Senin, 27 Oktober 2014

Memutus Radikalisme di Kampus

Memutus Radikalisme di Kampus

Mailatun Nasiroh  ;  Peneliti Utama Centre for Developing Islamic Gender
HALUAN, 16 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Gerakan radikal Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS) ternyata sudah menjadikan kampus sebagai salah satu sasaran dalam menyebar luaskan aksinya. Pada 6 Juli 2014 lalu kelompok yang sudah melakukan teror di sejumlah tempat ini telah melakukan pembaitan atau perekrutan anggota di gedung Syahida Inn milik kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat yang dise­barkan melalui rekaman video.

Beredar pula pamflet berisi lowongan budak seks yang disebar oleh kelompok ISIS dengan mengatas namakan Masjid Fathullah, milik UIN Syarif Hidayatullah. Pamflet tersebut diterima oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Ciputat Sudarnoto Abdul Hakim melalui pesan WhatsApp. Dan yang mengejutkan banyak pihak, salah satu deklarator ISIS di video tersebut adalah Bahrumsyah, yang pernah tercatat sebagai mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah.

Fakta di atas semakin memperkuat riset yang pernah dilakukan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP). Dalam risetnya tentang radika­lisme di telah menyusup di kalangan akademisi seperti mahasiswa dan guru Pendi­dikan Agama Islam (PAI) di Jabodetabek, pada Oktober 2010-Januari 2011, LaKIP mene­mukan sedikitnya 48,9 per­sen siswa menyatakan bersedia terlibat dalam aksi kekerasan terkait dengan agama dan moral.

Perguruan tinggi Islam sepertinya selalu menjadi kawasan yang potensial bagi  tumbuhnya kelompok-kelompok ekslusif penyebar radikalisme. Dan, mahasiswa seakan juga menjadi kalangan yang poten­sial untuk direkrut menjadi anggota, tak terkecuali gerakan kelompok ISIS. Untuk itu, menangkal kelompaok ISIS telah menjadi suatu keharusan yang tak bisa ditawar-tawar lagi oleh perguruan tinggi untuk menangkal gerakan kelompok-kelompok ekslusif yang kini memang gencar masuk ke dunia kampus serta kehidupan mahasiswa.

Padahal, perguruan tinggi memiliki peran penting mem­bangun kembali mentalitas, moralitas, dan karakter sebuah bangsa. Sebagai upaya alter­natif, pihak kampus bisa bersinergis dengan lembaga kemahasiswaan dan organisasi-organisasi kemahasiswaan untuk memproteksi diri mereka dari pengaruh gerakan kelom­pok ISIS yang kini kian meresahkan masyarakat. Apa­lagi, jaringan ini, kini terus dalam pengawasan dan telah dijadikan sebagai buruan negara.

Mahasiswa adalah harapan masa depan serta calon pemim­pin di masa mendatang sehing­ga kewajiban mereka adalah menjadi garda terdepan di setiap agenda perubahan. Jadi, bukan malah bergabung dengan gerakan-gerakan atau kelom­pok-kelompok yang justru ingin menciptakan disintegrasi bangsa serta memporak-porandakan fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah terbangun dengan kokoh, bahkan sejak lama.

Gerakan dan kelompok yang cenderung ingin membuat kegaduhan di Tanah Air telah melanggar aturan negara dan patut untuk dijadikan sebagai musuh bersama (common enemy). Tak terkecuali, ma­hasiswa yang notabene adalah kaum intelektual muda, mereka harus segera memproteksi diri masing-masing dari gerakan serta kelompok yang justru akan mencoreng citra mereka di mata masyarakat.

Rentannya mahasiswa mu­dah bergabung dengan kelom­pok radikalisme patut menjadi keprihatinan kita bersama. Banyak faktor yang menye­babkan para mahasiswa terse­ret ke dalam gerakan radika­lisme, mulai dari kemis­kinan, kurangnya pendidikan agama yang damai, gencarnya infiltrasi kelompok radikal, lemahnya semangat kebang­saan, ku­rangnya pendidikan kewarga­negaraan, kurangnya ketela­danan, dan tergerusnya nilai kearifan lokal oleh arus modernitas negatif.

Ada beberapa langkah untuk menaggulangi dan mempersempet ruang gerak kelompok radikalisme di kampus. Pertama, menga­rahkan para mahasiswa pada beragam aktivitas yang berkua­litas baik di bidang akademis, sosial, keagamaan, seni, budaya, maupun olahraga. Kegiatan-kegiatan positif ini akan memacu mereka menjadi pemuda yang berprestasi dan aktif berorganisasi di lingkungannya sehingga dapat mengantisipasi pemuda dari pengaruh ideologi radikalisme.

Kedua, memperkuat pen­didikan kewarganegaraan (civic education) dengan mena­namkan pemahaman yang mendalam terhadap empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhine­ka Tunggal Ika.

Ketiga, memberikan ketela­danan kepada mahasiwa. Sebab, tanpa adanya keteladanan dari para penyelenggara negara, tokoh agama, serta tokoh masyarakat, maka upaya yang dilakukan akan sia-sia. Para tokoh masyarakat harus dapat menjadi role model yang bisa diikuti dan diteladani oleh para mahasiswa.

Keempat, memberikan pemahaman agama yang damai dan toleran, sehingga pemuda tidak mudah terjebak pada arus ajaran radikalisme. Dalam hal ini, peran guru agama di lingkungan sekolah dan para pemuka agama di masyarakat sangat penting. Pesan-pesan damai dari ajaran agama perlu dikedepankan dalam pelajaran maupun ceramah-ceramah keagamaan.

Untuk mendorong terlak­sananya langkah di atas, peran para dosen pun tidak kalah pentingnya dalam upaya memproteksi mahasiswa agar tidak terjatuh ke dalam gerakan kelompok radikalisme, seperti ISIS. Karena secara akademis, peran dosen adalah memberikan penyadaran di saat sedang mengajar, dan bisa pula melakukan pende­katan-pen­dekatan emosional, baik melalui bimbingan dan sharing.

Kita tidak bisa hanya mengandalkan penegakan hukum terhadap para pelaku radikalisme semata. Tapi  kita patut bersyukur, upaya-upaya tersebut telah dan sedang dilakukan, baik pemerintah maupun masyarakat sipil seperi tokoh agama, akademisi, pemuda, mahasiswa, organisasi masyarakat, serta media massa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar