Sabtu, 25 Oktober 2014

Memaknai Hari Santri Nasional

Memaknai Hari Santri Nasional

Munajat  ;  Pengasuh Ponpes Salafiyah Pulutan Salatiga;
Alumnus Program S-3 Fulbright di Texas A&M University, AS
JAWA POS, 24 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


SESUAI dengan janji Presiden Joko Widodo di Pondok Pesantren Babussalam, Malang, pada masa kampanye Pilpres 2014, tanggal 1 Muharam akan dijadikan Hari Santri Nasional. Janji itu dikuatkan dengan rekomendasi Rakernas PDIP 2014 yang menyatakan hal yang sama. Secara ’urfi,1 Muharam 1436 H jatuh pada Sabtu, 25 Oktober 2014.

Lalu, apa yang dimaksud hari santri? Makna apa yang perlu digali dan pesan apa yang perlu disampaikan secara nasional? Sambil menunggu ketetapan dan tafsiran resmi dari pemerintah, sebagai orang yang tumbuh dan hidup di dunia santri serta pesantren, saya berusaha memberikan perspektif tentang pemaknaan Hari Santri Nasional.

Pertama, pemaknaan Hari Santri Nasional tidak terlepas dari pemaknaan 1 Muharam karena hari santri akan diperingati setiap tanggal tersebut. Sebenarnya, pemerintah telah menetapkan 1 Muharam sebagai hari libur nasional. Tetapi, 1 Muharam tersebut hanya dirayakan umat Islam atau menjadi milik umat Islam semata seperti hari libur Idul Fitri dan Idul Adha. Sementara itu, umat agama lain hanya memberikan pengakuan.

Dengan akan ditetapkannya 1 Muharam sebagai Hari Santri Nasional oleh pemerintah, peringatan 1 Muharam bisa menjadi lain, khususnya ketika kata nasional itu disamakan dengan kata nasional pada Hari Batik Nasional.

Karena itu, hari santri dan 1 Muharam dapat menjadi milik bersama dan dirayakan seluruh bangsa Indonesia. Hal tersebut juga sangat tepat karena banyak nilai yang dapat digali dari peringatan hari santri yang jatuh pada 1 Muharam yang bisa menjadi penggerak untuk perbaikan bangsa sebagaimana dijelaskan di bawah ini.

Kedua, 1 Muharam adalah peringatan peristiwa berpindahnya (baca: hijrahnya) komunitas Islam dari Makkah ke Madinah yang dipimpin Muhammad SAW yang kemudian dijadikan penanda dimulainya kalender Islam atau Hijriah.

Hijrah ketika itu sering dilihat sebagai satu bentuk keberanian orang Islam Makkah (muhajirin) untuk melakukan perubahan sosial yang fundamental (baca: revolusi) dengan cara meninggalkan semua kehidupan material maupun sosial mereka di Makkah dan membangun harapan baru di Madinah.

Keberanian para muhajirin tersebut kemudian disambut umat Islam di Madinah (ansar) dengan memberikan sebagian harta mereka dan kehangatan sosial bagi para muhajirin. Sambutan kaum ansar tersebut kemudian melahirkan rasa empati yang berkelanjutan antara dua kelompok itu sehingga lahirlah budaya kebersamaan dan tolong-menolong yang tinggi antara muhajirin dan ansar. Persitiwa hijrah itulah yang sering dianggap tonggak penting bagi berkembangnya komunitas Islam di Jazirah Arab.

Ketiga, santri dalam arti yang sempit adalah sebutan untuk seorang murid yang tinggal di pesantren untuk menuntut ilmu. Secara lebih umum, santri juga sering dimaknai sebagai orang yang taat menjalankan ibadah dan atau orang yang menguasai beberapa ilmu keislaman.

Pada zaman pra kemerdekaan, santri dan pesantren merupakan salah satu basis penting bagi perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah. Hubungan patron-klien antara kiai-santri sangat memudahkan mobilisasi anti penjajahan di kalangan santri.

Contohnya, fatwa dan gerakan jihad melawan penjajah yang dikeluarkan dan dipimpin langsung oleh para ulama seperti Syekh Yusuf al Makassari, Kiai Jaitra Ciwaringin, Kiai Abas Buntet, dan Kiai Hasyim Asy’ari. Para ulama tersebut tercatat telah beberapa kali dipenjara dan diasingkan penjajah Belanda untuk meredam perlawanan kaum santri.

Bahkan, gerakan spiritual tarekat (kelompok santri yang sering dipersepsikan tidak tertarik pada kehidupan keduniaan) justru telah menjadi basis gerakan politik melawan penjajah. Tarekat Qadiriyah dan Naqsabanndiyah sering dianggap sebagai kekuatan yang ditakuti penjajah Belanda.

Salah satu peninggalan semangat perjuangan santri saat ini adalah sarung dan peci. Pada zaman pra kemerdekaan, sarung dan peci merupakan simbol perlawanan terhadap penjajah. Bahkan, ketika itu, beberapa kiai mewajibkan penggunaan sarung dan peci serta mengharamkan pemakaian celana panjang dan topi karena dianggap sebagai pakaian penjajah.

Wal akhir, ada beberapa lesson learnt yang bisa diambil bangsa Indonesia maupun pemerintahan Jokowi-JK dari Hari Santri Nasional yang jatuh setiap 1 Muharam. Pertama, untuk melakukan perubahan fundamental yang lebih baik, kita perlu berhijrah. Hijrah merupakan bentuk revolusi sosial yang damai, namun membutuhkan pengorbanan besar, seperti kaum muhajirin yang rela meninggalkan semua materi yang dimiliki di Makkah.

Revolusi mental yang akan dieksekusi pemerintahan Jokowi-JK dapat berkaca dari hijrahnya Muhammad serta pengikutnya dari Makkah ke Madinah. Para pemimpin bangsa di eksekutif maupun legislatif harus menjadi kaum muhajirin untuk memulai dan memimpin hijrah (revolusi) ini secara lebih berani dan strategis.

Mereka harus siap mengorbankan jiwa dan materi untuk kepentingan bangsa. Jika sudah demikian, rakyat pun harus menjadi kelompok ansar, menjadi penyokong bagi perjuangan para pemimpin, dengan siap mengorbankan jiwa dan raga untuk kepentingan bangsa.

Berkaca dari peristiwa hijrah, revolusi mental, kedaulatan energi, kemandirian pangan, dan berbagai rencana program pemerintah lainnya bukanlah perjuangan pemerintah semata. Namun, ia harus menjadi perjuangan bersama, pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia.

Di samping itu, nilai-nilai yang sudah dibangun para santri pada zaman pra kemerdekaan sangat layak dikembangkan menjadi nilai-nilai luhur perjuangan bangsa saat ini. Di antaranya, keberanian dan ketaatan. Keberanian melawan kepentingan penjajah (baca: asing) yang bercokol di tanah air dan ketaatan kepada kiai (baca: pemimpin) secara tulus. Wallahul muwafiq ila aqwaamittoriq.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar