Memutus
Radikalisme di Kampus
Mailatun Nasiroh ; Peneliti
Utama Centre for Developing Islamic Gender
|
HALUAN,
16 Oktober 2014
Gerakan radikal Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS) ternyata sudah
menjadikan kampus sebagai salah satu sasaran dalam menyebar luaskan aksinya.
Pada 6 Juli 2014 lalu kelompok yang sudah melakukan teror di sejumlah tempat
ini telah melakukan pembaitan atau perekrutan anggota di gedung Syahida Inn
milik kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat yang
disebarkan melalui rekaman video.
Beredar pula pamflet berisi
lowongan budak seks yang disebar oleh kelompok ISIS dengan mengatas namakan
Masjid Fathullah, milik UIN Syarif Hidayatullah. Pamflet tersebut diterima
oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Ciputat
Sudarnoto Abdul Hakim melalui pesan WhatsApp. Dan yang mengejutkan banyak
pihak, salah satu deklarator ISIS di video tersebut adalah Bahrumsyah, yang
pernah tercatat sebagai mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah.
Fakta di atas semakin
memperkuat riset yang pernah dilakukan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian
(LaKIP). Dalam risetnya tentang radikalisme di
telah menyusup di kalangan akademisi seperti mahasiswa dan guru Pendidikan
Agama Islam (PAI) di Jabodetabek, pada Oktober 2010-Januari 2011, LaKIP menemukan
sedikitnya 48,9 persen siswa menyatakan bersedia terlibat dalam aksi
kekerasan terkait dengan agama dan moral.
Perguruan tinggi Islam
sepertinya selalu menjadi kawasan yang potensial bagi tumbuhnya
kelompok-kelompok ekslusif penyebar radikalisme. Dan, mahasiswa seakan juga
menjadi kalangan yang potensial untuk direkrut menjadi anggota, tak
terkecuali gerakan kelompok ISIS. Untuk itu, menangkal kelompaok ISIS telah
menjadi suatu keharusan yang tak bisa ditawar-tawar lagi oleh perguruan
tinggi untuk menangkal gerakan kelompok-kelompok ekslusif yang kini memang
gencar masuk ke dunia kampus serta kehidupan mahasiswa.
Padahal, perguruan tinggi
memiliki peran penting membangun kembali mentalitas, moralitas, dan karakter
sebuah bangsa. Sebagai upaya alternatif, pihak kampus bisa bersinergis
dengan lembaga kemahasiswaan dan organisasi-organisasi kemahasiswaan untuk
memproteksi diri mereka dari pengaruh gerakan kelompok ISIS yang kini kian
meresahkan masyarakat. Apalagi, jaringan ini, kini terus dalam pengawasan
dan telah dijadikan sebagai buruan negara.
Mahasiswa adalah harapan masa
depan serta calon pemimpin di masa mendatang sehingga kewajiban mereka adalah
menjadi garda terdepan di setiap agenda perubahan. Jadi, bukan malah
bergabung dengan gerakan-gerakan atau kelompok-kelompok yang justru ingin
menciptakan disintegrasi bangsa serta memporak-porandakan fondasi kehidupan
berbangsa dan bernegara yang telah terbangun dengan kokoh, bahkan sejak lama.
Gerakan dan kelompok yang
cenderung ingin membuat kegaduhan di Tanah Air telah melanggar aturan negara
dan patut untuk dijadikan sebagai musuh bersama (common enemy). Tak
terkecuali, mahasiswa yang notabene adalah kaum intelektual muda, mereka
harus segera memproteksi diri masing-masing dari gerakan serta kelompok yang
justru akan mencoreng citra mereka di mata masyarakat.
Rentannya mahasiswa mudah
bergabung dengan kelompok radikalisme patut menjadi keprihatinan kita
bersama. Banyak faktor yang menyebabkan para mahasiswa terseret ke dalam
gerakan radikalisme, mulai dari kemiskinan, kurangnya pendidikan agama yang
damai, gencarnya infiltrasi kelompok radikal, lemahnya semangat kebangsaan,
kurangnya pendidikan kewarganegaraan, kurangnya keteladanan, dan
tergerusnya nilai kearifan lokal oleh arus modernitas negatif.
Ada beberapa langkah untuk
menaggulangi dan mempersempet ruang gerak kelompok radikalisme di kampus. Pertama, mengarahkan para mahasiswa pada beragam aktivitas yang berkualitas
baik di bidang akademis, sosial, keagamaan, seni, budaya, maupun olahraga.
Kegiatan-kegiatan positif ini akan memacu mereka menjadi pemuda yang
berprestasi dan aktif berorganisasi di lingkungannya sehingga dapat mengantisipasi
pemuda dari pengaruh ideologi radikalisme.
Kedua, memperkuat pendidikan kewarganegaraan (civic education) dengan menanamkan
pemahaman yang mendalam terhadap empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD
1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.
Ketiga, memberikan keteladanan kepada mahasiwa. Sebab, tanpa adanya
keteladanan dari para penyelenggara negara, tokoh agama, serta tokoh
masyarakat, maka upaya yang dilakukan akan sia-sia. Para tokoh masyarakat
harus dapat menjadi role model yang bisa diikuti dan
diteladani oleh para mahasiswa.
Keempat, memberikan pemahaman agama yang damai dan toleran, sehingga
pemuda tidak mudah terjebak pada arus ajaran radikalisme. Dalam hal ini,
peran guru agama di lingkungan sekolah dan para pemuka agama di masyarakat
sangat penting. Pesan-pesan damai dari ajaran agama perlu dikedepankan dalam
pelajaran maupun ceramah-ceramah keagamaan.
Untuk mendorong terlaksananya
langkah di atas, peran para dosen pun tidak kalah pentingnya dalam upaya
memproteksi mahasiswa agar tidak terjatuh ke dalam gerakan kelompok
radikalisme, seperti ISIS. Karena secara akademis, peran dosen adalah
memberikan penyadaran di saat sedang mengajar, dan bisa pula melakukan pendekatan-pendekatan
emosional, baik melalui bimbingan dan sharing.
Kita tidak bisa hanya
mengandalkan penegakan hukum terhadap para pelaku radikalisme semata.
Tapi kita patut bersyukur, upaya-upaya tersebut telah dan sedang
dilakukan, baik pemerintah maupun masyarakat sipil seperi tokoh agama,
akademisi, pemuda, mahasiswa, organisasi masyarakat, serta media massa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar