Pendidikan
Lintas Agama
M Ridwan Lubis ; Guru
Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
HALUAN,
17 Oktober 2014
Persidangan antarbangsa
tentang aliansi antarperadaban (United Nation Allience of Civilization) di
Bali pada akhir Agustus 2014 melahirkan rekomendasi bahwa untuk membangun
kerja sama menuju masyarakat dunia yang berperadaban agar dimulai menyusun
agenda pendidikan yang bersifat lintas agama dan budaya. Kerangka berpikirnya
bahwa saat ini tidak lagi mencukupi jika suatu komunitas hanya menerima
gagasan toleransi.
Kerukunan atau toleransi dalam arti pasif
pada dasarnya juga toleransi setengah hati (lazy tolerance). Dalam situasi
dunia yang tengah menghadapi meluasnya kekerasan karena sejumlah perbedaan
khususnya yang terkait keyakinan agama, masyarakat global diajak aktif
mewujudkan gagasan toleransi secara nyata. Modelnya adalah pendidikan lintas
agama dan budaya.
Dengan model pendidikan lintas agama,
diharapkan citra agama akan membaik tidak lagi menjadi sumber kekerasan atau
yang sering disebut radikalisme. Karena pendidikan lintas agama akan membudayakan
sistem dialog dalam membangun komunikasi tentang nilai-nilai keberagamaan
yang membentuk perilaku manusia.
Apabila ditelusuri perjalanan pendidikan
agama di masyarakat, ditemukan beberapa gagasan. Pertama, pendidikan agama
yang menekankan keyakinan agamanya sebagai satu-satunya kebenaran di alam
nyata. Apabila ada orang lain menganut kepercayaan berbeda, keyakinan itu
dianggap tidak ada.
Kedua, pendidikan agama yang mengajarkan
keyakinan absolut yang menjadi dasar misi terbentuknya lembaga pendidikan.
Selanjutnya, lembaga pendidikan dimaksud tidak memberi peluang masuknya
pengajaran agama lain ke lembaga pendidikan tersebut sekalipun ada murid
yang berbeda dari misi sekolah.
Hal ini bertentangan dengan UU Sistem
Pendidikan Nasional yang mengharuskan setiap peserta didik memperoleh
pendidikan agama berdasar pada agama yang dianut dan diajarkan oleh pendidik
yang seagama (UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Bab V Pasal 12 ayat [1] huruf a).
Ketiga, pendidikan agama yang digagas oleh
Prof Harsya Bachtiar dengan sebutan pendidikan pancaagama. Gagasan itu
berangkat dari prinsip lintas agama, tapi memunculkan polemik karena masyarakat
menganggapnya aneh. Dasar keberatannya, khawatir tujuan pendidikan agama yang
mengajarkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang melahirkan etika
keberagamaan hanya berhenti pada pengenalan keperbedaan masing-masing ajaran
agama sehingga hasilnya akan makin membingungkan peserta didik.
Keempat, pendidikan lintas agama yang
digagas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menjembatani perbedaan
antarperadaban guna melahirkan dialog komunikatif antarwarga dunia. Ide ini
masih baru diperkenalkan, maka kita belum mengetahui persis muatan gagasan
tersebut.
Sikap-sikap radikal yang diasosiasikan
dengan keberagamaan tidaklah murni karena faktor perbedaan agama. Konflik
yang bernuansa agama tidak dapat disalahkan sepenuhnya kepada agamawan,
tetapi juga harus disadari munculnya sikap radikal tidak terlepas dari
berbagai perlakuan yang dialami masyarakat, seperti marginalisasi akibat
pembangunan, ketidakadilan, maupun ketimpangan memperoleh akses dan aset
terhadap pembangunan.
Pendidikan toleransi hendaknya juga secara
bersamaan dengan kebijakan rekonstruksi pembangunan agar tidak melahirkan
akibat sampingan. Pendidikan lintas agama dan budaya hendaknya bagian dari
program restrukturisasi komprehensif terhadap pranata hukum, ekonomi, politik,
dan sosial.
Dilihat dari penerapan norma moral dan
etika, pendidikan lintas agama dan budaya mencakup, pertama, tidak
membenarkan segala cara untuk mencapai tujuan. Kedua, membangun kesetiaan
kepada berbagai pihak di mana seorang warga menjadi anggotanya. Ketiga,
membangun kejujuran kepada diri sendiri, mitra kerja, dan masyarakat luas.
Keempat, etos kerja yang ditetapkan dan disepakati bersama. Kelima,
penciptaan suasana saling mendukung dan memercayai. Keenam, memotivasi sumber
daya manusia untuk menampilkan kerja yang lebih baik. Ketujuh, ketaatan
kepada ketentuan normatif terlepas dari preferensi pribadi atau kelompok (Sondang P Siagian, 2008).
Pendidikan lintas agama dan budaya bukanlah
pekerjaan mudah. Di samping faktor visi dan misi kebijakan pendidikan juga
kalangan pendidik adalah orang-orang yang memperoleh pencerahan dari studi
ilmu agama: sejarah agama, perbandingan agama, dan filsafat agama.
Selama ini, masyarakat seakan alergi pada
studi agama karena khawatir akan menumpulkan kesadaran akidah.
Penyelenggaraan pendidikan lintas agama dan budaya hendaklah dilandasi oleh
visi yang benar tentang makna dan tujuan keberagamaan. Nilai agama tidak
sekadar pengetahuan keagamaan yang sifatnya manifes, tetapi harus bersifat
laten yang membentuk kesadaran bawah sadar yang teraktualisasi pada perilaku
sehingga menjadi manusia bertakwa (God
consciousness).
Apabila nilai ini telah dihayati dan
membentuk perilaku, akan melahirkan cita-cita luhur yang mendorongnya untuk
menyadari bahwa esensi nilai keberagamaan adalah perilaku santun, damai, dan
tenggang rasa. Dalam kaitan itulah, pendidikan lintas agama dan budaya
diharapkan melahirkan dua hal sekaligus, yaitu pada satu sisi lebih memperkuat
keyakinan secara absolut terhadap ajaran agamanya dan sisi lain lebih
meningkatkan pengakuan, penghargaan, penghormatan, serta toleransi terhadap
penganut agama yang berbeda sekaligus menumbuhkan minat saling belajar
terhadap tradisi budaya yang lahir dari perkembangan kesejarahan setiap
agama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar