Sabtu, 25 Oktober 2014

Pekerjaan Berat Jokowi-JK

Pekerjaan Berat Jokowi-JK

Jahen F Rezki  ;  Peneliti di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat
(LPEM) FEUI
REPUBLIKA, 24 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Ada tugas berat yang akan dihadapi Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla yang telah dilantik pada 20 Oktober 2014 ini. Khususnya jika kita melihat dari potensi proses pembangunan ekonomi Indonesia.

Bank Dunia (2014) dalam laporannya yang berjudul "Indonesia: Avoiding the Trap" menjelaskan bahwa Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk terus berkembang dan menjadi negara yang sejahtera. Namun, ada kemungkinan potensi ini tidak bisa dicapai dan Indonesia akan terus bertahan menjadi negara dengan tingkat berpendapatan menengah.

Bisa tidaknya Indonesia berkembang menjadi negara maju bergantung pada dua hal. Pertama, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat produktivitas tenaga kerja. Kedua, melakukan reformasi struktural dari segi ekonomi dan birokrasi untuk mempercepat kegiatan ekonomi.

Jika dilihat dari kegiatan ekspor dan impor beberapa tahun terakhir, Indonesia masih menjadi net eksportir untuk komoditas yang tergolong mentah. Data 2013 menunjukkan, net ekspor utama Indonesia adalah komoditas primer (SITC 3) dengan nilai net ekspor mencapai 16,92 miliar dolar AS. Diikuti oleh bahan makanan (SITC 0, SITC 1, SITC 22 dan SITC 4) dengan nilai net ekspor mencapai 16,53 miliar dolar AS. Komoditas lainnya yang  mengalami surplus perdagangan adalah logam bukan besi dan baja (SITC 28 dan SITC 68) dengan nilai 6,71 miliar dolar AS.

Sebaliknya, untuk industri manufaktur, Indonesia konsisten menjadi net importir. Sejak 2008-2013 nilai impor Indonesia untuk barang-barang produk manufaktur selalu lebih besar dibandingkan nilai ekspornya. Impor terbesar Indonesia untuk barang manufaktur mencapai puncaknya pada 2012 dengan nilai net impor yang menyentuh 54,17 miliar dolar AS. Dua produk manufaktur utama yang diimpor Indonesia dalam skala besar adalah produk kimia (SITC 5) dan alat transportasi (SITC7). Jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Thailand, kita masih sangat tertinggal dari segi industri manufaktur.

Meskipun nilai foreign direct investment (FDI) meningkat beberapa periode terakhir, tapi proporsinya masih lebih rendah dibandingkan investasi asing ke negara-negara ASEAN lainnya. Sebagai contoh, proporsi FDI yang masuk ke Indonesia setara 1,9 persen dari nilai produk domestik bruto (PDB). Negara seperti Vietnam mencapai lima persen dari nilai PDB. Untuk negara ASEAN yang berpendapatan menengah bahkan mencapai 3,3 persen dari PDB.

Produktivitas pekerja Indonesia juga masih tertinggal jauh dibandingkan negara lainnya. Nilai tambah per pekerja di Indonesia pada 2010 jauh di bawah nilai tambah per pekerja di Malaysia, Thailand, dan Filipina. Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Kamboja. Kondisi ini yang mampu menjelaskan mengapa pendapatan per kapita kita masih rendah dibandingkan negara lainnya.

Masalah produktivitas disebabkan oleh masih adanya perbedaan antara keterampilan yang dibutuhkan pemberi kerja dengan yang dimiliki pekerja. Jumlah penduduk Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi semakin meningkat. Namun, kondisi ini tidak diikuti pemberian latihan keterampilan yang sesuai kebutuhan pasar.

Hanya sekitar lima persen dari angkatan kerja yang memperoleh pendidikan formal dalam on the job training. Dengan adanya ASEAN Economi Integration (AEC), kondisi ini akan sangat menyulitkan pekerja Indonesia untuk bisa bersaing dengan pekerja dari negara lain.

Dilihat dari segi pengeluaran pemerintah, masih banyak pos anggaran pemerintah yang tidak tepat sasaran. Khususnya pengeluaran untuk subsidi energi. Tahun ini nilainya mencapai Rp 350 triliun yang sebagian besar untuk subsidi BBM.

Subsidi ini telah menggerogoti APBN yang tahun ini jumlahnya Rp 1.877 triliun. Padahal, berdasarkan data Susenas tahun 2012 terlihat bahwa 51 persen pengguna BBM bersubsidi adalah mereka yang tergolong 20 persen pendapatan tertinggi. Hanya 6,4 persen dari penduduk yang masuk kelompok penghasilan 20 persen terendah yang mengonsumsi BBM bersubsidi.

Kondisi pelabuhan dan bandara juga masih sangat buruk sehingga memunculkan masalah konektivitas antarpulau. Buruknya kondisi infrastruktur ini menyebabkan Indonesia kehilangan sekitar satu persen pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya (Bank Dunia, 2014).

Meskipun ada banyak tantangan, tapi Indonesia memiliki tiga faktor utama yang mempunyai peranan penting dalam proses pembangunan lima tahun ke depan. Pertama, struktur demografi Indonesia yang didominasi oleh penduduk muda bisa menjadi potensi utama meningkatkan kegiatan perekonomian.

Dengan memberikan tingkat pelatihan dan pendidikan yang cukup serta tersedianya lapangan kerja memadai, penduduk muda Indonesia mampu menggenjot perekonomian. Kedua, tingginya tren urbanisasi mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara cepat karena mengindikasikan banyaknya kesempatan kerja di perkotaan. Ketiga, tumbuhnya kelas menengah. Pemilu kemarin menunjukkan peran kelas menengah semakin besar dan diharapkan bisa membantu pembangunan ekonomi.

Ada tiga hal yang bisa dilakukan pemerintahan baru menghadapi hal ini. Pertama, melakukan proses reformasi secara masif dengan merealokasi pos-pos pengeluaran yang dianggap tidak memberikan manfaat bagi perekonomian dan efisiensi penggunaan anggaran. Subsidi BBM harus dihapus secara berkala untuk mengurangi beban pemerintah. Upaya meningkatkan pendapatan dari pajak harus mulai dipikirkan oleh pemerintahan baru.

Kedua adalah perbaikan infrastruktur dan kualitas sumber daya akan mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi. Mempercepat proses pembebasan lahan serta meningkatkan peran swasta dalam pendanaan pembangunan infrastruktur akan mampu mengurangi beban pemerintah dari segi pendanaan. Pembuatan tempat-tempat pelatihan bagi para angkatan kerja yang baru lulus sekolah menjadi sangat penting. Peningkatan kualitas pendidikan dasar dan prasekolah akan meningkatkan kualitas tenaga kerja itu sendiri.

Terakhir, pemerintah bisa mulai membuat daerah-daerah industri secara merata dan tidak hanya terpusat di Jawa. Pembangunan industri memang harus dibarengi pembangunan infrastruktur secara baik. Adanya industri mampu berdampak positif (positive spillover) bagi daerah sekitar. Industri yang berkembang juga bisa memperbaiki struktur perdagangan kita dengan baik, khususnya perdagangan untuk industri manufaktur.

Kita berharap pemerintahan baru bisa langsung tancap gas dan tidak mengulangi kesalahan pendahulunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar