Tamu
Negara dan Prioritas
Dinna Wisnu ; Co-Founder
& Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 22 Oktober 2014
Pesta rakyat menyambut berkuasanya Presiden Joko Widodo membawa
gelombang harapan dari sejumlah negara sahabat. Sejumlah pejabat tinggi dan
pimpinan negara hadir dalam pelantikan presiden dan wakil presiden Indonesia
ketujuh ini meskipun tidak dengan undangan. Jika dicermati, sebagian besar
tamu negara yang hadir dalam acara pelantikan adalah pejabat tinggi dari
negara-negara tetangga, misalnya Sultan Brunei Darussalam HM Sultan Hassanal
Bolkiah, Presiden Timor Leste Taur Matan Ruak, Perdana Menteri Singapura Lee
Hsien Loong, dan Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Nazib Tun Rajak.
Kemudian Gubernur Jenderal Papua
Nugini Michael Ogio, Perdana Menteri Australia Tony Abbott, Menteri Luar
Negeri Filipina Albert del Resario, dan Utusan Khusus Presiden Vietnam.
Selebihnya hadir pejabat dari Amerika Serikat, Selandia Baru, Kerajaan
Belanda, Republik Korea, Kanada, Sri Lanka, Rusia, Turki, Jepang, dan
Republik Rakyat Tiongkok.
Di antara tamu-tamu negara tersebut, menarik bahwa yang dipilih untuk
ditemui pertamatama oleh Presiden Joko Widodo adalah Perdana Menteri
Singapura, Perdana Menteri Malaysia, Perdana Menteri Australia, dan Menteri
Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry. Negara yang mendapatkan kesempatan
utama untuk bertemu Presiden Joko Widodo juga menerima kehormatan karena hal
itu menunjukkan makna yang mendalam. Prioritas untuk melakukan pertemuan juga
disesuaikan dengan jabatan perwakilan yang diutus. Kepala pemerintahan atau
kepala negara akan mendapat prioritas utama ketimbang menteri luar negeri atau
jabatan di bawahnya.
Ada setidaknya dua hal penting yang tersirat dalam prioritas penerimaan
tamu negara tersebut. Pertama, Indonesia menyambut inisiatif dari negara-negara
tetangga untuk menjaga dan mengembangkan relasi positif dalam kurun 5 tahun
mendatang, termasuk dalam memperbaiki ketegangan yang pernah mengganggu
hubungan kedua pihak.
Kedua, pemerintahan Jokowi mengutamakan penyelesaian ”pekerjaan rumah”
dari negara- negara terdekat, dimulai dari negara tetangga yang berbatasan
langsung dan sedang atau masih dirundung masalah, diikuti negara-negara yang
memainkan peranan penting di kawasan Asia Tenggara dan Asia-Pasifik.
Dengan Singapura, misalnya, ada isyarat bahwa pertemuan dengan Perdana
Menteri Lee Hsien Loong akan membuka komunikasi yang lebih produktif dan
kerja sama yang baik mengenai kesamaan prioritas kedua negara. Kita tahu
pemerintahan yang bersih adalah prioritas dalam pemerintahan Jokowi-JK dan
pemerintahan di Singapura sehingga kerja sama pencegahan korupsi menjadi
sangat penting untuk dikembangkan. Urusan ekstradisi koruptor dan pencegahan
tindak pencucian uang menjadi penting untuk dikembangkan. Selain itu, ada
masalah penanganan asap yang masih menjadi problem tahunan, problem
penyelundupan, selain tentu saja potensi kerja sama ekonomi. Selain itu,
Singapura perlu dijaga perasaannya juga karena Indonesia berniat
mengembangkan potensi kelautan dan menjaga wilayah perbatasannya dengan lebih
tegas. Jangan sampai niat Indonesia tersebut dianggap ancaman karena selama
ini Singapura diuntungkan oleh berkembangnya industri penerbangan dan
pelabuhan.
Dengan Malaysia, sapaan kepada Perdana Menteri Nadjib mengisyaratkan
relasi positif antarsaudara serumpun. Apalagi Malaysia juga sangat diharapkan
berkembang semakin demokratis dan mendukung agenda-agenda perlindungan hak
asasi manusia (HAM) di ASEAN.
Kehadiran PM Nadjib salah satunya juga dimungkinkan karena dukungan
Indonesia selama ini dalam membuka dialog lebih positif dengan pihak oposisi
di Malaysia. Bukan rahasia lagi bahwa Wakil Presiden Jusuf Kalla berjasa
melakukan pendekatan informal kepada PM Nadjib dan Anwar Ibrahim, memberi
mereka harapan bahwa demokrasi punya masa depan di Malaysia.
Dengan Australia, pertemuan Perdana Menteri Tony Abbott dengan Presiden
Joko Widodo otomatis membalikkan kebuntuan komunikasi antarkedua negara sejak
skandal penyadapan dan pengiriman kembali kapal-kapal pencari suaka ke wilayah
perairan Indonesia. Ketegasan Indonesia tentang batas-batas perairan
Indonesia semoga membuka peluang kerja sama di daerah perbatasan dan bukannya
menjadi sumber ketegangan baru.
Dengan Amerika Serikat (AS), dipastikan agenda kerja sama ekonomi,
lingkungan hidup, dan pertahanan di kawasan maupun untuk mengatasi terorisme
termasuk bagian dari hal-hal yang didiskusikan dengan Presiden Joko Widodo.
AS sangat prihatin dengan perkembangan aliran ISIS dan ingin memastikan bahwa
Indonesia ingin memeranginya.
Indonesia yang memang menolak aliran ISIS perlu menegaskan bahwa
dukungan dalam mencegah antiterorisme tetap harus berpegang pada penghormatan
atas HAM, terutama terhadap hak-hak masyarakat sipil yang bisa menjadi korban
ketika terjadi penindakan tegas terhadap kelompok ISIS. Dalam hal kerja sama
kawasan, Indonesia pasti diminta penjelasan lebih lanjut mengenai ide poros
maritim dan bentuk penguatan pertahanan laut.
Hadirnya tamu-tamu negara adalah sinyal dukungan dan keinginan berelasi
baik dengan Indonesia. Pada akhirnya Indonesia pula yang perlu
menindaklanjutinya dalam bentuk diplomasi. Karena mustahil hal-hal detail
dapat dibahas dalam pertemuan singkat tamu negara dan Presiden, pihak
Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan perlu sigap
menindaklanjutinya sesuai dengan turunan arah kebijakan yang dikehendaki
pemerintahan Indonesia yang baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar