Kamis, 23 Oktober 2014

Antara Optimisme dan Pil Pahit

Antara Optimisme dan Pil Pahit

Helmi Arman  ;  Chief Economist, Citibank Indonesia
KOMPAS, 22 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


OPTIMISME masyarakat terasa menyambut pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, tetapi waktu berbulan madu tidak banyak. Berbagai pil pahit harus segera ditelan. Pemerintahan baru pilihan rakyat akan segera mulai bekerja. Namun, perekonomian yang diwarisi tengah menghadapi berbagai rintangan. Pertumbuhan ekonomi berada dalam tren menurun. Neraca perdagangan juga masih defisit karena kebutuhan impor relatif besar dibandingkan dengan ekspor. Rasio utang luar negeri pun terus meningkat.

Penurunan harga minyak mentah dunia ke bawah 100 dollar AS per barrel belakangan ini mungkin bisa membantu mengurangi biaya impor bahan bakar minyak (BBM). Namun, perlu diingat bahwa permintaan dunia untuk berbagai komoditas ekspor andalan Indonesia seperti batubara, karet, dan sawit juga terus melemah. Indonesia tak banyak punya pilihan selain mengencangkan ikat pinggang dan menjalankan program reformasi struktural, antara lain dengan mengembangkan ekspor produk-produk sektor manufaktur.

Menurut survei lembaga perdagangan luar negeri Jepang (Jetro) terhadap perusahaan-perusahaan multinasional Jepang, Indonesia harus mengatasi ketertinggalan dari Thailand dan Malaysia dalam hal ketersediaan infrastruktur juga ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Agar Indonesia bisa menjadi bagian dari basis produksi global, perlu segera dilakukan pembenahan sektor infrastruktur dan logistik untuk lebih menarik penanaman modal yang berorientasi ekspor.

Perlu dukungan politik

Sayangnya berbagai reformasi perekonomian yang dibutuhkan tak bisa digapai tanpa terlebih dulu menelan pil-pil pahit. Dengan demikian, pemerintah baru perlu dukungan politik sangat besar. Contohnya, realokasi subsidi akan berakibat naiknya harga BBM dan tentu akan menuai berbagai protes.

Sejumlah program yang dijanjikan dalam kampanye JKW-JK pun, seperti reformasi sektor hulu migas, butuh dukungan legislasi DPR. Sementara untuk mengatasi keterbelakangan sistem angkutan umum—problema mikro yang sudah tumbuh jadi ancaman makro—pemerintah pusat juga harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan kota. Dukungan dari partai-partai oposisi makin jadi elemen penting keberhasilan pemerintahan baru.

Tekanan global

Ekspektasi arah suku bunga global tahun depan akan membuat situasinya lebih genting. Jika suku bunga di AS mulai naik, arus modal masuk ke pasar modal negara-negara berkembang bisa terhambat. Jika defisit neraca perdagangan Indonesia belum juga terkendali, pengelolaan fluktuasi nilai tukar bisa menjadi tantangan yang jauh lebih berat.

Nilai tukar rupiah sudah melemah ke kisaran Rp 12.000 per dollar AS seiring terus merosotnya ekspor dan melambatnya arus modal masuk dari manajer investasi asing. Naik turunnya nilai aset keuangan masih dalam kisaran wajar. Namun, apabila arus modal keluar terjadi secara berkelanjutan di tengah lesunya penawaran valas dari para eksportir, fluktuasi nilai tukar rupiah bisa meningkat lebih tajam.

Pelemahan nilai tukar memang bisa menjadi obat untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan, yakni dengan menjadikan impor semakin mahal dan seharusnya juga membuat ekspor kian kompetitif. Namun, sebagaimana terjadi pada 2013, anjloknya rupiah sangat memukul rencana investasi perusahaan di beragam sektor. Alhasil, impor yang anjlok lebih tajam bukanlah pada barang-barang konsumsi, melainkan justru pada mesin-mesin dan barang modal produktif.

Logikanya sederhana. Apabila minuman dalam botol plastik kesukaan Anda harganya naik Rp 500-Rp 1.000 akibat pelemahan nilai tukar, kemungkinan Anda masih akan tetap membelinya. Namun, jika Anda manajer perusahaan yang berencana mengimpor mesin baru seharga miliaran rupiah, kenaikan biayanya akibat pelemahan rupiah 10-20 persen akan sangat memukul. Dengan demikian, pelemahan nilai tukar berkelanjutan bisa menggerus investasi dan menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi jangka menengah. Pada akhirnya penciptaan lapangan kerja bisa terhambat.

Di tengah defisit perdagangan yang tak kunjung terkendali, realokasi subsidi BBM sudah tak bisa ditunda lagi. Meski harga minyak dunia turun, belanja subsidi BBM tetap harus direalokasikan ke belanja modal dan sektor-sektor lain yang lebih produktif. Memang betul daya beli masyarakat akan tergerus. Namun, dengan berkurangnya impor barang konsumsi, fluktuasi rupiah akan lebih terkendali dan rencana investasi sektor korporasi bisa lebih dijaga.

Stabilitas makro merupakan kepentingan bersama. Masyarakat jelas tidak menginginkan generasi muda dan lulusan-lulusan sekolahnya menganggur atau harus mengais rezeki di sektor informal. Para elite politik pun, yang kebanyakan juga berlatar belakang pengusaha, tidak ingin bisnisnya terganggu oleh fluktuasi nilai tukar berlebihan.

Penting menjaga kabinet mendatang dari potensi konflik kepentingan. Di tengah tugas berat memperbaiki kesehatan anggaran, membangun infrastruktur rel dan laut, juga transportasi umum di perkotaan, pimpinan kementerian (terutama Kementerian Keuangan, Kemenko Perekonomian, Kementerian ESDM, dan Kementerian Perhubungan) akan ikut menentukan momentum reformasi di pemerintahan.

Mempertahankan pertumbuhan 5 persen dalam lima tahun ke depan akan lebih sulit dibandingkan dengan mencapai pertumbuhan di 6 persen pada dasawarsa terakhir. Tanpa reformasi ekonomi dan perubahan haluan, pertumbuhan ekonomi bisa perlahan-lahan selip ke bawah 5 persen. Pemerintahan baru akan butuh dukungan semua pihak agar tetap fokus menjalankan reformasi yang sulit sekalipun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar