Senin, 27 Oktober 2014

Pendidikan Lintas Agama

Pendidikan Lintas Agama

M Ridwan Lubis  ;  Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALUAN, 17 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Persidangan an­tarbangsa tentang aliansi antarperadaban (United Nation Allience of Civilization) di Bali pada akhir Agustus 2014 melahirkan rekomendasi bahwa untuk membangun kerja sama me­nuju masyarakat dunia yang berperadaban agar dimulai menyusun agenda pendidikan yang bersifat lintas agama dan budaya. Kerangka berpikirnya bahwa saat ini tidak lagi mencukupi jika suatu komu­nitas hanya menerima gagasan toleransi.

Kerukunan atau toleransi dalam arti pasif pada dasarnya juga toleransi setengah hati (lazy tolerance). Dalam situasi dunia yang tengah menghadapi meluasnya kekerasan karena sejumlah perbedaan khususnya yang terkait keyakinan agama, masyarakat global diajak aktif mewujudkan gagasan toleransi secara nyata. Modelnya adalah pendidikan lintas agama dan budaya.

Dengan model pendidikan lintas agama, diharapkan citra agama akan membaik tidak lagi menjadi sumber kekerasan atau yang sering disebut radikalisme. Karena pendidikan lintas agama akan membu­dayakan sistem dialog dalam membangun komunikasi ten­tang nilai-nilai keberagamaan yang membentuk perilaku manusia.

Apabila ditelusuri perjalanan pendidikan agama di masya­rakat, ditemukan beberapa ga­gasan. Pertama, pendidikan aga­ma yang menekankan keya­ki­nan agamanya sebagai satu-sa­tunya kebenaran di alam nya­ta. Apabila ada orang lain me­nga­nut kepercayaan berbeda, ke­yakinan itu dianggap tidak ada.

Kedua, pendidikan agama yang mengajarkan keyakinan absolut yang menjadi dasar misi terbentuknya lembaga pendi­dikan. Selanjutnya, lembaga pendidikan dimaksud tidak memberi peluang masuknya pengajaran agama lain ke lem­baga pendidikan tersebut seka­lipun ada murid yang ­berbeda dari misi sekolah.

Hal ini bertentangan dengan UU Sistem Pendidikan Na­sional yang mengharuskan setiap peserta didik memperoleh pendidikan agama berdasar pada agama yang dianut dan diajarkan oleh pendidik yang seagama (UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Bab V Pasal 12 ayat [1] huruf a).

Ketiga, pendidikan agama yang digagas oleh Prof Harsya Bachtiar dengan sebutan pendidikan pancaagama. Ga­gasan itu berangkat dari prinsip lintas agama, tapi me­mun­culkan polemik karena ma­syarakat menganggapnya aneh. Dasar keberatannya, khawatir tujuan pendidikan agama yang mengajarkan keyakinan ter­hadap Tuhan Yang Maha Esa yang melahirkan etika keberagamaan hanya berhenti pada pengenalan keperbedaan ma­sing-masing ajaran agama sehingga hasilnya akan makin membingungkan peserta didik.

Keempat, pendidikan lintas agama yang digagas Per­serikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menjembatani perbedaan antarperadaban guna me­lahirkan dialog komunikatif antarwarga dunia. Ide ini masih baru diperkenalkan, maka kita belum mengetahui persis muatan gagasan tersebut.

Sikap-sikap radikal yang diasosiasikan dengan kebe­ragamaan tidaklah murni karena faktor perbedaan agama. Konflik yang bernuansa agama tidak dapat disalahkan sepenuhnya kepada agamawan, tetapi juga harus disadari munculnya sikap radikal tidak terlepas dari berbagai perlakuan yang dialami masyarakat, seperti marginalisasi akibat pembangunan, ketidakadilan, maupun ketimpangan mem­peroleh akses dan aset terhadap pembangunan.

Pendidikan toleransi hen­daknya juga secara bersamaan dengan kebijakan rekonstruksi pembangunan agar tidak melahirkan akibat sampingan. Pendidikan lintas agama dan budaya hendaknya bagian dari program restrukturisasi kom­pre­hensif terhadap pranata hu­kum, ekonomi, politik, dan sosial.

Dilihat dari penerapan norma moral dan etika, pendi­dikan lintas agama dan budaya mencakup, pertama, tidak membenarkan segala cara untuk mencapai tujuan. Kedua, membangun kesetiaan kepada berbagai pihak di mana seorang warga menjadi anggotanya. Ketiga, membangun kejujuran kepada diri sendiri, mitra kerja, dan masyarakat luas. Keempat, etos kerja yang ditetapkan dan disepakati bersama. Kelima, penciptaan suasana saling mendukung dan memercayai. Keenam, memotivasi sumber daya manusia untuk menam­pilkan kerja yang lebih baik. Ketujuh, ketaatan kepada ketentuan normatif terlepas dari preferensi pribadi atau kelom­pok (Sondang P Siagian, 2008).

Pendidikan lintas agama dan budaya bukanlah pekerjaan mudah. Di samping faktor visi dan misi kebijakan pendidikan juga kalangan pendidik adalah orang-orang yang memperoleh pencerahan dari studi ilmu agama: sejarah agama, per­bandingan agama, dan filsafat agama.

Selama ini, masyarakat seakan alergi pada studi agama karena khawatir akan menum­pulkan kesadaran akidah. Penyelenggaraan pendidikan lintas agama dan budaya hendaklah dilandasi oleh visi yang benar tentang makna dan tujuan keberagamaan. Nilai agama tidak sekadar penge­tahuan keagamaan yang sifatnya manifes, tetapi harus bersifat laten yang membentuk kesadaran bawah sadar yang teraktualisasi pada perilaku sehingga menjadi manusia bertakwa (God consciousness).

Apabila nilai ini telah dihayati dan membentuk perilaku, akan melahirkan cita-cita luhur yang mendorongnya untuk menyadari bahwa esensi nilai keberagamaan adalah perilaku santun, damai, dan tenggang rasa. Dalam kaitan itulah, pendidikan lintas agama dan budaya diharapkan mela­hirkan dua hal sekaligus, yaitu pada satu sisi lebih mem­perkuat keyakinan secara absolut terhadap ajaran aga­manya dan sisi lain lebih meningkatkan pengakuan, penghargaan, penghormatan, serta toleransi terhadap penga­nut agama yang berbeda sekaligus menum­buhkan minat saling belajar terhadap tradisi budaya yang lahir dari perkem­bangan kesejarahan setiap agama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar