Menghindari
Jebakan Pangan
Prima Gandhi ; Dosen Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan,
Fakultas
Ekonomi Manajemen IPB
|
REPUBLIKA,
17 Oktober 2014
Pangan
kebutuhan utama manusia. Inilah dasar statistikawan Jerman Erns Engel
melakukan pengamatan hubungan antara pangan dan bujet (anggaran rumah tangga)
di akhir abad ke-18.
Bagi manusia,
makanan (pangan) merupakan hal yang tidak tergantikan untuk bertahan hidup. Secara
makro, pangan merupakan masalah vital bagi negara karena berkaitan dengan
kedaulatan dan ketahanan negara. Apabila suatu negara kekurangan pangan,
ketahanan dan kedaulatannya terancam.
Setidaknya ini dibuktikan oleh
kehancuran Uni Soviet di awal 1990-an. Bubarnya Uni Soviet tidak hanya akibat
penyusupan nilai glasnot, perestroika, dan demokrasi oleh "musuh"
politik. Namun, embargo pangan oleh NATO memiliki andil besar terhadap
runtuhnya negara komunis ini.
Di Uni
Soviet, 70 tahun rezim pemerintahan komunisme akhirnya runtuh. Demikian pula
pemerintahan rezim Orde Lama di Indonesia runtuh akibat krisis pangan.
Becermin
dari kedua peristiwa itu, pangan dapat menjadi komoditas ekonomi politik
penting untuk menjatuhkan rezim pemerintahan, bahkan membubarkan negara.
Sebaliknya, pangan bisa menjadi faktor penentu terjaganya eksistensi
persatuan dan kesatuan negara. Ini dibuktikan oleh Amerika Serikat, Jerman,
dan Belanda menjadi negara maju karena saat ini korporasi bisnisnya menguasai
tata niaga pangan dan produk pendukung pertanian (benih, pupuk sintetis,
pestisida) dunia.
Penguasaan
korporasi besar dalam bidang pangan menimbulkan dilema bagi sistem pertanian
berkelanjutan. Di satu sisi hal ini menunjukkan kesuksesan model sistem
produksi pertanian karena penguasaan pasar dan maksimalisasi profit. Di sisi
lain ini menimbulkan kerusakan ekologi dan menggusur usaha pertanian keluarga
(family farming).
Tanpa regulasi
yang jelas, sistem produksi pangan oleh korporasi dapat mengubah tujuan
produksi pangan. Sangat berbahaya bila terjadi pergeseran tujuan produksi
pangan dari mencukupi kebutuhan pangan menjadi proses akumulasi kapital.
Ketika ini terjadi, maka negara dengan sistem pangan lemah akan mengalami
jebakan pangan (food trap). Food trap adalah kondisi sebuah negara
terpaksa harus mengimpor karena produksi dalam negeri tidak bisa
diandalkanuntuk memenuhi kebutuhan pangan.
Setiap
16 Oktober kita memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS) ke-34. Peringatan HPS
dimulai sejak Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) menetapkan World
Food Day melalui Resolusi PBB No 1/1979 di Roma, Italia.
Tang gal
16 Oktober dipilih karena bertepatan dengan terbentuknya FAO. Mulai 1981,
seluruh negara anggota FAO wa jib memperingati HPS secara nasional. Tema hari
pangan 2014 di Indonesia adalah pertanian bioindustri berbasis pangan lokal
potensial.
Dua
bulan lalu (12/8), Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data hasil sensus
pertanian tahun 2013. Data sensus menunjukkan, impor pangan Indonesia terus
melesat. Pada 2003, impor pangan 3,34 miliar dolar AS dan pada 2013 mencapai
14,90 miliar dolar AS. Berarti terjadi lonjakan impor empat kali lipat dalam
kurun waktu 10 tahun.
Tingginya
nilai impor pangan bisa di jadikan indikator negara tidak mandiri pangan
(Hidayat, 2014). Jika laju impor pangan lebih besar dibanding laju pertumbuhan
penduduk dan produktivitas pangan, maka dikatakan terjadi krisis pangan.
Selain faktor teknis seperti rusaknya infrastruktur pertanian dan konversi
lahan, krisis pangan suatu negara terjadi karena beberapa hal.
Pertama,
meningkatnya konsumsi pangan dalam negeri. Ini akibat laju pertambahan
penduduk dan naiknya angka kedatangan turis tidak berbanding dengan laju
produktivitas pangan. Sebagai contoh, BPS mengatakan, dalam 10 tahun terakhir
terjadi penyusutan jumlah rumah tangga petani 500 ribu keluarga per tahun.
Dampaknya, produktivitas pangan lokal menurun.
Penurunan
produktivitas pangan ini dibuktikan dengan nilai impor sayuran pada 2013
mencapai 640,76 juta dolar AS. Nilai ini naik 27,24 persen dibanding 2012
yang masih 503,59 juta dolar AS.
Kedua,
faktor iklim. Pemanasan global, ketidakpastian cuaca dan keterlambatan
adaptasi mitigasi perubahan iklim memengaruhi terjadinya krisis pangan. Australia
sebagai produsen gandum terbesar di dunia pernah mengalami krisis gandum
karena produksi gandumnya turun 40 persen sebesar empat juta ton pada 2007
akibat kekeringan (Arifin, 2008).
Ketiga,
berkembangnya industri biofuel (fuels
produced from plant, agriculture, and forestry) memicu percepatan krisis pangan.
Sebab, tanaman bahan baku utama biofuel seperti jagung dan tebu sebagian
besar dibudidayakan dengan sistem pertanian monokultur yang memerlukan lahan
luas. Kasus meroketnya harga kedelai di pasar dunia awal 2010 akibat Amerika
Serikat mengalih- fungsikan lahan pertanian kedelai menjadi jagung untuk
memproduksi etanol adalah faktanya.
Dengan
memperingati HPS, bangsa ini harus keluar dari jebakan impor pangan. Kita
tidak boleh membiarkan kemiskinan semakin bertambah, kelaparan dan malnutrisi
merajalela di Indonesia. Kemandirian dan kedaulatan pangan Indonesia adalah
suatu yang tidak perlu ditawar lagi.
Dengan
berakhirnya masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintahan
presiden Joko Widodo harus membuat kebijakan propangan nasional. Produksi
pangan harus digenjot dengan menambah lahan pertanian agar laju impor pangan
berkurang dan produktivitas pangan bertambah. Besar harapan dalam beberapa
tahun ke depan kita dapat memenuhi seluruh kebutuhan pangan dari hasil
produksi sendiri, kecuali untuk bahan pangan yang memang belum bisa
dibudidayakan di dalam negeri. Ini tidak mudah. Sekali lagi, diperlukan
kebijakan tepat dan komprehensif.
Terakhir,
sektor pangan dan pertanian sulit menjadi "leading
sector" dalam pembangunan nasional apabila dimonopoli oleh pemerintah
dan akademisi kampus pertanian. Semua komponen civil society, politisi, LSM, praktisi, peng usaha, dan akademisi
pertanian harus memahami arti penting pangan sehingga mampu berkontribusi
dalam pem bangunan pertanian dan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar