Agenda
Hukum Kabinet Kerja
Saldi Isra ; Guru
Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum
Universitas Andalas, Padang
|
KOMPAS,
28 Oktober 2014
SETELAH melewati proses pencarian kandidat yang berliku, Minggu
(26/10), Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengumumkan
anggota kabinet di depan Istana Kepresidenan. Pengumuman ini sekaligus
mengakhiri spekulasi seputar nama-nama yang beredar sejak pasangan ini
ditetapkan sebagai pemenang Pemilu Presiden 2014. Sesuai dengan karakter
dasar keduanya, kumpulan pembantu presiden ini diberi nama Kabinet Kerja.
Melacak dinamika politik setelah penetapan JKW-JK sebagai
Presiden dan Wakil Presiden terpilih, tenggat waktu enam hari untuk
menentukan dan mengumumkan anggota kabinet dari pelantikan menjadi kebutuhan
tak terelakkan. Bagaimanapun, dengan koalisi sejumlah parpol dan dalam posisi
tidak mendapat dukungan mayoritas di DPR, tarik-menarik menjadi konsekuensi
yang mesti diterima. Apalagi, demi merealisasikan gagasan menghadirkan
menteri yang bersih dan bebas dari korupsi, JKW-JK juga memerlukan
”klarifikasi” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Selain kerumitan di sekitar pemilihan calon anggota kabinet,
secara hukum, JKW-JK sangat tak mungkin mengumumkan kabinet hanya berjarak
satu-dua hari dari pelantikan. Dengan adanya perubahan struktur kementerian,
baik karena pemisahan maupun penggabungan, sesuai dengan Pasal 19 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, struktur baru
perlu pertimbangan DPR. Meski hanya pertimbangan, dinamika politik yang
terjadi, amanat Pasal 19 Ayat (1) itu jadi keharusan demi membangun
komunikasi politik kondusif antara Presiden dan DPR.
Dengan berbagai kondisi ini, terlepas dari segala macam
kontroversi di sekitar proses pengisian menteri, jarak enam hari dari waktu
pelantikan terbilang cepat. Paling tidak, penilaian ini dapat dibenarkan
merujuk limitasi dalam UU No 39/2008 bahwa presiden memiliki waktu 14 hari
kerja menyelesaikan segala sesuatu terkait kementerian dan pengisian menteri
sejak pengucapan sumpah dan janji. Karena itu, di tengah kontroversi yang
muncul, yang paling ditunggu adalah bagaimana anggota kabinet memenuhi pohon
janji yang disampaikan JKW-JK selama kampanye.
Di antara untaian pohon janji yang tertuang dalam Sembilan
Agenda Prioritas JKW-JK adalah agenda hukum. Dalam agenda ini, JKW-JK
berjanji akan memperkuat kehadiran negara dalam reformasi sistem hukum dan
penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya. Membaca janji
itu dan setelah mengetahui sosok anggota kabinet, terutama Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia, arah agenda pembangunan dan penegakan hukum akan menjadi
salah satu titik sentral menilai Kabinet Kerja ke depan.
Politik legislasi
Apabila ditelusuri agenda penegakan hukum yang tertuang dalam
visi-misi JKW-JK, pasangan ini menawarkan 42 agenda prioritas. Dari semua
agenda itu, sekitar 25 persen terkait legislasi. Melihat perjalanan
pembangunan hukum selama ini, perhatian besar terhadap politik legislasi
menjadi sangat masuk akal.
Bagaimanapun, jika mau mengakui secara jujur, karut-marut wajah
penegakan hukum salah satu penyebab utamanya masalah substansi hukum yang
berasal dari agenda legislasi. Dalam ranah pemberantasan korupsi, misalnya,
substansi hukum (legal substance)
dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang memberi kontribusi besar atas
kegagalan menghentikan gurita praktik korupsi. Selain banyak yang kabur,
substansi hukum mudah terjebak dalam pertentangan antara yang satu dan yang
lainnya. Bahkan, sebagian pihak menengarai substansi demikian sengaja dibuat
(by design) untuk memudahkan
berkelit bagi mereka yang terjerat kasus korupsi.
Celakanya, dalam praktik, substansi hukum yang lemah bertaut
dengan komitmen sebagian penegak yang tidak memihak kepada agenda penegakan
hukum. Substansi hukum yang bermasalah tidak hanya memudahkan melakukan
segala macam bentuk penyimpangan, tetapi juga memberi kesempatan luas kepada
penegak hukum untuk ”menggorengnya” sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Karena itu, adanya komitmen JKW-JK memberantas mafia peradilan
dan penindakan tegas terhadap korupsi di lingkungan peradilan tak mungkin
dilakukan secara optimal tanpa memberikan perhatian serius soal legislasi.
Sangat mungkin, untuk menjalankan agenda tersebut, akan dilakukan peninjauan
ulang substansi sejumlah UU.
Soal legislasi menjadi begitu penting karena secara eksplisit
JKW-JK berjanji untuk membentuk regulasi yang mendukung pemberantasan
korupsi. Dalam soal ini, dikemukakan regulasi yang akan dibentuk, di
antaranya RUU Perampasan Aset, RUU Perlindungan Saksi/Korban, RUU Kerja Sama
Timbal Balik (MLA), dan RUU Pemberantasan Transaksi Tunai. Bahkan, dari segi
urgensi, meski tidak disebut eksplisit, agenda pemberantasan korupsi akan
sangat terbantu jika segera hadir substansi undang-undang tentang pembalikan
beban bukti atau pembuktian terbalik.
Selain soal tersebut, salah satu poin penting yang akan
diprioritaskan dalam politik legislasi JKW-JK adalah menyediakan forum untuk
melibatkan masyarakat dalam proses legislasi dan penyediaan akses terhadap
proses dan produk legislasi. Komitmen menyediakan forum ini akan menjadi
sebuah langkah maju dalam melembagakan partisipasi publik. Sejauh ini, peran
serta masyarakat tak ubahnya seperti teriakan di tengah padang pasir.
Padahal, UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan secara tegas
menyatakan partisipasi merupakan hak masyarakat. Padahal, jika pada salah
satu sisi partisipasi dikatakan sebagai hak masyarakat, di sisi lain
penerimaan partisipasi menjadi kewajiban bagi pembentuk UU.
Banyak pihak percaya, jika forum itu terbentuk, suara masyarakat
akan menjadi pertimbangan penting dalam pembentukan UU. Bilamana forum ini
terbentuk, paling tidak pengalaman pemaksaan mayoritas politisi di DPR dalam
pembahasan dan persetujuan RUU Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD tidak
terulang lagi.
Meski demikian, forum tersebut harus dibuat dalam jangkauan yang
lebih luas, yaitu tak hanya sebatas dalam pembentukan UU, tetapi juga dalam
peraturan perundang-undangan di bawah UU. Bagaimanapun, partisipasi
diperlukan pula dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat untuk produk
hukum yang lebih rendah daripada UU.
Terkait dengan KPK, dukungan penguatan menjadi agenda mendesak.
Sebagai salah satu titik sentral dalam memberantas korupsi, dukungan optimal
dari pemerintah sangat dibutuhkan. Segala keterbatasan anggaran dan sumber
daya lainnya mesti segera dipecahkan agar KPK bisa lebih optimal mengurangi
laju praktik korupsi. Dalam negara dengan praktik korupsi yang masif,
dukungan pemerintah (termasuk parlemen) menjadi tambahan energi luar biasa.
Seperti ditulis Jon ST Quah (2013), indikator untuk menilai
dukungan (political will) pelaku
politik atas lembaga anti korupsi, yakni anggaran seharusnya proporsional
dengan jumlah penduduk dan rasio jumlah staf harus proporsional pula dengan
jumlah penduduk.
Selain itu, Quah juga mengingatkan, lembaga semacam KPK mesti
didukung produk legislasi komprehensif yang memungkinkan untuk lebih optimal
dalam desain besar pemberantasan korupsi. Namun, untuk kebutuhan saat ini,
agenda legislasi (berupa revisi) UU KPK harus dihitung betul dengan cermat.
Bisa saja maksud baik untuk memperkuat KPK dengan cara merevisi UU yang ada,
tetapi yang dihasilkan adalah pembatasan-pembatasan terhadap KPK.
Bagaimanapun, meski sebagian anggota DPR adalah wajah-wajah baru,
kekhawatiran banyak pihak akan upaya membatasi KPK sama sekali belum hilang.
Sebagai sebuah lembaga produk reformasi yang menjadi harapan
besar dalam agenda pemberantasan korupsi, sikap yang harus dilakukan adalah
menolak segala macam upaya yang dapat melemahkan KPK. Sikap demikian pun
secara eksplisit dituangkan dalam visi-misi JKW-JK. Meski demikian,
kewaspadaan pemerintah tak hanya terbatas pada upaya revisi UU KPK, tetapi
juga terhadap semua produk legislasi atau RUU yang berpotensi memangkas
kewenangan KPK.
Sekiranya memang memiliki komitmen untuk mempertahankan otoritas
KPK, masyarakat tidak perlu takut dengan segala kemungkinan manuver di DPR.
Sebagai salah satu pemegang kuasa legislasi, berdasarkan Pasal 20 Ayat (2)
UUD 1945, pemerintah dapat menarik diri dari pembahasan dan persetujuan
bersama sebuah rancangan undang-undang (RUU) jika substansinya melemahkan
KPK.
Institusi kunci
Dari sisi pemerintah, agenda pembangunan hukum dan penegakan
hukum akan sangat ditentukan oleh institusi kunci, yaitu Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia, kejaksaan, dan kepolisian. Untuk soal-soal hukum
secara umum, Menteri Hukum dan HAM akan menjadi salah satu kunci keberhasilan
agenda hukum ke depan.
Ketika diundang Presiden Jokowi ke istana, Rabu (22/10), saya
sempat mengemukakan bagaimana langkah strategis menanggulangi banyaknya
aturan hukum yang tumpang tindih. Dalam kesempatan itu, saya sampaikan harus
ada komitmen memperkuat kembali peran Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).
Intinya, Presiden harus memberikan dukungan politik yang kuat agar BPHN
kembali menjadi dapur hukum nasional.
Bahkan, karena memandang tumpang tindih aturan menjadi salah
satu penyebab utama karut-marut wajah hukum di negeri ini, saya sempat
menawarkan agar fungsi BPHN dipindahkan ke kantor presiden. Dengan gagasan
ini, semua peraturan perundang-undangan yang keluar dari pihak eksekutif
harus lolos telaah substantif dari lembaga ini, terlebih dulu sebelum
disahkan dan diundangkan.
Jika ini dilakukan, kemungkinan adanya substansi peraturan
perundang-undangan yang saling bertentangan bisa diminimalkan.
Tidak hanya itu, ihwal RUU yang sedang dibahas bersama di DPR
dan/atau DPD, sebelum memasuki tahap paripurna untuk mendapatkan persetujuan
bersama Presiden dan DPR, menteri yang ditunjuk mewakili presiden dalam
pembahasan harus menyampaikan perkembangan terakhir. Penyampaian perkembangan
dan perubahan substansi RUU perlu diketahui untuk menentukan apakah presiden
akan menyetujui atau tidak sebuah RUU yang telah dibahas bersama.
Bilamana hal ini dilakukan, tidak ada lagi substansi RUU yang
disetujui di luar pengetahuan presiden. Dengan demikian, presiden tidak perlu
mengambil langkah tidak menandatangani sebuah RUU yang disetujui bersama atau
menggunakan hak subyektif (dengan menerbitkan perppu) untuk mencabut
keberlakuan sebuah UU. Paling tidak, cerita miring di sekitar persetujuan RUU
Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD di ujung kekuasaan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono tidak terulang pada masa pemerintahan JKW-JK.
Sementara itu, untuk dua institusi kunci lain (kejaksaan dan
kepolisian), yang perlu dipastikan adalah melakukan dan melanjutkan pembaruan
internal. Bahkan, dalam konteks relasi dengan KPK, duet JKW-JK harus
memastikan sinergi antara kepolisian dan kejaksaan dengan KPK. Jika hal itu
dapat dipastikan, waktu ke depan kita tidak perlu melihat lagi terjadi
perseteruan di antara lembaga penegak hukum. Di atas itu semua, para anggota
kabinet perlu memastikan 42 agenda hukum prioritas terlaksana.
Hanya dengan cara itulah, harapan rakyat terus terpelihara. Selamat bekerja! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar