Babak
Baru Ebola
Tjandra Yoga Aditama ; Kepala
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
|
KOMPAS,
29 Oktober 2014
KITA sudah hampir setahun bersama wabah ebola. Kini ebola di
dunia memasuki babak baru dalam penanggulangannya: sebagian menunjukkan
keberhasilan dan sebagian masih menunjukkan kegagalan. Salah satu
keberhasilan penanggulangan ebola adalah perhatian dunia pada ebola terus
meningkat. Seluruh dunia memberikan perhatian penuh pada ebola yang jumlah
kasusnya sampai akhir Oktober 2014 sudah 9.000 orang lebih—sekitar 400 di
antaranya petugas kesehatan—dan menimbulkan kematian pada lebih dari 4.500
orang.
Akhir Oktober 2014, Pemerintah Kanada memperkenalkan vaksin
ebola edisi pertama, yang akan terus disempurnakan. Vaksin ini baru saja
diterima WHO dan minggu terakhir Oktober dilakukan pertemuan yang langsung
dipimpin Dirjen WHO untuk membicarakan kemungkinan pemanfaatan vaksin ini.
Perkembangan vaksin baru lain adalah dimulainya penelitian pada puluhan ribu
orang di Afrika untuk kandidat vaksin yang dihasilkan National Institute of
Health AS.
Program penanggulangan yang baik juga sudah menunjukkan hasil.
Senegal dan Nigeria pada Oktober 2014 sudah dinyatakan oleh WHO sebagai bebas
ebola setelah 42 hari (dua kali masa inkubasi) tak ada kasus baru. Artinya,
kalau penanggulangan dilakukan dengan benar dan saksama, ebola dapat
dihilangkan dari suatu negara.
Kegagalan
Selain sejumlah keberhasilan di atas, sejumlah kegagalan dan
tantangan juga terus dihadapi. Di tiga negara episenter ebola—Liberia,
Guinea, dan Sierra Leone—kasus terus bertambah setiap hari. Penyakit juga
sudah keluar dari Afrika, ditemukan kasus ebola di Eropa dan AS. WHO
memperkirakan, kalau tidak ditangani dengan baik, kasus ebola Desember 2014
akan jadi 10.000 kasus baru setiap minggu. Para ahli juga membuat estimasi
jumlah kasus ebola pada Januari 2015
dapat mencapai 550.000 orang, atau bahkan sebenarnya akan ada 1,4 juta karena
sebagian kasus tak terdeteksi atau tak terlaporkan.
Petugas lapangan di negara terjangkit di Afrika juga amat
kurang, baik petugas kesehatan maupun petugas lain. Untuk tenaga pengubur
jenazah yang aman (seperti diketahui, penularan ebola dari jenazah amatlah
tinggi), misalnya di negara-negara wabah di Afrika, perlu 500 tim pengubur
jenazah (lengkap dengan mobil jenazah khusus, alat pelindung diri khusus,
pelatihan, dan lain-lain), dan kini baru ada 50 tim di lapangan.
Yang juga perlu mendapat perhatian adalah terjadinya penularan
ke luar Afrika. Kasus pertama di AS, terbang dari Liberia masih tanpa
keluhan, lalu setelah lima hari di AS baru gejalanya timbul. Artinya,
penularan ebola antarbenua melalui pesawat terbang memang akhirnya telah
terjadi. Secara medis, hal yang paling mengkhawatirkan adalah terjadinya
penularan pada petugas kesehatan di AS dan Spanyol. Hal ini menunjukkan dua
hal. Pertama, inilah pertama kali terjadi penularan ebola antarmanusia di
luar Afrika. Kedua, walaupun petugas kesehatan di AS dan Spanyol sudah
menggunakan alat pelindung diri lengkap, toh mereka juga bisa tertular ebola
dan jatuh sakit. Belakangan diketahui petugas kesehatan ini tertular karena
menggunakan alat pelindung diri tanpa mengikuti prosedur yang benar, baik
waktu mengenakan maupun ketika melepas.
Salah satu tantangan lain, sampai 2014 penyakit yang ditemukan
pada 1976 ini belum ada obatnya yang ampuh yang dapat membunuh virusnya.
Perhatian perusahaan farmasi besar juga tak terlalu besar. Selain pengobatan
terhadap mereka yang sakit, upaya penting mencegah meluasnya penularan adalah
menemukan dan mengarantina mereka yang mungkin berhubungan dengan pasien
(disebut kontak). Dari satu pasien, dapat ditemukan puluhan dan mungkin
ratusan orang yang harus diawasi. Ada lima bentuk pengawasan yang harus
dilakukan selama 21 hari sesuai masa inkubasi ebola, tergantung dari
pertimbangan epidemiologi yang ada.
Pertama, memeriksa suhu setiap pagi dan sore. Kedua, melarang
mereka mendatangi tempat umum. Ketiga, meminta mereka tetap tinggal di rumah
sakit (bagi petugas kesehatan). Keempat, meminta warga tak meninggalkan rumah
selama 21 hari. Kelima, menyediakan ruangan karantina khusus.
Tentu tak mudah melakukan kegiatan karantina seperti ini. Di AS
pernah ada pertimbangan untuk mengarantina semua penumpang satu pesawat
terbang waktu ada seorang di antara mereka yang diduga ebola, juga penutupan
stasiun di Dallas karena ada seseorang yang dicurigai sakit dan muntah di
pelataran stasiun. Ada juga upaya untuk menelusuri keadaan kesehatan 800 orang
yang pernah naik beberapa pesawat yang kebetulan juga dinaiki seorang pasien
ebola. Pernah juga ada kapal pesiar yang harus membelokkan arah pelayarannya
di sekitar Meksiko karena ada dugaan penumpang ebola di dalamnya.
Belum lagi dampak psikologis bagi mereka yang dikarantina selama
21 hari, tidak boleh kontak dengan orang lain sambil berpikir bahwa dalam
tubuh mereka mungkin ada ”bom waktu virus” yang setiap waktu mungkin
menyerang dan mematikan. Bagaimanapun, kemungkinan karantina dalam berbagai tingkatannya
memang merupakan bagian dari program penanggulangan penyakit amat menular
seperti ebola ini, dan harus disiapkan.
Kesiapan Indonesia
Sampai saat ini belum ada kasus ebola di Indonesia dan juga
belum ada di Asia, tetapi tentu kita harus siap dan waspada. Ada lima tahap
yang kita lakukan dan harus terus ditingkatkan di Indonesia untuk
mengantisipasi ebola yang kini sudah menjadi masalah kesehatan dunia dan
sesuai perkembangan ”babak baru” ebola sekarang ini.
Antisipasi pertama tentu kesiapan pintu masuk negara, khususnya
bandara internasional. Ada tiga kegiatan di sini. Pertama, ketersediaan pos
kantor kesehatan pelabuhan. Kedua, pemasangan thermal scan di bandara.
Ketiga, pemberian kartu kewaspadaan kesehatan seperti yang diberikan kepada
jemaah haji yang kembali ke Tanah Air. Kita patut bersyukur bahwa sejauh ini
tidak terjadi ebola pada musim haji tahun ini.
Antisipasi kedua adalah kesiapan surveilans epidemiologi di
lapangan. Hal ini maksudnya agar kalau ada kecurigaan kasus di masyarakat, kasus
itu dapat segera ditemukan, dideteksi, ditangani, dan semua orang yang pernah
kontak dengan kasus itu ada dalam pengawasan ketat. Kemungkinan karantina
juga disiapkan dalam tahap ini. Dalam hal ini peran pemerintah kabupaten/kota
menjadi amat penting untuk pelaksanaannya langsung di lapangan.
Antisipasi ketiga adalah kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan
untuk menangani ebola, mulai dari peran pelayanan tingkat pertama sampai ke
rumah sakit rujukan yang sudah kita siapkan di seluruh Indonesia. Pelayanan
tingkat pertama tugasnya mendeteksi awal dan merujuk kasus yang dicurigai,
termasuk menangani kontak yang berhubungan dengan kasus yang dicurigai itu.
Kesiapan rumah sakit bukan hanya kemampuan pengobatan, melainkan
juga jaminan agar tak terjadi penularan pada petugas kesehatan, seperti sudah
terjadi di negara lain, dan kesiapan kemungkinan karantina di rumah sakit.
Artinya, perlu pelatihan terus-menerus bagi petugas di berbagai lapisan
pelayanan dan juga alat serta ruangan memadai, sebagaimana sudah tersedia di
rumah sakit rujukan di negara kita, dan harus terpelihara baik.
Antisipasi keempat, kesiapan laboratorium. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan sudah memiliki laboratorium
dengan status Biosafety Level 3 (BSL 3), yang di dalamnya pengolahan virus
dilakukan dalam alat Biosafety Cabinet 3 (BSC 3). Petugas andal juga
tersedia, sejauh ini tidak ada masalah tentang reagen dan prosedur
pemeriksaannya.
Antisipasi kelima, komunikasi risiko. Penjelasan ke masyarakat
luas amat penting karena pemahaman masyarakat menjadi kunci penting
keberhasilan program kesehatan. Masyarakat tak perlu panik dan takut
berlebihan, tetapi perlu waspada dan mengenal penyakit ini secara benar. Kita
tak dapat meramal secara pasti bagaimana perkembangan ebola pada masa depan
dan apakah akan memengaruhi Indonesia atau tidak. Yang jelas, upaya
antisipasi sudah kita lakukan dan akan terus digiatkan sesuai perkembangan
penyakit di dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar