Susi
dan Tuhan Sembilan Senti
Nurul Rahmawati ; Mantan
Public Relations Perusahaan Rokok, Ibu satu anak
|
JAWA
POS, 29 Oktober 2014
SIAPA media darling saat ini? Kalau kita amati trending topic di Twitter, nama Susi
Pudjiastuti jadi juaranya. Perempuan anti-mainstream itu memang menyodok ke
permukaan. Gayanya yang nyentrik, profilnya sebagai pemilik maskapai perintis
sukses, membetot atensi masyarakat republik ini.
Pergosipan seputar Susi semakin gurih dan renyah manakala kita
saksikan aksi klebas-klebus yang dia pertontonkan di hadapan para jurnalis.
Tentu saja, itu pemandangan yang amat langka. Seorang menteri, ulil amri,
dengan gaya innocent menyemburkan asap rokok di ruang publik. She’s one in a
million. Mungkin baru kali ini ada seorang menteri yang dengan begitu pedenya
merokok tanpa tedeng aling-aling.
Lagi-lagi, muncul polarisasi respons publik. Ada pihak yang
merasa terwakili dengan gaya Susi. Susi ini gue banget! Apa salahnya dengan
merokok? Bukankah merokok itu hak asasi individu? Nggak masalah Susi merokok,
bertato, dan rumah tangga berantakan. Yang penting, dia tidak korupsi, kan?
Di pihak lain, tidak sedikit yang menyayangkan sikap Susi yang
terkesan eksentrik dan semau gue. Apa jadinya anak-anak kita kalau disodori
profil menteri seperti Susi? Sia-sia dong upaya Kementerian Kesehatan yang
terus mengampanyekan gerakan antirokok. Toh, ada kok perempuan perokok yang
jadi menteri.
Yang lebih parah, muncul beberapa meme di media sosial yang
menyandingkan gambar Susi versus Ratu Atut. Pesan yang ingin disampaikan:
jangan mudah tertipu bungkus luar. Toh, Ratu Atut berjilbab, cantik, tidak
merokok, tidak bertato, dan tidak bercerai, tapi tetap korupsi. Sementara
itu, para fans Susi meyakini bahwa idolanya adalah pejuang tangguh dan tidak
akan terjerumus dalam lembah korupsi.
Saya jadi teringat puisi satire yang digubah Taufiq Ismail.
Beberapa kutipan puisi tersebut, antara lain:
Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi
tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok.
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi
perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.
Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa bagi perokok,
tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok.
Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling
subur di dunia, dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau
itu bisa ketularan kena.
Anda tahu bagaimana ’’bengis’’-nya industri rokok? Berapa miliar
dana yang mereka gelontorkan demi ’’meracuni’’ anak bangsa ini? Mengapa pula
pemerintah (dalam hal ini kabinet SBY) terkesan ogah-ogahan untuk
meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control)? Padahal, FCTC
itu adalah strategi jitu untuk melindungi anak-anak dan generasi remaja dari
bahaya rokok.
Rokok tidak hanya membahayakan kesehatan anak, tetapi juga
meningkatkan prevalensi perokok anak. Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS)
2010 menyebutkan, perokok usia di bawah lima tahun (balita) ditemukan hampir
di seluruh Indonesia (tempo.co, Juni 2014).
Okelah, iklan rokok sudah diatur sedemikian rupa sehingga hanya
nongol di televisi di atas pukul 21.00. Beberapa kampus dan sekolah juga menerapkan
kebijakan kawasan bebas rokok. Yang patut diacungi jempol, beberapa produsen
event anak muda –PT DBL Indonesia, misalnya– berkomitmen kuat untuk menolak
semua brand rokok sebagai sponsorship event.
Sungguh, kita salut akan ’’perlawanan’’ beberapa pihak terhadap
rokok. Tapi, tampaknya, semua gerakan melawan rokok itu akan menjadi benang
basah yang sulit ditegakkan manakala kita dihadapkan pada role model bernama
Ibu Menteri.
Wahai Ibu Susi, mohon bantu kami. Ketika para ibu tengah
melarang anak-anak mereka merokok, lalu mendapatkan sanggahan retoris, ’’Lah,
Bu Menterinya aja ngerokok? Berarti rokok itu cool kan? Kenapa kita malah
dilarang merokok?’’
Lantas, apa jurus pemungkas yang harus kami sampaikan? Kami
respek dengan segala prestasi, kehebatan, dan daya juang Ibu Susi. Meski
demikian, dengan segala hormat, kami mohon agar Ibu tidak menjadikan rokok
sebagai ’’tuhan sembilan senti’’ yang bukan mustahil juga akan menjelma jadi
’’berhala-berhala kecil’’ bagi anak-anak muda di negara ini.
Kalaupun Ibu memang ingin merokok, mohon cari ruangan yang lebih
privat. Seorang Ignasius Jonan barangkali bisa Anda jadikan benchmark. Beliau
juga perokok berat. Ketika hasrat merokok tersebut muncul, Pak Jonan –waktu
itu direktur utama PT KAI– memilih untuk klebas-klebus sebentar di smoking
room sebuah stasiun. Dia bersikeras menjadikan seluruh moda kereta api bebas
asap rokok. Yang penting ada iktikad dan semangat kuat untuk tidak memberikan
teladan kurang elok bagi masyarakat luas.
Sebagai penutup tulisan ini, izinkan saya berbagi satu
pertanyaan. Mungkinkah profil Ibu Susi yang nyeleneh itu sengaja di-blow up
supaya atensi seluruh masyarakat teralihkan dari kasus delapan menteri yang
menyandang rapor merah dari KPK? Tanya kenapa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar