Jumat, 24 Oktober 2014

Nobel Eratkan Persaudaraan

Nobel Eratkan Persaudaraan

Ign Dhama Wahyu  ;  Mahasiswa Pascasarjana sebuah PTS Yogyakarta
KORAN JAKARTA, 18 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Banyak yang istimewa dalam penganugerahan Nobel Perdamaian (NP) tahun ini. Pertama-tama, Nobel terasa istimewa karena salah satunya diberikan kepada bocah belia, sebuah umur yang di masa lalu tak bakal terpikirkan bisa memperoleh penghargaan setinggi itu. Memang sudah cukup banyak wanita memperoleh NP, tapi untuk remaja baru kali ini.

Wanita lain yang menerima NP contohnya Ibu Theresa dan tiga perempuan (tahun 2011) dari Afrika. Satu di antaranya kepala negara perempuan pertama yang terpilih di Afrika, yaitu Ellen Johnson Sirleaf. Kemudian aktivis perdamaian Liberia, Leymah Gbowee, dan seorang aktivis HAM Yaman, Tawakkul Karman.

NP tahun 2014 sangat luar biasa karena diberikan kepada bocah yang sudah memiliki kesadaran pentingnya pendidikan. Hebatnya, dia berjuang untuk anak-anak seusianya yang sangat mungkin banyak kaum dewasa tak memikirkannya.

Namun, yang tak kalah dahsyat, hadiah NP diterima Malala Yousafzai dari Pakistan yang merupakan seorang muslim dan Kailash Satyarthi dari India, penganut Hindu. Ini terasa begitu indah karena dua agama sekaligus disatukan dalam NP. Malala dan Kailash mewakili agama masing-masing. Pikiran-pikiran mereka sangat memesona.

Semoga saja dua penerima NP ini semakin mengeratkan persaudaraan di antara kaum beragama di mana pun berada untuk bersama-sama berjuang melawan penindasan terhadap bocah-bocah dari tangan-tangan tiran. Ini juga dikuatkan Komite Nobel yang mengatakan bahwa perjuangan mereka berdua yang merupakan tokoh pejuang untuk anak-anak adalah langkah penting bagi seorang penganut Hindu dan Islam, seorang warga India dan Pakistan untuk bersama-sama memperjuangkan pendidikan serta melawan ekstremisme. Keduanya menggambarkan penganut yang mendalami agama masing-masing secara baik dan benar.

Malala Yousafzai yang kini berusia 17 tahun telah memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak perempuan di Pakistan selama beberapa tahun sebelum akhirnya ditembak di bagian kepala oleh Taliban tahun 2012. Malala sempat menjalani perawatan di Inggris dan kemudian melanjutkan perjuangannya bagi hak-hak anak perempuan. Malala adalah penerima penghargaan Nobel termuda dalam sejarah.

Sementara Kailash Satyarthi telah lama mengampanyekan untuk mengakhiri eksploitasi terhadap anak-anak demi meraih keuntungan finansial. Komite Nobel Norwegia mengatakan Satyarthi juga telah memberi kemajuan penting dalam merumuskan konvensi internasional tentang hak asasi anak-anak. Tidak kurang dari tiga puluh tahun dia berjuang melepaskan bocah-bocah dari perbudakan.

Tindakan keduanya juga dibenarkan Komite Nobel Norwegia bahwa penghargaan NP diserahkan sebagai apresiasi atas “perjuangan keduanya melawan tekanan terhadap anak-anak dan remaja agar bisa memperoleh pendidikan”.

Malala kini menjadi semacam pejuang pendidikan bagi kaumnya di daerah pendudukan Taliban. Kelompok Taliban melarang remaja putri pada umumnya untuk bersekolah karena menganggap bukan kodrat wanita untuk menempuh pendidikan.

Malala telah menjadi simbol perdamaian melawan setiap penindasan. Tak mengherankan bila beberapa waktu lalu Sekjen PBB, Ban Ki Moon, memanggilnya untuk memberi waktu secara penuh kepada Malala berpidato di Majelis Umum PBB, Jumat, 12 Juli 2013. Malala menyerukan pendidikan global bagi seluruh anak di dunia, tanpa kecuali. Untuk menghormati bocah brilian ini, PBB menyatakan 12 Juli, yang merupakan hari kelahiran Malala, sebagai Hari Malala.

Hadir dalam sidang umum tersebut antara lain Presiden Majelis Umum PBB Vuk Jeremic, Utusan Khusus PBB untuk Pendidikan Global Gordon Brown serta para presiden dan tokoh dunia. Yang menarik ketika itu, Malala membuka pidato dengan lantang, atas nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. “Hari ini adalah kehormatan bagi saya untuk bisa bicara lagi setelah sekian lama. Berada di sini, di antara hadirin yang mulia, adalah momen yang luar biasa dalam hidup saya. Saya juga merasa amat terhormat hari ini karena saya mengenakan syal dari Benazir Bhutto yang telah syahid.”

Dunia juga perlu mengingat pidatonya yang mengeratkan persaudaraan di antara kaum beragama, tanpa melihat latar belakangnya. “Ini adalah welas asih yang diajarkan Muhammad, Yesus Kristus, dan Buddha. Ini adalah warisan perubahan yang diturunkan pada saya oleh Martin Luther King, Nelson Mandela, dan Muhammad Ali Jinnah. Ini adalah filosofi anti kekerasan yang diajarkan Gandhi, Bacha Khan, dan Bunda Teresa. Ini adalah semangat memberi maaf yang diajarkan ayah dan ibu. Ini adalah apa yang dibisikkan jiwa saya pada saya, ‘damailah dan cintailah semua orang.’ Kemiskinan, ketidakpedulian, ketidakadilan, rasisme, dan perampasan hak dasar adalah persoalan-persoalan utama yang dihadapi pria dan perempuan di dunia.”

Inspirasi

Kisah Malala seharusnya menjadi inspirasi para remaja Indonesia juga. Remaja Indonesia juga perlu meniru atau mengambil inspirasi semangat kerendahan hati, sederhana, lemah lembut, dan baik hati sebagaimana diperlihatkan gadis pemberani tersebut. Andai saja remaja-remaja Indonesia mau dan mampu mengenal diri Malala lebih dalam, tentu akan lahir Malala-Malala lebih banyak lagi di dunia, utamanya Indonesia.

Pemerintah harus terinspirasi perjuangan dua wanita peraih NP yang bekerja tanpa kenal lelah dan tiada dibayar demi akses pendidikan anak-anak. Kurang apa, negeri ini sudah ada kementerian sosial, sebuah lembaga dengan kemampuan finansial jauh luar biasa dari kondisi keuangan Malala dan Kailash. Dengan kata lain, Kementerian Sosial seharusnya lebih menggigit buah kerjanya.

Namun, apa yang kita lihat setiap hari? Ribuan anak berkeliaran di jalanan, halte, terminal, stasiun, bahkan mengais-ngais di tempat sampah. Masa pendidikan mereka habiskan di tempat-tempat seperti itu. Tidak pernah ada gebrakan Kementerian Sosial dalam menangani anak-anak jalanan. Lembaga itu seharusnya mampu memulangkan anak-anak ke rumah untuk bermain dan belajar, bukan berjualan atau mengamen.

Mencari nafkah bukan pekerjaan anak-anak. Namun, tidak sedikit orang tua yang justru tega menggantungkan hidup mereka atau keluarga dari jerih payah anak-anak. Hasil mengasong atau mengamen dimakan kedua orang tua yang sepanjang hari hanya duduk-duduk dan tiduran di rumah. Harus ada “perburuan” anak-anak jalanan. Pemerintah perlu kerja sedikit keras “memburu” anak-anak tersebut untuk “dikandangkan” di pondokan. Di situ mereka dididik, baik secara formal maupun informal.

Jika anggaran dikelola dengan baik, lebih dari cukup untuk mendidik dan memberi makan anak-anak jalanan di pondokan. Hanya dengan cara memaksa, maka anak-anak dapat dikendalikan, berada di tempat yang baik dan benar.

Pemerintah Indonesia ada baiknya menyimak seruan Malala, “Kami menyerukan kepada pemerintahan di seluruh dunia untuk mengadakan pendidikan gratis dan wajib bagi semua anak, tanpa kecuali. Kita tidak boleh lupa bahwa jutaan orang hari ini menderita akibat kemiskinan, ketidakadilan, dan ketidakpedulian.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar