Antara
Optimisme dan Pil Pahit
Helmi Arman ; Chief
Economist, Citibank Indonesia
|
KOMPAS,
22 Oktober 2014
OPTIMISME masyarakat terasa menyambut pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla,
tetapi waktu berbulan madu tidak banyak. Berbagai pil pahit harus segera
ditelan. Pemerintahan baru pilihan rakyat akan segera mulai bekerja. Namun,
perekonomian yang diwarisi tengah menghadapi berbagai rintangan. Pertumbuhan
ekonomi berada dalam tren menurun. Neraca perdagangan juga masih defisit
karena kebutuhan impor relatif besar dibandingkan dengan ekspor. Rasio utang
luar negeri pun terus meningkat.
Penurunan harga minyak mentah dunia ke bawah 100 dollar AS per barrel
belakangan ini mungkin bisa membantu mengurangi biaya impor bahan bakar
minyak (BBM). Namun, perlu diingat bahwa permintaan dunia untuk berbagai
komoditas ekspor andalan Indonesia seperti batubara, karet, dan sawit juga
terus melemah. Indonesia tak banyak punya pilihan selain mengencangkan ikat
pinggang dan menjalankan program reformasi struktural, antara lain dengan
mengembangkan ekspor produk-produk sektor manufaktur.
Menurut survei lembaga perdagangan luar negeri Jepang (Jetro) terhadap
perusahaan-perusahaan multinasional Jepang, Indonesia harus mengatasi
ketertinggalan dari Thailand dan Malaysia dalam hal ketersediaan
infrastruktur juga ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi.
Agar Indonesia bisa menjadi bagian dari basis produksi global, perlu segera
dilakukan pembenahan sektor infrastruktur dan logistik untuk lebih menarik
penanaman modal yang berorientasi ekspor.
Perlu
dukungan politik
Sayangnya berbagai reformasi perekonomian yang dibutuhkan tak bisa
digapai tanpa terlebih dulu menelan pil-pil pahit. Dengan demikian,
pemerintah baru perlu dukungan politik sangat besar. Contohnya, realokasi
subsidi akan berakibat naiknya harga BBM dan tentu akan menuai berbagai
protes.
Sejumlah program yang dijanjikan dalam kampanye JKW-JK pun, seperti
reformasi sektor hulu migas, butuh dukungan legislasi DPR. Sementara untuk
mengatasi keterbelakangan sistem angkutan umum—problema mikro yang sudah
tumbuh jadi ancaman makro—pemerintah pusat juga harus berkoordinasi dengan
pemerintah daerah dan kota. Dukungan dari partai-partai oposisi makin jadi
elemen penting keberhasilan pemerintahan baru.
Tekanan
global
Ekspektasi arah suku bunga global tahun depan akan membuat situasinya
lebih genting. Jika suku bunga di AS mulai naik, arus modal masuk ke pasar
modal negara-negara berkembang bisa terhambat. Jika defisit neraca
perdagangan Indonesia belum juga terkendali, pengelolaan fluktuasi nilai
tukar bisa menjadi tantangan yang jauh lebih berat.
Nilai tukar rupiah sudah melemah ke kisaran Rp 12.000 per dollar AS
seiring terus merosotnya ekspor dan melambatnya arus modal masuk dari manajer
investasi asing. Naik turunnya nilai aset keuangan masih dalam kisaran wajar.
Namun, apabila arus modal keluar terjadi secara berkelanjutan di tengah
lesunya penawaran valas dari para eksportir, fluktuasi nilai tukar rupiah
bisa meningkat lebih tajam.
Pelemahan nilai tukar memang bisa menjadi obat untuk memperbaiki
defisit neraca perdagangan, yakni dengan menjadikan impor semakin mahal dan
seharusnya juga membuat ekspor kian kompetitif. Namun, sebagaimana terjadi
pada 2013, anjloknya rupiah sangat memukul rencana investasi perusahaan di
beragam sektor. Alhasil, impor yang anjlok lebih tajam bukanlah pada
barang-barang konsumsi, melainkan justru pada mesin-mesin dan barang modal
produktif.
Logikanya sederhana. Apabila minuman dalam botol plastik kesukaan Anda
harganya naik Rp 500-Rp 1.000 akibat pelemahan nilai tukar, kemungkinan Anda
masih akan tetap membelinya. Namun, jika Anda manajer perusahaan yang
berencana mengimpor mesin baru seharga miliaran rupiah, kenaikan biayanya
akibat pelemahan rupiah 10-20 persen akan sangat memukul. Dengan demikian,
pelemahan nilai tukar berkelanjutan bisa menggerus investasi dan menurunkan
prospek pertumbuhan ekonomi jangka menengah. Pada akhirnya penciptaan lapangan
kerja bisa terhambat.
Di tengah defisit perdagangan yang tak kunjung terkendali, realokasi
subsidi BBM sudah tak bisa ditunda lagi. Meski harga minyak dunia turun,
belanja subsidi BBM tetap harus direalokasikan ke belanja modal dan
sektor-sektor lain yang lebih produktif. Memang betul daya beli masyarakat
akan tergerus. Namun, dengan berkurangnya impor barang konsumsi, fluktuasi
rupiah akan lebih terkendali dan rencana investasi sektor korporasi bisa
lebih dijaga.
Stabilitas makro merupakan kepentingan bersama. Masyarakat jelas tidak
menginginkan generasi muda dan lulusan-lulusan sekolahnya menganggur atau
harus mengais rezeki di sektor informal. Para elite politik pun, yang
kebanyakan juga berlatar belakang pengusaha, tidak ingin bisnisnya terganggu
oleh fluktuasi nilai tukar berlebihan.
Penting menjaga kabinet mendatang dari potensi konflik kepentingan. Di
tengah tugas berat memperbaiki kesehatan anggaran, membangun infrastruktur
rel dan laut, juga transportasi umum di perkotaan, pimpinan kementerian (terutama
Kementerian Keuangan, Kemenko Perekonomian, Kementerian ESDM, dan Kementerian
Perhubungan) akan ikut menentukan momentum reformasi di pemerintahan.
Mempertahankan pertumbuhan 5 persen dalam lima tahun ke depan akan
lebih sulit dibandingkan dengan mencapai pertumbuhan di 6 persen pada
dasawarsa terakhir. Tanpa reformasi ekonomi dan perubahan haluan, pertumbuhan
ekonomi bisa perlahan-lahan selip ke bawah 5 persen. Pemerintahan baru akan
butuh dukungan semua pihak agar tetap fokus menjalankan reformasi yang sulit
sekalipun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar