Memaknai
Hari Santri Nasional
Munajat ; Pengasuh
Ponpes Salafiyah Pulutan Salatiga;
Alumnus Program S-3 Fulbright di Texas A&M University,
AS
|
JAWA
POS, 24 Oktober 2014
SESUAI dengan
janji Presiden Joko Widodo di Pondok Pesantren Babussalam, Malang, pada masa
kampanye Pilpres 2014, tanggal 1 Muharam akan dijadikan Hari Santri Nasional.
Janji itu dikuatkan dengan rekomendasi Rakernas PDIP 2014 yang menyatakan hal
yang sama. Secara ’urfi,1 Muharam 1436 H jatuh pada Sabtu, 25 Oktober 2014.
Lalu,
apa yang dimaksud hari santri? Makna apa yang perlu digali dan pesan apa yang
perlu disampaikan secara nasional? Sambil menunggu ketetapan dan tafsiran
resmi dari pemerintah, sebagai orang yang tumbuh dan hidup di dunia santri
serta pesantren, saya berusaha memberikan perspektif tentang pemaknaan Hari
Santri Nasional.
Pertama,
pemaknaan Hari Santri Nasional tidak terlepas dari pemaknaan 1 Muharam karena
hari santri akan diperingati setiap tanggal tersebut. Sebenarnya, pemerintah
telah menetapkan 1 Muharam sebagai hari libur nasional. Tetapi, 1 Muharam
tersebut hanya dirayakan umat Islam atau menjadi milik umat Islam semata
seperti hari libur Idul Fitri dan Idul Adha. Sementara itu, umat agama lain
hanya memberikan pengakuan.
Dengan
akan ditetapkannya 1 Muharam sebagai Hari Santri Nasional oleh pemerintah,
peringatan 1 Muharam bisa menjadi lain, khususnya ketika kata nasional itu
disamakan dengan kata nasional pada Hari Batik Nasional.
Karena
itu, hari santri dan 1 Muharam dapat menjadi milik bersama dan dirayakan
seluruh bangsa Indonesia. Hal tersebut juga sangat tepat karena banyak nilai
yang dapat digali dari peringatan hari santri yang jatuh pada 1 Muharam yang
bisa menjadi penggerak untuk perbaikan bangsa sebagaimana dijelaskan di bawah
ini.
Kedua, 1
Muharam adalah peringatan peristiwa berpindahnya (baca: hijrahnya) komunitas
Islam dari Makkah ke Madinah yang dipimpin Muhammad SAW yang kemudian
dijadikan penanda dimulainya kalender Islam atau Hijriah.
Hijrah
ketika itu sering dilihat sebagai satu bentuk keberanian orang Islam Makkah
(muhajirin) untuk melakukan perubahan sosial yang fundamental (baca:
revolusi) dengan cara meninggalkan semua kehidupan material maupun sosial
mereka di Makkah dan membangun harapan baru di Madinah.
Keberanian
para muhajirin tersebut kemudian disambut umat Islam di Madinah (ansar)
dengan memberikan sebagian harta mereka dan kehangatan sosial bagi para
muhajirin. Sambutan kaum ansar tersebut kemudian melahirkan rasa empati yang
berkelanjutan antara dua kelompok itu sehingga lahirlah budaya kebersamaan
dan tolong-menolong yang tinggi antara muhajirin dan ansar. Persitiwa hijrah
itulah yang sering dianggap tonggak penting bagi berkembangnya komunitas
Islam di Jazirah Arab.
Ketiga,
santri dalam arti yang sempit adalah sebutan untuk seorang murid yang tinggal
di pesantren untuk menuntut ilmu. Secara lebih umum, santri juga sering
dimaknai sebagai orang yang taat menjalankan ibadah dan atau orang yang
menguasai beberapa ilmu keislaman.
Pada
zaman pra kemerdekaan, santri dan pesantren merupakan salah satu basis
penting bagi perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah. Hubungan
patron-klien antara kiai-santri sangat memudahkan mobilisasi anti penjajahan
di kalangan santri.
Contohnya,
fatwa dan gerakan jihad melawan penjajah yang dikeluarkan dan dipimpin
langsung oleh para ulama seperti Syekh Yusuf al Makassari, Kiai Jaitra
Ciwaringin, Kiai Abas Buntet, dan Kiai Hasyim Asy’ari. Para ulama tersebut
tercatat telah beberapa kali dipenjara dan diasingkan penjajah Belanda untuk
meredam perlawanan kaum santri.
Bahkan,
gerakan spiritual tarekat (kelompok santri yang sering dipersepsikan tidak
tertarik pada kehidupan keduniaan) justru telah menjadi basis gerakan politik
melawan penjajah. Tarekat Qadiriyah dan Naqsabanndiyah sering dianggap
sebagai kekuatan yang ditakuti penjajah Belanda.
Salah
satu peninggalan semangat perjuangan santri saat ini adalah sarung dan peci.
Pada zaman pra kemerdekaan, sarung dan peci merupakan simbol perlawanan
terhadap penjajah. Bahkan, ketika itu, beberapa kiai mewajibkan penggunaan
sarung dan peci serta mengharamkan pemakaian celana panjang dan topi karena
dianggap sebagai pakaian penjajah.
Wal
akhir, ada beberapa lesson learnt
yang bisa diambil bangsa Indonesia maupun pemerintahan Jokowi-JK dari Hari
Santri Nasional yang jatuh setiap 1 Muharam. Pertama, untuk melakukan
perubahan fundamental yang lebih baik, kita perlu berhijrah. Hijrah merupakan
bentuk revolusi sosial yang damai, namun membutuhkan pengorbanan besar,
seperti kaum muhajirin yang rela meninggalkan semua materi yang dimiliki di
Makkah.
Revolusi
mental yang akan dieksekusi pemerintahan Jokowi-JK dapat berkaca dari
hijrahnya Muhammad serta pengikutnya dari Makkah ke Madinah. Para pemimpin
bangsa di eksekutif maupun legislatif harus menjadi kaum muhajirin untuk
memulai dan memimpin hijrah (revolusi) ini secara lebih berani dan strategis.
Mereka
harus siap mengorbankan jiwa dan materi untuk kepentingan bangsa. Jika sudah
demikian, rakyat pun harus menjadi kelompok ansar, menjadi penyokong bagi
perjuangan para pemimpin, dengan siap mengorbankan jiwa dan raga untuk
kepentingan bangsa.
Berkaca
dari peristiwa hijrah, revolusi mental, kedaulatan energi, kemandirian
pangan, dan berbagai rencana program pemerintah lainnya bukanlah perjuangan
pemerintah semata. Namun, ia harus menjadi perjuangan bersama, pemerintah dan
seluruh rakyat Indonesia.
Di
samping itu, nilai-nilai yang sudah dibangun para santri pada zaman pra
kemerdekaan sangat layak dikembangkan menjadi nilai-nilai luhur perjuangan
bangsa saat ini. Di antaranya, keberanian dan ketaatan. Keberanian melawan
kepentingan penjajah (baca: asing) yang bercokol di tanah air dan ketaatan
kepada kiai (baca: pemimpin) secara tulus. Wallahul muwafiq ila aqwaamittoriq. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar