Kamis, 23 Oktober 2014

Tamu Negara dan Prioritas

Tamu Negara dan Prioritas

Dinna Wisnu  ;  Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 22 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Pesta rakyat menyambut berkuasanya Presiden Joko Widodo membawa gelombang harapan dari sejumlah negara sahabat. Sejumlah pejabat tinggi dan pimpinan negara hadir dalam pelantikan presiden dan wakil presiden Indonesia ketujuh ini meskipun tidak dengan undangan. Jika dicermati, sebagian besar tamu negara yang hadir dalam acara pelantikan adalah pejabat tinggi dari negara-negara tetangga, misalnya Sultan Brunei Darussalam HM Sultan Hassanal Bolkiah, Presiden Timor Leste Taur Matan Ruak, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, dan Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Nazib Tun Rajak.

 Kemudian Gubernur Jenderal Papua Nugini Michael Ogio, Perdana Menteri Australia Tony Abbott, Menteri Luar Negeri Filipina Albert del Resario, dan Utusan Khusus Presiden Vietnam. Selebihnya hadir pejabat dari Amerika Serikat, Selandia Baru, Kerajaan Belanda, Republik Korea, Kanada, Sri Lanka, Rusia, Turki, Jepang, dan Republik Rakyat Tiongkok.

Di antara tamu-tamu negara tersebut, menarik bahwa yang dipilih untuk ditemui pertamatama oleh Presiden Joko Widodo adalah Perdana Menteri Singapura, Perdana Menteri Malaysia, Perdana Menteri Australia, dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry. Negara yang mendapatkan kesempatan utama untuk bertemu Presiden Joko Widodo juga menerima kehormatan karena hal itu menunjukkan makna yang mendalam. Prioritas untuk melakukan pertemuan juga disesuaikan dengan jabatan perwakilan yang diutus. Kepala pemerintahan atau kepala negara akan mendapat prioritas utama ketimbang menteri luar negeri atau jabatan di bawahnya.

Ada setidaknya dua hal penting yang tersirat dalam prioritas penerimaan tamu negara tersebut. Pertama, Indonesia menyambut inisiatif dari negara-negara tetangga untuk menjaga dan mengembangkan relasi positif dalam kurun 5 tahun mendatang, termasuk dalam memperbaiki ketegangan yang pernah mengganggu hubungan kedua pihak.

Kedua, pemerintahan Jokowi mengutamakan penyelesaian ”pekerjaan rumah” dari negara- negara terdekat, dimulai dari negara tetangga yang berbatasan langsung dan sedang atau masih dirundung masalah, diikuti negara-negara yang memainkan peranan penting di kawasan Asia Tenggara dan Asia-Pasifik.

Dengan Singapura, misalnya, ada isyarat bahwa pertemuan dengan Perdana Menteri Lee Hsien Loong akan membuka komunikasi yang lebih produktif dan kerja sama yang baik mengenai kesamaan prioritas kedua negara. Kita tahu pemerintahan yang bersih adalah prioritas dalam pemerintahan Jokowi-JK dan pemerintahan di Singapura sehingga kerja sama pencegahan korupsi menjadi sangat penting untuk dikembangkan. Urusan ekstradisi koruptor dan pencegahan tindak pencucian uang menjadi penting untuk dikembangkan. Selain itu, ada masalah penanganan asap yang masih menjadi problem tahunan, problem penyelundupan, selain tentu saja potensi kerja sama ekonomi. Selain itu, Singapura perlu dijaga perasaannya juga karena Indonesia berniat mengembangkan potensi kelautan dan menjaga wilayah perbatasannya dengan lebih tegas. Jangan sampai niat Indonesia tersebut dianggap ancaman karena selama ini Singapura diuntungkan oleh berkembangnya industri penerbangan dan pelabuhan.

Dengan Malaysia, sapaan kepada Perdana Menteri Nadjib mengisyaratkan relasi positif antarsaudara serumpun. Apalagi Malaysia juga sangat diharapkan berkembang semakin demokratis dan mendukung agenda-agenda perlindungan hak asasi manusia (HAM) di ASEAN.

Kehadiran PM Nadjib salah satunya juga dimungkinkan karena dukungan Indonesia selama ini dalam membuka dialog lebih positif dengan pihak oposisi di Malaysia. Bukan rahasia lagi bahwa Wakil Presiden Jusuf Kalla berjasa melakukan pendekatan informal kepada PM Nadjib dan Anwar Ibrahim, memberi mereka harapan bahwa demokrasi punya masa depan di Malaysia.

Dengan Australia, pertemuan Perdana Menteri Tony Abbott dengan Presiden Joko Widodo otomatis membalikkan kebuntuan komunikasi antarkedua negara sejak skandal penyadapan dan pengiriman kembali kapal-kapal pencari suaka ke wilayah perairan Indonesia. Ketegasan Indonesia tentang batas-batas perairan Indonesia semoga membuka peluang kerja sama di daerah perbatasan dan bukannya menjadi sumber ketegangan baru.

Dengan Amerika Serikat (AS), dipastikan agenda kerja sama ekonomi, lingkungan hidup, dan pertahanan di kawasan maupun untuk mengatasi terorisme termasuk bagian dari hal-hal yang didiskusikan dengan Presiden Joko Widodo. AS sangat prihatin dengan perkembangan aliran ISIS dan ingin memastikan bahwa Indonesia ingin memeranginya.

Indonesia yang memang menolak aliran ISIS perlu menegaskan bahwa dukungan dalam mencegah antiterorisme tetap harus berpegang pada penghormatan atas HAM, terutama terhadap hak-hak masyarakat sipil yang bisa menjadi korban ketika terjadi penindakan tegas terhadap kelompok ISIS. Dalam hal kerja sama kawasan, Indonesia pasti diminta penjelasan lebih lanjut mengenai ide poros maritim dan bentuk penguatan pertahanan laut.

Hadirnya tamu-tamu negara adalah sinyal dukungan dan keinginan berelasi baik dengan Indonesia. Pada akhirnya Indonesia pula yang perlu menindaklanjutinya dalam bentuk diplomasi. Karena mustahil hal-hal detail dapat dibahas dalam pertemuan singkat tamu negara dan Presiden, pihak Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan perlu sigap menindaklanjutinya sesuai dengan turunan arah kebijakan yang dikehendaki pemerintahan Indonesia yang  baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar