Pekerjaan
Berat Jokowi-JK
Jahen F Rezki ; Peneliti
di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat
(LPEM) FEUI
|
REPUBLIKA,
24 Oktober 2014
Ada
tugas berat yang akan dihadapi Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla
yang telah dilantik pada 20 Oktober 2014 ini. Khususnya jika kita melihat
dari potensi proses pembangunan ekonomi Indonesia.
Bank
Dunia (2014) dalam laporannya yang berjudul "Indonesia: Avoiding the Trap" menjelaskan bahwa
Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk terus berkembang dan
menjadi negara yang sejahtera. Namun, ada kemungkinan potensi ini tidak bisa
dicapai dan Indonesia akan terus bertahan menjadi negara dengan tingkat
berpendapatan menengah.
Bisa
tidaknya Indonesia berkembang menjadi negara maju bergantung pada dua hal.
Pertama, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat produktivitas tenaga
kerja. Kedua, melakukan reformasi struktural dari segi ekonomi dan birokrasi
untuk mempercepat kegiatan ekonomi.
Jika
dilihat dari kegiatan ekspor dan impor beberapa tahun terakhir, Indonesia
masih menjadi net eksportir untuk komoditas yang tergolong mentah. Data 2013
menunjukkan, net ekspor utama Indonesia adalah komoditas primer (SITC 3)
dengan nilai net ekspor mencapai 16,92 miliar dolar AS. Diikuti oleh bahan
makanan (SITC 0, SITC 1, SITC 22 dan SITC 4) dengan nilai net ekspor mencapai
16,53 miliar dolar AS. Komoditas lainnya yang
mengalami surplus perdagangan adalah logam bukan besi dan baja (SITC
28 dan SITC 68) dengan nilai 6,71 miliar dolar AS.
Sebaliknya,
untuk industri manufaktur, Indonesia konsisten menjadi net importir. Sejak
2008-2013 nilai impor Indonesia untuk barang-barang produk manufaktur selalu
lebih besar dibandingkan nilai ekspornya. Impor terbesar Indonesia untuk
barang manufaktur mencapai puncaknya pada 2012 dengan nilai net impor yang
menyentuh 54,17 miliar dolar AS. Dua produk manufaktur utama yang diimpor
Indonesia dalam skala besar adalah produk kimia (SITC 5) dan alat
transportasi (SITC7). Jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti
Thailand, kita masih sangat tertinggal dari segi industri manufaktur.
Meskipun
nilai foreign direct investment (FDI) meningkat beberapa periode terakhir,
tapi proporsinya masih lebih rendah dibandingkan investasi asing ke
negara-negara ASEAN lainnya. Sebagai contoh, proporsi FDI yang masuk ke
Indonesia setara 1,9 persen dari nilai produk domestik bruto (PDB). Negara
seperti Vietnam mencapai lima persen dari nilai PDB. Untuk negara ASEAN yang
berpendapatan menengah bahkan mencapai 3,3 persen dari PDB.
Produktivitas
pekerja Indonesia juga masih tertinggal jauh dibandingkan negara lainnya.
Nilai tambah per pekerja di Indonesia pada 2010 jauh di bawah nilai tambah
per pekerja di Malaysia, Thailand, dan Filipina. Indonesia hanya sedikit
lebih baik dari Kamboja. Kondisi ini yang mampu menjelaskan mengapa
pendapatan per kapita kita masih rendah dibandingkan negara lainnya.
Masalah
produktivitas disebabkan oleh masih adanya perbedaan antara keterampilan yang
dibutuhkan pemberi kerja dengan yang dimiliki pekerja. Jumlah penduduk
Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi semakin meningkat. Namun, kondisi
ini tidak diikuti pemberian latihan keterampilan yang sesuai kebutuhan pasar.
Hanya
sekitar lima persen dari angkatan kerja yang memperoleh pendidikan formal
dalam on the job training. Dengan
adanya ASEAN Economi Integration (AEC), kondisi ini akan sangat menyulitkan
pekerja Indonesia untuk bisa bersaing dengan pekerja dari negara lain.
Dilihat
dari segi pengeluaran pemerintah, masih banyak pos anggaran pemerintah yang
tidak tepat sasaran. Khususnya pengeluaran untuk subsidi energi. Tahun ini
nilainya mencapai Rp 350 triliun yang sebagian besar untuk subsidi BBM.
Subsidi
ini telah menggerogoti APBN yang tahun ini jumlahnya Rp 1.877 triliun.
Padahal, berdasarkan data Susenas tahun 2012 terlihat bahwa 51 persen
pengguna BBM bersubsidi adalah mereka yang tergolong 20 persen pendapatan
tertinggi. Hanya 6,4 persen dari penduduk yang masuk kelompok penghasilan 20
persen terendah yang mengonsumsi BBM bersubsidi.
Kondisi
pelabuhan dan bandara juga masih sangat buruk sehingga memunculkan masalah
konektivitas antarpulau. Buruknya kondisi infrastruktur ini menyebabkan
Indonesia kehilangan sekitar satu persen pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya
(Bank Dunia, 2014).
Meskipun
ada banyak tantangan, tapi Indonesia memiliki tiga faktor utama yang
mempunyai peranan penting dalam proses pembangunan lima tahun ke depan.
Pertama, struktur demografi Indonesia yang didominasi oleh penduduk muda bisa
menjadi potensi utama meningkatkan kegiatan perekonomian.
Dengan
memberikan tingkat pelatihan dan pendidikan yang cukup serta tersedianya
lapangan kerja memadai, penduduk muda Indonesia mampu menggenjot
perekonomian. Kedua, tingginya tren urbanisasi mampu mendorong pertumbuhan
ekonomi secara cepat karena mengindikasikan banyaknya kesempatan kerja di
perkotaan. Ketiga, tumbuhnya kelas menengah. Pemilu kemarin menunjukkan peran
kelas menengah semakin besar dan diharapkan bisa membantu pembangunan
ekonomi.
Ada tiga
hal yang bisa dilakukan pemerintahan baru menghadapi hal ini. Pertama,
melakukan proses reformasi secara masif dengan merealokasi pos-pos
pengeluaran yang dianggap tidak memberikan manfaat bagi perekonomian dan
efisiensi penggunaan anggaran. Subsidi BBM harus dihapus secara berkala untuk
mengurangi beban pemerintah. Upaya meningkatkan pendapatan dari pajak harus
mulai dipikirkan oleh pemerintahan baru.
Kedua
adalah perbaikan infrastruktur dan kualitas sumber daya akan mampu
mempercepat pertumbuhan ekonomi. Mempercepat proses pembebasan lahan serta
meningkatkan peran swasta dalam pendanaan pembangunan infrastruktur akan
mampu mengurangi beban pemerintah dari segi pendanaan. Pembuatan
tempat-tempat pelatihan bagi para angkatan kerja yang baru lulus sekolah
menjadi sangat penting. Peningkatan kualitas pendidikan dasar dan prasekolah
akan meningkatkan kualitas tenaga kerja itu sendiri.
Terakhir,
pemerintah bisa mulai membuat daerah-daerah industri secara merata dan tidak
hanya terpusat di Jawa. Pembangunan industri memang harus dibarengi
pembangunan infrastruktur secara baik. Adanya industri mampu berdampak
positif (positive spillover) bagi
daerah sekitar. Industri yang berkembang juga bisa memperbaiki struktur perdagangan
kita dengan baik, khususnya perdagangan untuk industri manufaktur.
Kita
berharap pemerintahan baru bisa langsung tancap gas dan tidak mengulangi
kesalahan pendahulunya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar