas pangan lokal menurun.

Penurunan produktivitas pangan ini dibuktikan dengan nilai impor sayuran pada 2013 mencapai 640,76 juta dolar AS. Nilai ini naik 27,24 persen dibanding 2012 yang masih 503,59 juta dolar AS.

Kedua, faktor iklim. Pemanasan global, ketidakpastian cuaca dan keterlambatan adaptasi mitigasi perubahan iklim memengaruhi terjadinya krisis pangan. Australia sebagai produsen gandum terbesar di dunia pernah mengalami krisis gandum karena produksi gandumnya turun 40 persen sebesar empat juta ton pada 2007 akibat kekeringan (Arifin, 2008).

Ketiga, berkembangnya industri biofuel (fuels produced from plant, agriculture, and forestry) memicu percepatan krisis pangan. Sebab, tanaman bahan baku utama biofuel seperti jagung dan tebu sebagian besar dibudidayakan dengan sistem pertanian monokultur yang memerlukan lahan luas. Kasus meroketnya harga kedelai di pasar dunia awal 2010 akibat Amerika Serikat mengalih- fungsikan lahan pertanian kedelai menjadi jagung untuk memproduksi etanol adalah faktanya.

Dengan memperingati HPS, bangsa ini harus keluar dari jebakan impor pangan. Kita tidak boleh membiarkan kemiskinan semakin bertambah, kelaparan dan malnutrisi merajalela di Indonesia. Kemandirian dan kedaulatan pangan Indonesia adalah suatu yang tidak perlu ditawar lagi.

Dengan berakhirnya masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintahan presiden Joko Widodo harus membuat kebijakan propangan nasional. Produksi pangan harus digenjot dengan menambah lahan pertanian agar laju impor pangan berkurang dan produktivitas pangan bertambah. Besar harapan dalam beberapa tahun ke depan kita dapat memenuhi seluruh kebutuhan pangan dari hasil produksi sendiri, kecuali untuk bahan pangan yang memang belum bisa dibudidayakan di dalam negeri. Ini tidak mudah. Sekali lagi, diperlukan kebijakan tepat dan komprehensif.

Terakhir, sektor pangan dan pertanian sulit menjadi "leading sector" dalam pembangunan nasional apabila dimonopoli oleh pemerintah dan akademisi kampus pertanian. Semua komponen civil society, politisi, LSM, praktisi, peng usaha, dan akademisi pertanian harus memahami arti penting pangan sehingga mampu berkontribusi dalam pem bangunan pertanian dan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar