Senin, 27 Oktober 2014

Haji, Cukup Sekali

Haji, Cukup Sekali

Denis Arifandi Pakih Sati  ;  Studi Pascasarjana Hukum Islam
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
HALUAN, 15 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Ibadah haji tahun ini sudah selesai. Para jamaah haji sudah mulai kembali ke negaranya masing-masing, termasuk jamaah haji dari Indonesia. Bisa dipastikan, tidak ada satu orang pun yang bersedih di antara mereka. Justru, yang bersedih itu adalah orang yang ingin menu­naikan­nya, namun belum sempat, baik karena masalah materi maupun teknis.

Menarik untuk menyimak ucapan Imam Besar Masjid Istiqlal belum lama ini, yang dimuat salah satu Media Nasional tentang orang-orang yang menunaikan haji berkali-kali. Beliau menyatakan bahwa orang yang menunaikan haji berkali-kali itu melakukan pemborosan dan menzhalimi orang lain. Dengan makna yang seirama, juga pernah disampai oleh Mentri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga memberikan rekomendasi yang sama.

Sesuai dengan keputusan Menteri Agama (KMA) no 64 tahun 2014 tentang penetapan kuota haji 1435H/2014M menye­butkan bahwa jumlah haji In­donesia sebanyak 168.800 orang yang terdiri dari kuota haji regular sebanyak 155.200 orang dan kuota haji khusus 13.600 orang. Dan saya rasa, tahun depan kuotanya juga tidak akan berubah. Kalau pun berubah, paling tidak begitu signifikan.

Coba perhatikan, jikalau dibandingkan jumlah kaum muslimin yang ada di Indonesia ini, tentunya jumlah tersebut sangat kecil sekali. Jumlah penduduk Indonesia sekitar 200 juta, 80 % nya adalah muslim. Dengan kuota yang hanya sebesar itu, kesempatan yang ada cukup kecil sekali.

Kenyataannya, di beberapa daerah antrian untuk kebe­rang­katan haji sudah ada yang mencapai sepuluh tahun atau juga yang sampai lima belas tahun. Bahkan kalau tidak salah, ada yang sudah men­capai dua puluhan tahun. Semakin lama, jumlah antrian itu semakin banyak, karena semakin banyaknya kaum muslimin yang rindu untuk menunaikan rukun Islam yang kelima ini. Artinya, kesempatan untuk berhaji bagi orang yang berada di kelas menengah ke bawah semakin kecil. Mereka hanya bisa berkhayal bisa berangkat kesana. Hanyut dalam mimpi dan lamunan.

Di saat yang sama, ada orang yang punya kelebihan harta berulang kali menunai­kan ibadah haji, baik melalui jalur ONH biasa maupun ONH plus. Penulis tidak bisa memungkiri, seseorang sudah pernah lansung melihat ka’bah dan menginjakkan kakinya di mesjid al-haram, maka ia akan rindu untuk kembali kesana. Ini bukan perkataan satu atau dua orang saja, sudah puluhan orang yang saya temui menya­takan hal ini.

Namun, bagi yang sudah menunaikan ibadah haji, ada baiknya jikalau ia memberikan kesempatan itu kepada orang yang sulit menunaikannya karena kefakiran dan tidak mendapatkan orang yang akan membiayainya. Ada orang yang sudah tua renta, yang kema­tian sudah mengintainya. Rindunya sangat besar menu­nai­kan ibadah ini, namun tidak mampu secara materi.

Solusinya?

Bantulah orang seperti ini. Berikan kesempatan kepadanya untuk menunaikan haji. Bagi­nya ini adalah kesempatan pertama yang mungkin tidak akan terulang lagi. Bahkan, bisa jadi ia hanya akan me­­­­­ngan­­­­tarkan nyawanya disa­na. Namun, bagi setiap perindu kabah, meninggal disana adalah sebuah kemu­liaan.

Jangan takut, tidak akan ada merugi. Zhahirnya uang itu memang akan berpindah tangan, namun hakikatnya tidak seperti itu. Bahkan, orang yang melakukannya akan menda­patkan pahala yang sama dengan pahala orang menu­naikannya plus pahala karena membuat orang lain bahagia.

Pada suatu hari, Imam Ahmad ditanya, “Manakah yang lebih utama; menunaikan haji sunnah atau membantu kera­bat.” Ia menjawab, “Jikalau mereka membutuhkan, maka mem­bantu mereka lebih saya sukai.”  Pada waktu lainnya, ada seseo­rang yang berkata di depan al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, “Saya akan haji, saya akan haji.” Ia menjawab, “Engkau sudah menunaikan haji.  Sambunglah silaturrahim, bantulah orang yang kesusa­han, dan berbuat baiklah kepada tetangga.”

Ibn al-Jauzi pernah menga­takan, “Sedekah lebih baik dari haji dan jihad.”
Ibrahim an-Nakh’i menjelas­kan bahwa dahulu para salaf berpandangan bahwa berse­dekah lebih baik dari menu­naikan haji berkali-kali.”

Cobalah perhatikan orang-orang yang sudah tua dan ringkih, namun belum sempat menunaikan ibadah haji. Hati mereka menjerit ingin menu­naikannya. Ras rindu sudah menyesak. Namun apa daya, kemampuan materi tidak memungkinkan mereka untuk berangkat kesana.

Oleh karena itu, bagi orang yang sudah pernah menunaikan ibadah haji, ada 
baiknya mem­berikan kesempatan kepa­da orang yang belum menu­naikan. Sedekahkanlah harta kepada mereka. Yakinlah, kebahagiaan melihat kebahagiaan mereka, jauh lebih hebat dari keba­hagiaan yang mung­kin dirasakan ketika menunaikan ibadah haji untuk kedua kali atau lebih.

Atau jikalau tidak ingin memberikannya kepada satu orang saja, maka sedekah­kanlah harta yang digunakan untuk berangkat haji itu kepada orang-orang yang membutuhkan. Masih banyak di Indonesia ini orang yang tidak mendapatkan sesuap nasi untuk menopang tulang pung­gung, masih ada anak-anak Indonesia yang tidak menda­patkan biaya untuk melan­jutkan studinya, dan masih banyak pengangguran yang membutuhkan modal untuk menejawantahkan ide­nya.

Dimana letaknya keimanan, ketika seorang muslim mampu berangkat haji berkali-kali, sedangkan saudaranya hanya mampu meneteskan airmata karena ketidak mampuannya. Di saat ada yang meneteskan mata karena saking senangnya berada di sana untuk kesekian kalinya, ada muslim lainnya yang menangis tersedu-sedu karena tidak mendapatkan sesuap nasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar